NAYLA - 36

2.7K 297 23
                                    

Seiring berjalannya waktu, semua orang akan berubah. Termasuk juga aku."

_Nayla Shaquille Assadiq

Diana Ayudia.

Satu nama yang sangat Nayla rindukan setiap saat. Netranya menatap sendu sebuah batu nisan yang tertulis nama ibunya di sana. Air matanya turun, Nayla selalu merasakan hal yang sama ketika ia mengunjungi kuburan ibunya. Rasa itu bisa dibilang rindu. Kamu tahu? Merindukan seseorang yang sudah tak ada jauh lebih menyakitkan.

Rindu itu menyakitkan, apalagi jika rasa itu tak dapat disampaikan. Nayla merasakan ini sejak lama, bahkan sejak kecil. Ia merindukan seseorang yang tak bisa ia temui, tak bisa menyampaikan langsung kepadanya ataupun lewat pesan. Ia hanya bisa berdoa, meminta kepada Tuhan agar rindunya tersampaikan. Namun Nayla tak yakin akan itu.

Apakah di sana ibunya juga merindukan dirinya? Apakah di sana ia memiliki rasa yang sama? Nayla sering bertanya-tanya namun ia sadar, jika setiap pertanyaannya tidak pernah mendapat jawaban. Tidak akan pernah.

Nayla menghapus air matanya, ia memejamkan mata sesaat. Mencoba menenangkan diri.

Tangannya beralih mengusap batu nisan ibunya, "Mama tahu? Nayla pengin banget ketemu mama. Setiap Nayla lihat foto mama, Nayla selalu ngerasain mama ada di sekitar aku. Bagi Nayla mama nggak pernah nggak ada, mama selalu ada di hati Nayla. Sampai kapanpun."

Ketika bibirnya ingin kembali mengucap, indra pendengarnya mendengar sesuatu. Ia menoleh ke belakang, alisnya mengerinyit bingung ketika melihat seseorang yang tak asing baginya.

Nayla bangkit dari jongkoknya, menghampiri seseorang yang tak lain adalah ayah Devano. Pria tersebut terlihat habis menangis, terbukti dengan matanya yang memerah dan sembab.

Matanya menatap batu nisan yang bertuliskan 'Nadya Rosalinda' di sana. Ia yakin jika itu adalah istri dari ayah Devano sekaligus ibu dari Devano.

Nayla berjongkok, sepertinya Galih tak menyadari keberadaan Nayla di sampingnya.

"Maafkan saya, saya tidak bisa mendidik Devano dengan benar. Dia membenci saya tanpa tahu apa yang sebenarnya. Saya merasa sangat bersalah, karena kamu dan Devano harus menderita karena saya." Galih berucap, rasa sesak tiba-tiba menghampirinya.

Nayla diam, menatap Galih melalui ekor matanya. Bisa Nayla lihat kesedihan di mata pria itu.

Nayla berdeham pelan, "Semua orang pernah melakukan kesalahan masing-masing. Tergantung bagaimana cara kita menghadapinya, anda mungkin melakukan kesalahan, tapi dibalik itu pasti ada alasan kenapa anda harus melakukan itu. Maaf saya bukan bermaksud ikut campur, tapi jika bapak memang merasa bersalah dan menyesal. Minta maaflah, dan jelaskan apa yang sebenarnya pada Devano. Minta maaf tidak akan membuat anda terlihat rendah."

Nayla sebenarnya tidak ingin ikut campur, tapi melihat ayah Devano seperti itu ia merasa iba. Nayla yakin jika permusuhan antara ayah dan anak itu dikarenakan salah paham. Baik Galih dan Devano sama-sama tidak berani mengungkapkan lebih dulu. Jika memang ada kesempatan, hubungan mereka dapat di perbaiki bukan?

Lalu untuk apa menyia-nyiakan?

Galih menoleh, sedikit terkejut ketika melihat Nayla ada di sampingnya. "Saya tidak mengenal kamu, bahkan saya tidak memiliki hubungan apapun dengan kamu. Tapi kenapa kamu begitu peduli pada saya? Bahkan ketika kamu tahu jika saya tidak pernah bersikap baik pada kamu?"

Nayla menghela napas, "Mungkin sikap ingin tahu saya dianggap salah di sini. Saya sama sekali tidak peduli dengan bapak, sama sekali tidak. Hanya saja rasa penasaran saya membawa saya ke sini, saya hanya berniat untuk menasehati. Tidak lebih, jadi jangan berpikir saya peduli dengan bapak."

Setelahnya Nayla bangkit, ia melangkah keluar dari area makam. Berniat untuk pulang.

