Bintang pulang ke rumah dengan mata sembab. Oma yang membukakan pintu terkejut melihatnya dan bertanya apa yang terjadi. Gadis itu hanya memaksakan seulas senyum dan menjawab, "Kelilipan, Oma."
Oma masih skeptis. "Dewa nggak kenapa-napa, kan?" Beliau memastikan.
Bintang mengangguk. "Dewa sehat kok. Malah udah bisa ngerjain tugas sekolah," katanya. Tadi di rumah sakit, Dewa memang sudah mulai mengerjakan tugas akhir yang sudah terbengkalai. Ia bilang, ia ingin menyelesaikan tugas tersebut sebelum pindah home-schooling. Oma manggut-manggut. Setelahnya, dibiarkannya Bintang berlalu ke kamar tidurnya.
Gadis itu langsung membuang diri di tempat tidur. Matanya ia tutup dengan bantal. Saat menoleh ke kiri, ada tumpukan baju yang disimpan Oma di sisi tempat tidurnya, menunggu untuk dimasukkan ke dalam lemari. Ada jaket berwarna hitam di tumpukan teratas. Jaket milik Langit yang dipinjamkan kepadanya di hari Dewa masuk rumah sakit, yang belum sempat dikembalikannya karena hubungan mereka memang sangat renggang setelah hari itu.
Bintang memasukkan tumpukan bajunya ke dalam lemari, lalu menumpuk jaket itu di bagian paling bawah lemarinya. Ia tidak ingin melihatnya lagi.
***
"Bintang?" Oma masuk ke dalam kamar Bintang setelah mengetuk beberapa kali.
"Iya, Oma?" Bintang mengangkat wajah dari layar laptopnya, menatap Oma. Pagi itu ia habiskan berkutat di depan laptop lagi, mempersiapkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk mendaftar ke sekolah baru yang sudah dipilihnya. Gadis itu berpikir untuk tidak mengunjungi Dewa hari ini, mengantisipasi kalau-kalau Langit berada di sana, namun niatnya itu ia urungkan mengingat ia dan Langit tidak pernah sekalipun bertemu di ruang rawat Dewa selama Bintang datang menjenguk.
"Ada yang nyariin kamu," kata Oma tampak ragu-ragu.
"Langit ya, Oma?" tanya Bintang.
Oma tidak menjawab. Beliau melangkah mendekat, mengelus pundak Bintang pelan. "Kamu temuin aja dulu, ya," ucap beliau.
Bintang menutup layar laptopnya, berpikir sebentar. Kemudian, ia mengangguk. "Bintang cuci muka dulu," katanya.
"Dia di ruang tamu, ya." Oma memberitahu. "Oma balik ke toko dulu."
Setelahnya, Oma berlalu. Bintang beranjak mencuci muka dan menemui orang yang menunggunya di ruang tamu. Bintang menghela napas, mempersiapkan diri.
Di ruang tamu, Bintang terenyak. Bukan Langit yang ada di sana, melainkan Thalia. Gadis itu menunduk kepala, memainkan jemari tangannya dengan gelisah menunggu Bintang. Merasakan kehadiran Bintang, ia mendongak. Matanya berkaca-kaca. "Bintang...," panggilnya pelan.
Bintang mematung di tempatnya berdiri. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Thalia adalah orang terakhir di muka bumi yang diharapkannya muncul di hadapannya.
Thalia menghampiri Bintang yang membeku. Air matanya terjatuh di pipi, buru-buru dihapusnya dengan punggung tangan. "Gue tahu lo udah benci banget sama gue," katanya. "Tapi gue nggak mau ninggalin lo tanpa penjelasan. Setelah ini, gue terima semua keputusan lo. Tapi dengerin gue dulu, ya?"
Bintang hanya mengangguk. Thalia datang untuk memberi penjelasan dan ia tahu itu bukan hal yang mudah dilakukan dengan di tengah kondisi mereka yang seperti ini. Maka Bintang mengapresiasinya dengan memberinya kesempatan untuk didengarkan.
Mereka berdua duduk di sofa di ruang tamu, sedikit berjarak, tidak saling berhadapan. Thalia menarik napas, menenangkan perasaannya sebelum memulai bercerita. "Gue kenal Alvian sejak kecil," mulainya. "Dia salah satu penghuni panti asuhan yang dibangun orangtua gue."
Bintang tidak tahu keluarga Thalia punya panti asuhan. Bertahun-tahun berteman dengan Thalia, Bintang baru menyadari seberapa minim yang diketahuinya tentang gadis itu.
"Dia korban kecelakaan. Orangtuanya tewas di tempat. Gue rasa lo lebih tahu detail tentang itu karena lo juga terlibat dalam kecelakaan itu," kata Thalia. "Alvian sebatang kara setelah kecelakaan itu. Dia diungsikan ke panti asuhan keluarga gue. Di situ gue kenal dia.
"Dia pintar. Nilai-nilainya di sekolah bagus dan sering jadi juara kelas. Dia pendiam dan penurut. Sangat sulit buat didekatin." Thalia melanjutkan. "Tapi suatu hari dia mulai bantuin gue ngerjain tugas-tugas gue. Dia ngajarin gue banyak hal. Merawat tanaman, memompa ban sepeda, menjala mangga di halaman panti. Gue jadi teman dekatnya setelah itu.
