23. Jalan Berdua

5.9K 687 43
                                    

Bintang menatap keluar, memandangi lampu-lampu jalan yang satu persatu mulai dinyalakan. Burung-burung berarak kembali ke sarangnya. Matahari menghilang perlahan, menyisakan cahaya keemas-emasan yang terpantul di jendela kamar Bintang.

Dan di balik jendela itu, gadis kecil itu menangis.

Suasana di rumah itu senyap. Pertengkaran hebat kedua orang tuanya baru saja terjadi. Di lantai-lantai pada beberapa ruangan terdapat pecahan-pecahan piring sisa pertengkaran tadi. Tapi bukan hal itu yang menyebabkan Bintang menangis, melainkan selembar kertas yang sekarang tengah berada di pangkuan gadis kecil itu. Kertas itu didapatkannya di teras depan tadi siang, terselip di bawah keset kaki, dan kemungkinan sudah agak lama berada di sana sebelum Bintang menemukannya.

Surat gugatan cerai, itulah perihal yang tertera pada surat itu.

Orang tuanya, cepat atau lambat, akan berpisah. Bintang sepenuhnya sadar akan hal itu. Namun dia hanya tidak menyangka waktunya akan tiba secepat ini.

Tok!

Lamunan Bintang buyar ketika batu kerikil kecil mendarat di jendelanya. Dia lantas membuka jendelanya, menatap ke bawah. Didapatinya Langit tengah berdiri di bawah dengan membawa serta sepeda merah kesayangannya.

"Dipanggilin daritadi gak nyaut-nyaut!" gerutu Langit pura-pura kesal, membuat Bintang mau tidak mau tersenyum.

"Maaf, gak dengar," balas Bintang seraya menghapus sisa-sisa air mata yang tertinggal di pipinya. Surat yang sejak tadi menjadi sumber masalahnya dia letakkan di laci meja belajarnya, disisipkan di antara buku-buku tugas yang belum diselesaikan. "Kamu ngapain ke sini?"

"Nyari kamu," jawab anak laki-laki itu. Dia menepuk jok belakang sepedanya. "Bintang, keluar, yuk?"

"Kemana?" tanya Bintang. Tapi tanpa menunggu jawaban, gadis itu menyambar jaket merah muda yang tergantung di belakang pintu lalu berlari turun ke halaman belakang.

Bintang melompat ke jok belakang sepeda Langit seraya menepuk pundak sahabatnya itu. "Jalan, Bos!"

Dan seperti itulah Bintang dan teman semasa kecilnya, Langit; bersama berbagi beban yang terlalu berat untuk ditanggung pundak mereka yang kecil dan rapuh, bersama menyembuhkan luka yang tidak ada obatnya, bersama menciptakan dunia baru dan melupakan realita yang tidak henti-hentinya membuat mereka terpuruk.

***

"Bintang, keluar, yuk?" tanya Langit ringan, berusaha terlihat sekasual mungkin. Padahal hal yang ditanyakannya sangat tidak biasa—bagi dirinya maupun Bintang.

Reaksi yang diberikan Bintang meleset jauh dari yang dibayangkan Langit—alih-alih menolak dengan tegas, memakinya, atau bahkan mengusirnya, gadis itu justru mematung di tempatnya. Sinar di matanya meredup. Sekilas tampak sorot sendu yang tidak kentara.

"Bintang?" Tidak mendapatkan jawaban, Langit kembali bersuara. "Kalau gak mau juga—"

"Iya, gue gak mau," tukas Bintang cepat. "Jangan ngaco. Pulang sana."

Ucapan bernada sinis dari Bintang itu lantas membuat Langit tersenyum. Cowok itu memiringkan kepala, sebelah tangannya dijulurkan untuk menggapai bahu Bintang. "Gue belum selesai ngomong," ucapnya. "Kalau gak mau juga harus mau. Ini perintah, bukan ajakan."

Bintang memutar bola mata jengah. "Lo siapa? Presiden?" Disingkirkannya tangan Langit dari bahunya. Lalu dia menggiring Langit sampai pintu. "Keluar."

BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang