Pagi ini, Bintang masuk ke dalam kelas dengan kerutan samar di dahinya. Ia bingung, tepatnya, karena tempat duduknya dikerubungi oleh lima orang teman kelasnya. Bintang tahu sedikit tentang mereka—mereka adalah gerombolan gadis yang duduk di pojok belakang, di dekat jendela.
"Eh, itu Bintang datang," bisik salah seorang di antara mereka kepada yang lain dengan agak terlalu keras sehingga Bintang bisa mendengarnya. Serempak, mereka berlima menoleh ke ambang pintu kelas—tempat gadis itu berdiri.
Kerutan di dahi Bintang semakin dalam. "Ada apa, ya?" tanyanya.
Kelima gadis itu lalu berdiri dari posisi duduk mereka. Bayangkan, mereka duduk berlima dalam dua kursi yang digabungkan—kursi milik Bintang dan Mita—saking langsingnya.
"Mmm...," Gadis yang berada di tengah buka suara. Ia memainkan ujung rambutnya yang panjang bergelombang dengan jemari yang kuku-kukunya tampak habis dipoles dengan cat kuku berwarna turquoise. "Sini dulu deh, Bintang," ucapnya.
Bintang menatapnya heran, namun tetap melangkah mendekat ke arah lima temannya itu. Ia disambut dengan senyum ramah dari kelimanya.
"Kita belum kenalan, kan?" tanya gadis itu lagi. Ia mengulurkan sebelah tangannya. "Kenalin, gue Mei."
Bintang menyambut uluran tangannya dengan kaku.
"Gue Anya." Gadis berpotongan rambut bob yang berdiri paling kiri ikut menyahut.
"Gue Katie," sahut gadis di sebelah Anya, yang seragamnya dipermak sehingga tampak lebih pas di badannya.
"Gue Chika," ucap gadis berparas imut di sebelah kanan Mei. Kulit wajahnya pucat, tampak kontras dengan pewarna bibir berwarna pink yang ia kenakan.
"Gue Prilly." Terakhir, gadis yang berdiri paling kanan. Matanya bulat besar, efek dari lensa kontak yang digunakannya. Di antara yang lain, tampaknya ia yang paling kalem.
Bintang hanya mengangguk-angguk kecil, belum mengerti maksud dan tujuan mereka datang kepadanya. Ia tidak mengucapkan apapun sebagai balasan, menunggu mereka pembicaraan. Bintang ingin tahu kemana arah pembicaraan ini tertuju.
"Gue liat, lo sering sendirian," ucap Mei, dengan masih memasang senyum terbaiknya.
"Nggak juga," balas Bintang skeptis, sedikit tersinggung dengan pernyataan lawan bicaranya. Dia tidak sebegitu seringnya sendirian, karena biasanya gadis itu bersama Thalia atau Mita.
"Lo boleh gabung bareng kita, kalo lo mau," ucap Mei lagi, tanpa memperdulikan nada tersinggung dalam suara Bintang. "Iya nggak, girls?"
"Yup." Keempat teman Mei yang lain mengangguk menyetujui.
Bintang memicingkan mata, merasa ada sesuatu yang diincar dari kelima gadis itu darinya.
"Lo bisa hang out bareng kita. Ke kantin bareng, belajar bareng...," tukas Katie.
"...pokoknya serba barengan deh!" lanjut si imut—yang Bintang tidak ingat namanya.
"Ya, lo nggak bakal sendirian lagi," ucap Anya sambil menyilangkan tangannya di depan dada. "Gimana menurut lo?"
Bintang hanya diam, sambil memandang kelimanya lamat-lamat, mencari ketulusan di mata mereka. Namun, yang ia dapat hanya pancaran ambisi yang membara. Mereka pasti punya niat lain, Bintang mengambil kesimpulan.
"Eh, gue denger lo dekat sama Kak Langit, ya?"
Tuh, kan.
Bintang tersenyum bengis kepada Mei yang melontarkan pertanyaan barusan. "Dengar darimana?" tanyanya acuh.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang
Fiksi RemajaMasa kecil yang bahagia hanya isapan jempol untuk Bintang, sebab di hidupnya, masa itu diisi dengan perselisihan kedua orang tuanya-ibu yang berteriak marah, ayah yang ringan tangan, sumpah serapah, piring pecah, pintu yang dibanting kasar, ayah yan...