13. Insiden

6.3K 728 27
                                    

Senin pagi, Bintang berderap pelan ke area loker untuk menyimpan tas. Suasana sekolah masih sepi karena saat ini masih terhitung pagi buta untuk ukuran hari Senin. Lagi pula, siapa yang ingin membuang waktu tidur menit yang berharga hanya untuk sampai di sekolah 45 menit lebih awal? Bintang sendiri, jika bukan karena bagiannya untuk tugas kelompok Sejarah belum selesai, pasti saat ini masih meringkuk di tempat tidur.

Ketika membuka pintu loker, senyum Bintang terbit. Ia mendapati sebuket Mawar hitam terpatri di sana. Dandelion-Dandelion yang sengaja ditinggalkannya di dalam loker lenyap entah kemana. Dengan cekatan, Bintang mencari note kecil yang biasanya ikut serta dengan buket bunga tersebut. Gadis itu menilik buket itu baik-baik, dan ketemu. Kertas putih kecil itu terselip di antara rimpun bunganya.

Red roses are just too classy for you.

Bintang menggeleng-geleng kecil seraya melipat kertas itu. Gue nggak cocok sama yang classy-classy, ya? Ia tertawa dalam hati. Segera diletakkannya buket bunga itu di dalam loker, dan mengantongi note kecil yang tadi dibacanya.

Entah kenapa, ia ingin menyimpan yang satu ini.

***

"Hei, ngapain?"

Bintang yang tengah berkutat dengan tugas peta konsep Sejarah-nya di dalam kelas, menoleh ketika seseorang menepuk pelan pundaknya. Seketika wajahnya berubah cerah. "Dewa!" sapanya sumringah. Sudah seminggu belakangan ini Dewa tidak terlihat dimana-mana.

Dewa tersenyum, sambil mengambil posisi duduk di sebelah Bintang. "Lo belum jawab pertanyaan gue," tukasnya. Ia melihat karton lebar dan spidol berwarna-warni yang berserakan di atas meja. "Ini apa?"

"Tugas Sejarah," jawab Bintang, kembali mengambil spidol lalu menorehkannya di atas karton yang sejak tadi ditekuninya. "Lo kemana aja, sih?" Bintang balik bertanya. Pasalnya, setelah seminggu, baru kali ini Bintang melihat Dewa lagi.

"Kenapa?" Senyum Dewa kian melebar. "Kangen?"

"Sedikit." Bintang berkata tanpa menolehkan wajah pada lawan bicaranya. "Jangan geer, ya. Cuma sedikit, kok."

Tawa Dewa pecah mendengar pengakuan kecil Bintang itu. "Biar sedikit, yang penting kangen, kan?"

Bintang menggeleng kecil, tidak berniat menampik. Sejurus kemudian ia teringat. "Lo belum jawab pertanyaan gue," tagihnya.

"Pertanyaan yang mana, ya?" Dewa balik bertanya.

Bintang memberengut kesal karena itu.

Beberapa teman sekelas Bintang mulai berdatangan. Wajah-wajah mengantuk mulai bertebaran di sekeliling, namun beberapa menoleh ke arah Bintang dan Dewa dengan pandangan bertanya. Beberapa yang lainnya tidak peduli dan hanya melengos ke tempat duduk tanpa melirik sekalipun.

Sayangnya, Mei termasuk kategori pertama.

Dewa melirik jam pergelangan tangannya. "Lima belas menit lagi upacara, nih. Gue balik ke kelas, ya," pamitnya dan segera berlalu. Bintang hanya diam menyaksikan cowok itu melenggang keluar kelas, membiarkan pertanyaannya mengambang tanpa menemukan jawaban. Saat itulah Mei menghampirinya dengan langkah pelan yang arogan yang menjadi ciri khasnya. Hari ini, rambut gadis itu diberi bandana pink kalem yang senada dengan kaus kakinya.

Kaus kakinya itu jelas melanggar peraturan sekolah.

"Lo bilang nggak deket sama dia?" tanya Mei to the point. Ia menupukan sebelah tangannya di meja, dan sebelahnya lagi di meja Bintang agar membuat gestur yang mengintimidasi. Tapi tampaknya, Bintang tidak terpengaruh.

"Dia siapa?" tanya Bintang kalem. Ia tidak mengangkat wajah dari tugasnya, bukan karena takut, tapi karena malas berurusan dengan Mei yang melulu mempermasalahkan tentang cowok. Kalau dia mau ambil Dewa, silakan saja, begitu pikir Bintang. Lagi pula, Dewa bukan miliknya.

BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang