fourteen

2K 101 4
                                    

Vanilla POV*

Dylan menarik tanganku untuk segera keluar dari ruangan ini. Ia terus  berjalan tanpa berkata sepatapun padaku lalu kemudian ia  berhenti di sebuah ruangan yang papan tulisannya sudah hampir tercopot dari  tempat semestinya. Entah apa yang ia pikirkan tapi ruangan ini cukup menyeramkan.

Ia beberapa kali memasukan tangannya kedalam saku celananya seperti mencari sesuatu disana dan ternyata yang ia cari adalah sebuah kunci.

Ia memiliki kunci ruangan lama ini?

"Dylan, apa yang ingin kau lakukan?" Tanyaku yang mulai panik karena sekarang ia menarikku masuk kedalam ruangan menyeramkan ini dan menguncinya kembali setelah masuk.

"Sekarang kau terdengar seperti takut padaku?" Tanyanya datar dan terus berjalan kearahku yang membuatku terus mundur saat ia terus mendekat kearahku.

Ya aku takut.

Apa lagi saat ia menatapku dan berkata seperti ini.

"Tadi kau dengan lantang berkata kau adalah kekasiku di depan si tua bangka brengsek itu. Dan sekarang kau takut padaku?"

"Tak ada cara lain selain dengan cara itu Dylan. Kalau begitu aku minta maaf."

"Kau fikir aku akan memaafkanmu?" Tanya lagi dan terus mendekatkan tubuhnya kearaku yang terus mundur itu

"Apa maksudmu?"

"Kali ini hanya ada kau dan aku di ruang terkunci ini. Tidak ada kamera cctv atau orang yang menyadari bahwa ada orang didalam sini."

"Aku tau kau takan menyentuhku." Tegasku

"Kau yakin dengan ucapan yang kau lontarkan itu? Kau tau aku laki laki seperti apa bukan?-"

"Apa maumu Dylan? Berhenti membuatkh terdesak." Ucapku saat punggungku sudah menabrak dinding belakangku dan tak bisa bergerak lagi

"Aku mau kau berpura pura tidak mendengar apapun yang di lontarkan si brengsek tadi di ruangan itu." Ucap Dylan yang meletakan kedua tanganya di pundakku

"Jangan ingat apapun soal tadi dan jangan katakan apapun pada siapapun. Mengerti?"

"Soal dia ayahmu?" Ucapku takut takut karena tak mengerti arah ucapannya itu

"Fuck! Dia bukan ayahku! Si brengsek itu bukan ayahku Vanilla." Ucapnya penuh penekanan saat menyebut namaku

Ia kemudian mengacak ngacak rambutnya asal sambil berjalan kesana kemari dengan nafas yang tak teratur karena kesal

"Dylan-" ucapku sambil menyentuh lengannya Dylan dengan keberanianku karena aku tau ia sangat tidak terkontrol sekarang dan aku mencoba menenangkannya

Menenangkan seorang anak yang sangat benci dengan orang tuanya dan entah apa alaasannya itu hingga ia sangat membencinya. Tapi aku bisa lihat dari matanya ia benar benar hancur sekarang. Ia tak seperti Dylan yang biasanya.

"Aku benci saat tau fakta bahwa kau mendegar semuanya tadi. Aku benci saat si brengsek itu berkata bahwa ia adalah ayahku di depanmu. Ia tak pantas di sebut sebagai ayah V, ia tak pantas. Ayahku sudah mati 2 tahun lalu-" ucapnya lagi yang mulai melemah

Aku kemudian memeluknya dengan erat lalu mengelus punggungnya perlahan untuk memenangkannya.

"Dylan percaya padaku,   aku akan berprilaku seperti aku tak mendengar apapun dan aku berjanji takkan berkata pada siapapun soal tadi. Hanya kau dan aku yang tau itu. Dan satu lagi aku akan memganggap bahwa dia bukan ayahmu. Okey? Jadi tenanglah Dylan."

"Kau serius?" jawabnya

"Ya aku serius. Aku berjanji padamu... dan takan ingkar padamu." ucapku

Wound HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang