Bintang kebanyakan melamun sepanjang hari setelah Thalia datang menemuinya. Sore hari, ketika ia datang membesuk Dewa, ia lebih sering diam dan hanya bersuara ketika Dewa melontarkan pertanyaan—itupun kadang, cowok itu mesti memanggil namanya beberapa kali atau menjentikkan jari di hadapannya untuk mendapatkan perhatiannya.
Seperti saat ini, Dewa yang sedang mengerjakan tugas di laptop meminta pendapat Bintang, namun gadis itu tidak merespon. Beberapa kali Dewa memanggil namanya, namun Bintang diam saja memandangi sepiring apel di sampingnya. Dewa tertawa kecil lantas memindahkan piring apel tersebut untuk menarik gadis itu dari lamunannya.
"Ah?" Bintang mendongak menatap Dewa. "Sorry, Wa, lo ngomong apa tadi?"
"Lo distracted banget hari ini," kata Dewa. Ia menutup laptop dan menaruhnya di meja kecil di samping tempat tidurnya, memusatkan seluruh perhatiannya pada Bintang. "Ada apa, sih?"
Bintang menggeleng cepat. "Efek kecapean, ngurus sekolah baru," dalihnya.
Dewa menaikkan sebelah alis, tampak skeptis. Namun cowok itu tidak bertanya lebih jauh. Ia yakin Bintang akan bercerita jika ia mau bercerita. Dewa tidak mau memaksanya. "Mau?" Ia menyodorkan piring apel yang sejak tadi ditatap oleh gadis itu ke arahnya.
"Nggak," kata Bintang, namun bukan untuk menolak apel tersebut. Ia menghela napas panjang. Bintang memutuskan bahwa ia butuh tempat bercerita. "Wa, sebenarnya gue nggak lagi baik-baik aja. Gue udah hampir gila."
Dewa meletakkan piring apel kembali ke tempatnya. Ia memangku kedua tangan, siap mendengarkan.
Mengalirlah semua cerita yang memberatkan kepala Bintang saat ini. Tentang mawar hitam di lokernya. Tentang Alvian dan masa kecil mereka bersama. Tentang Thalia dan hubungannya dengan cowok itu. Tentang permintaan maaf Thalia dan pengakuannya kepada pihak sekolah. Tentang pihak sekolah yang memperbolehkannya kembali lagi jika ia menginginkannya.
Dewa menyimak dengan seksama, tidak sedikitpun memotong perkataan Bintang. Cowok itu memasang telinga baik-baik dan mengangguk sekali dua kali sebagai respon.
"Gue bingung, Wa," ucap Bintang di akhir ceritanya. "Gue udah nggak tahu lagi yang mana kawan yang mana lawan."
Dewa mengangkat sebelah tangan, mengelus rambut panjang Bintang dengan perlahan. Gadis itu tampak terkejut sesaat dengan gestur Dewa, namun tidak menepis tangan cowok itu.
"Lega, nggak?" tanya Dewa.
Bintang menarik napas panjang. Dirasakannya rongga dadanya terisi penuh, lalu ia mengembuskan semuanya perlahan. Kemudian, gadis itu mengangguk. Rasanya berat beban di kepala yang dibawanya seharian ini berkurang seketika. "Tapi sekarang gue harus gimana?" tanyanya.
"Menurut gue nih, Bintang—" Dewa menatap gadis itu tepat di manik matanya, menunjukkan seberapa seriusnya dia berbicara saat ini. "Semua orang berhak dapat kesempatan kedua, nggak peduli seberapa besar kesalahan mereka di masa lalu."
Bintang terdiam mendengar hal itu.
Pikirannya mengawang, namun bukan pada Thalia, justru pada sosok laki-laki yang ditinggalkannya di taman pada malam sebelumnya.
"Wa," panggil Bintang, membuat cowok itu menoleh. "Lo tahu nggak, Langit itu teman kecil gue dulu?"
Mata Dewa melebar sedikit, tanda bahwa itu juga berita yang baru buatnya. Namun ia tetap tenang dan menggeleng. "Langit nggak pernah cerita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang
Dla nastolatkówMasa kecil yang bahagia hanya isapan jempol untuk Bintang, sebab di hidupnya, masa itu diisi dengan perselisihan kedua orang tuanya-ibu yang berteriak marah, ayah yang ringan tangan, sumpah serapah, piring pecah, pintu yang dibanting kasar, ayah yan...