"Pas mau masuk SMP, dia tiba-tiba bikin permintaan aneh ke gue. Dia minta gue masuk ke SMP kita yang dulu dan berteman baik dengan lo. Dia nggak bilang alasannya dan gue nurut-nurut aja karena dia selama ini sudah banyak membantu gue. Pertama kali ketemu lo, gue yakin bukan hal yang mudah untuk bisa berteman apalagi bersahabat dengan lo."
Bintang memutar kembali ingatannya saat pertama kali bertemu Thalia. Gadis yang rambutnya dikepang dua di hari pertama orientasi saat SMP itu kerap kali mengekorinya kemana-mana, membuat Bintang risih. Meski berulang kali dimarahi bahkan diusir oleh Bintang, gadis itu gigih. Kini Bintang tahu alasannya.
"Jujur, kalau bukan karena Alvian, gue mungkin nggak bakal mau dekat-dekat sama lo," kata Thalia. Sebuah senyum sendu mengembang di bibirnya. "Tapi setelah berteman dengan lo, gue malah merasakan rasanya punya teman. Meski lo cuek, lo jutek, omongan lo tajam, tapi lo nggak pernah jahat ke gue. Lo nggak pernah ngomongin jelek tentang gue ke orang lain. Lo nggak pernah nyebar rahasia gue."
Bintang mendengus. "Itu karena gue nggak punya teman selain lo."
Thalia menggeleng. "Gue jadi mikir, mungkin ini maksud Alvian nyuruh gue berteman dengan lo—supaya gue punya sahabat," katanya. "Tapi ternyata gue salah. Pas kita masuk SMA, dia bilang ke gue dia mau balas dendam ke lo. Dia mau lo ngerasain rasanya dikhianatin orang yang lo percaya. Dia manfaatin gue buat itu.
"Gue marah awalnya. Gue nolak. Tapi dia bilang, kalau gue nggak mau, dia bakal balas dendam ke lo dengan tangannya sendiri. Setelah gue pikir baik-baik, gue akhirnya ngikutin rencana Alvian. Lebih baik gue yang nyakitin lo, Bintang, daripada dia. Gue sayang sama lo sedangkan dia dihantui oleh dendamnya. Gue takut lo diapa-apain sama dia."
Bintang terperangah, terlalu kaget untuk berkata-kata.
"Lo ingat kenapa kunci loker lo ada di gue waktu hari pertama sekolah?" Tanpa menunggu jawaban Bintang, Thalia melanjutkan. "Itu karena gue udah duplikat kunci lo sebelumnya. Ingat mawar-mawar hitam itu? Itu semua dari Alvian, lewat perantara gue."
Bintang menggeleng.
"Langit tahu tentang ini," kata Thalia lagi. "Di hari pertama gue masukin mawar hitam ke loker lo, dia nggak sengaja ngelihat. Malah, dia minta untuk masukin sampah-sampah juga ke sana. Iseng, katanya.
"Langit cerita ke gue tentang lo. Gue juga cerita ke Langit tentang Alvian. Percaya atau nggak, ide tentang masukin uang donasi ke tas lo ini sebenarnya idenya Langit, yang gue usulkan ke Alvian seolah-olah gue berada di pihaknya." Thalia menghela napas. "Alvian senang banget dengan ide brilian ini. Dia nggak tahu kalau Langit sudah mengukur bahwa hukuman terberat yang mungkin lo dapatkan hanya dikeluarkan dari sekolah—dan itu persis seperti yang Langit mau, mengingat dia sebentar lagi akan lulus dan Dewa akan pindah sekolah. Dia khawatir nggak akan ada yang jagain lo lagi."
"Rencana kita berjalan sesuai rencana. Alvian puas banget ngelihat lo terpuruk kayak gini," kata Thalia. "Maaf gue baru datang sekarang. Nggak mudah buat gue ngelakuin ini. Terlebih lagi, lo mungkin udah nggak mau ngelihat muka gue lagi."
Thalia menggenggam sebelah pundak Bintang. "Gue baru aja ketemu kepala sekolah. Gue udah bilang yang sebenarnya—kalau yang ngambil uang donasi itu gue dan gue sengaja menjebak lo. Gue udah dikeluarin dari sekolah dan mungkin pihak sekolah sedang berembuk untuk membiarkan lo kembali atau nggak."
Thalia melepaskan genggaman tangannya dari pundak Bintang. "Gue minta maaf, Bintang," katanya pelan. "Tapi gue nggak maksa lo buat maafin gue. Semua terserah lo. Gue bahkan terima kalau lo nggak mau lagi berteman dengan gue."
Dengan begitu, Thalia bangkit dari tempatnya duduk, pamit pulang. "Terimakasih udah jadi teman yang baik selama ini, Bintang. Gue sayang sama lo," ucapnya di ambang pintu. "Semoga lo bahagia."
Selepas Thalia pulang, telepon rumah Bintang berdering. Pihak sekolah menelepon dan menyampaikan permintaan maaf yang sedalam-dalamny. Mereka memberitahu Bintang bahwa ia boleh kembali ke sekolah jika ia mau.
Bintang menutup telepon setelah mengatakan bahwa ia sudah mendapatkan sekolah baru.
_____
![](https://img.wattpad.com/cover/30000757-288-k443847.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang
TeenfikceMasa kecil yang bahagia hanya isapan jempol untuk Bintang, sebab di hidupnya, masa itu diisi dengan perselisihan kedua orang tuanya-ibu yang berteriak marah, ayah yang ringan tangan, sumpah serapah, piring pecah, pintu yang dibanting kasar, ayah yan...