Meninggalkan Galih yang mematung sembari mencerna perkataan Nayla padanya.

°°°°°°

Devano menghela napas lelah. Setelah pulang dari sekolah ia langsung pulang ke rumah, tak seperti biasanya yang selalu menyempatkan waktu untuk mampir ke markasnya.

Dilihatnya jam dinding yang menunjukkan pukul empat sore. Jam segini ada dimana ayahnya?

Devano tidak ambil pusing, matanya ia pejamkan. Selama beberapa hari ini ia jarang tidur dengan nyenyak. Pikirannya selalu memikirkan hal-hal yang membuatnya pusing.

"Lo nyakitin gue berkali-kali, dan lo cuma bisa ngucap maaf? Coba kalo lo ada di posisi gue, apa yang bakal lo lakuin?"

Perkataan itu terus saja membayangi pikiran Devano. Perkataan Nayla waktu di rumah sakit membuatnya tak bisa berkata apa-apa. Ia merasa tertohok, hatinya tercubit.

Apalagi ketika melihat raut kecewa di wajah perempuan itu. Devano tak yakin jika Nayla akan memaafkannya kali ini. Semua sikapnya pada perempuan itu, sudah kelewat keterlaluan.

Devano akui jika dia memang brengsek. Bahkan sangat brengsek.

Namun ia melakukannya bukan tanpa alasan, melainkan karena ia masih ragu akan perasaannya. Tapi sampai kapan? Sampai kapan ia akan terus menerus seperti ini dan membuat hati Nayla semakin sakit?

Sampai kapan ia terus membuat luka di hati perempuan itu?

Ketika Devano tengah bertanya-tanya pada diri sendiri, ayahnya tiba-tiba datang. Devano tersadar, menatap ayahnya yang kini berjalan ke arahnya.

Tak berniat menyapa, Devano hanya diam enggan untuk bicara.

"Devano, papah perlu bicara sama kamu." Ucap Galih, mengawali pembicaraan.

Devano menatap malas pada ayahnya, "Saya rasa tidak perlu ada yang harus dibicarakan. Saya tidak ingin bertengkar dengan anda, saya lelah dan ingin istirahat."

Ketika Devano ingin beranjak dari duduknya, Galih mencegahnya cepat. Apapun yang terjadi Galih harus bicara dengan Devano.

"Saya minta maaf, mungkin kamu akan kaget mendengar permintaan maaf yang jarang saya ucapkan. Selama ini saya tidak pernah memikirkan kamu bahkan peduli pada mendiang Nadya, saya akui saya egois. Tapi saya melakukan itu sebagai bentuk protes pada ibu saya yang seenaknya menjodohkan saya dengan ibu kamu padahal saya sudah memiliki kekasih yang sangat saya cintai."

Galih menghembuskan napas beratnya. "Hanya karena dia miskin dan tidak terpandang, nenek kamu menjauhkan saya dari dia dan menikahkan saya dengan perempuan yang tidak pernah saya cintai. Saya mencoba menerima ibu kamu namun tak bisa, hingga akhirnya sikap saya membuatnya memutuskan untuk bunuh diri. Saya minta maaf, benar-benar minta maaf."

Devano menatap ayahnya dalam diam. Hatinya bergejolak, ia tidak tahu harus menunjukkan ekpresi seperti apa. Tidak tahu harus berkata apa, tapi yang pasti ia belum bisa memaafkan ayahnya semudah itu. Belum bisa.

"Devano nggak tahu mau bilang apa, tapi yang pasti permintaan maaf papah nggak akan ngubah semuanya." Devano menghela napas. "Mungkin akan sulit bagi saya untuk memaafkan anda."

"Tidak apa-apa, saya mengerti jika akan sulit bagi kamu untuk memaafkan saya." Galih mengangkat maklum.

Devano berbalik, berniat pergi ke kamarnya. Namun langkahnya kembali terhenti ketika ayahnya mengucapkan sesuatu.

"Pertahankan Nayla, dia anak yang baik." Ucap pria itu.

Sudut bibir Devano terangkat membentuk seulas senyum tipis, ia mengangguk sebagai jawaban.

°°°°°°

Adakah yang nungguin cerita ini up?

Mohon maaf jika aku up nya lama, udah aku bilang kan? Ada sesuatu yang nggak bisa aku tinggal.

Untuk kalian, tolong jika berkenan setelah membaca cerita ini diharapkan untuk meninggalkan jejak!

Beri vote dan komen yang mendukung!

Jika ada typo, tolong bilang aja yaa.

Thankyouu.

NAYLA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang