NAYLA - 41

2.6K 265 39
                                    

"Takdir membawa kita menuju rasa yang biasa disebut cinta. Hingga akhirnya aku lupa jika cinta kadang kala mendatangkan luka."

_Nayla Shaquille Assadiq


"Gue hamil anak lo, lo harus tanggung jawab."

"Yakin itu anak gue? Cewek kayak lo nggak mungkin ngelakuin itu sekali doang 'kan?"

Sudah Nayla duga, jika ini akan terjadi. Devano akan menyangkal dan menganggap anak yang ada di kandungannya bukanlah anak dari cowok itu.

Nayla tertawa hambar, hatinya terus ditikam berkali-kali. Rasanya sakit, sakit sekali.

"Lo juga tahu waktu itu Van, apa lo nggak nyadar? Atau ini cuma alibi lo supaya lo lari dari tanggung jawab?"

"Gue nggak bisa tanggung jawab atas apa yang bukan jadi kesalahan gue!" Tegas Devano, malas berdebat dengan urusan yang menurutnya tidak penting.

Nayla lagi-lagi tertawa, menertawakan nasibnya sendiri. Takdir kembali bermain-main pada kehidupannya.

"Ini anak lo Van! Lo harus tanggung jawab, waktu itu kita melakukan kesalahan yang fatal! Dan ini hasil dari kesalahan kita!"

Devano tertawa remeh, "Tinggal lo gugurin aja kenapa sih? Jadi orang nggak usah ribet. Lo buang-buang waktu gue."

Nayla menggeleng, tak menyangka jika Devano akan mengatakan hal yang menyakitkan seperti ini. Bagaimana bisa Nayla mengugurkan kandungannya begitu saja?  Dia dan Devano lah yang salah, dan Nayla tidak bisa menghukum anaknya sendiri atas kesalahan yang ia perbuat.

"Lo ternyata se brengsek ini ya Van." Nayla mendecih, ingin sekali meninju muka menyebalkan Devano. "Lo sendiri waktu itu minta gue buat bantuin lo bujuk Steven buat tanggung jawab dan nikahin Alice, tapi ini apa?  Lo sendiri lari dari tanggung jawab lo, kalo bukan brengsek apa namanya? Bangsat?!"

Devano menatap terkejut ke arah Nayla, baru kali ini ia mendengar kata-kata kasar dari perempuan itu dan Devano sangat tidak terima. Lagipula untuk apa dia bertanggung jawab atas kesalahan yang tidak ia perbuat?

"Lo," Devano menunjuk wajah Nayla dengan tangannya. "Menjijikkan, murahan dan nggak tahu malu. Lo pikir gue bakal tanggung jawab sama perempuan murah kayak lo? Inget, lo itu anak dari wanita yang menghancurkan rumah tangga keluarga gue, dan perempuan kayak lo nggak pantes buat jadi pendamping gue."

Sudah cukup, Nayla tak bisa menahannya lagi. Perkataan Devano sudah cukup menyakiti hatinya. Sampai kapan Nayla harus bergantung terus pada cowok itu? Biarpun Devano tak ingin bertanggung jawab, maka Nayla akan menghadapinya sendiri.

Satu tamparan mendarat di pipi Devano dan Nayla lah yang melakukannya. Perempuan itu tertawa hambar dengan air mata yang bercucuran di pipinya.

"Jadi karena itu, karena itu lo nggak mau tanggung jawab? Pengecut, brengsek dan bajingan. Tiga kata yang mewakilkan lo saat ini Van. Lo pikir gue bakal ngemis-ngemis ke lo buat tanggung jawab? Bahkan gue minta dengan baik pun lo nggak mau." Nayla menghela napasnya sebelum kembali melanjutkan perkataannya.

"Gimana kalo gue ngemis-ngemis? Mungkin lo bakal ketawa puas lihat gue kayak gitu kan? Laki-laki di dunia ini nggak cuma lo doang Van. Jadi berhenti, berhenti sok percaya diri dan permainkan wanita sesuka hati lo."

Devano cukup tercengang mendengar ucapan Nayla kepadanya, perempuan itu mengatakan sesuatu yang jauh di luar pikiran Devano sebelumnya. Mata Nayla mengeluarkan air mata, namun ucapannya setajam belati.

Rasa sedih, kecewa dan marah bisa Devano lihat melalui tatapan mata Nayla. Perempuan itu sungguh rapuh, namun lagi-lagi egonya mengalahkan semuanya termasuk juga perasaannya.

"Sekarang lo mau ngelakuin apa aja terserah, gue udah nggak mau peduli lagi. Jangan lo pikir karena lo nggak mau tanggung jawab gue bakal cepat lemah gitu aja. Ingat Van, gue bukan cewek yang sering lo temui. Gue Nayla, anak dari wanita yang lo pikir telah menghancurkan keluarga lo."

Nayla tersenyum, lalu dengan mantap ia melangkahkan kakinya untuk pergi. Sekarang ia tidak ingin melihat ke belakang lagi, mengulang kesalahan yang sama dan berujung hanya dia yang tersakiti. Tak mau berurusan dengan orang yang bernama Devano lagi. Walaupun seluruh dunia membencinya, Nayla tak peduli. Ia terbiasa sendiri dan sampai kapanpun memang akan seperti itu.

Walaupun sakit Nayla harus bisa menguatkan diri. Walaupun hanya sendiri ia harus tetap bertahan, bukan untuk siapa-siapa tapi untuk dirinya sendiri.

Setidaknya Nayla mencintai sebagian dirinya.

°°°°°°

Alvaro menendang-nendang batu kerikil kecil yang ada di jalan. Cowok dengan perawakan tinggi tersebut sedang jalan-jalan di sekitar komplek perumahannya.

Sesekali Alvaro tersenyum ramah pada tetangganya yang kebetulan lewat. Sikapnya sangat berbeda jauh di sekolah, Alvaro tidak pernah bersikap cuek pada siapapun jika ia berada di rumah. Entah kenapa, Alvaro lebih memilih bersikap dingin di sekolah termasuk pada teman-temannya.

Ketika ia ingin menendang kerikil kembali, ia mengurungkan niat. Matanya yang bak elang itu menatap seorang cewek dari jauh.

Perempuan itu berjalan melamun, terlihat sedang memikirkan sesuatu. Hingga ia jatuh terduduk  ke aspal akibat tak fokus.

Alvaro meringis pelan mendengar itu, dengan kaki panjangnya Alvaro menghampiri cewek tersebut.

Menyodorkan tangan tepat di hadapan cewek itu yang tak lain adalah Nayla. "Bangun, lo nggak mau di sini terus 'kan?"

Perempuan bernama Nayla itu mendongkak, matanya berkedip berulang kali mencoba menyadarkan dirinya kembali.

Alvaro yang melihat itu tak kuasa menahan senyum, melihat wajah bingung Nayla membuatnya gemas. Eh?

"Masih mau di sini terus, hm?" Alvaro berjongkok, menatap Nayla yang ada di hadapannya tepat. "Kalo gitu biar gue temenin sampai lo mau pergi dari sini."

Nayla lagi-lagi mendongkak, menatap Alvaro yang kini juga tengah menatapnya. Iris mata mereka bertubrukan. Cukup lama, akhirnya keduanya sama-sama tersadar dan mengalihkan pandangan.

Nayla beranjak berdiri yang di ikuti oleh Alvaro. "Lo ngapain?"

Alvaro mengerinyit bingung mendengar perkataan Nayla yang tergolong konyol di telinganya. Alvaro menggeleng pelan sembari tersenyum tipis.

"Seharusnya gue yang tanya sama lo, lo ngapain jalan ngelamun kayak tadi?" Alvaro bersedikap.

Nayla berkedip, bingung harus menjawab apa. Mulutnya terbuka, namun dengan cepat Nayla menutupnya kembali.

Pikirannya kosong akibat tadi selepas  bertemu dengan Devano. Hingga tak sadar, Alvaro memperhatikan sedari tadi. Cowok itu menarik tangan Nayla membawanya pergi karena kesal melihat Nayla kembali melamun.

"Eh mau kemana?" Tanya Nayla yang sudah tersadar dari lamunannya.

Alvaro enggan menjawab, ia terus melanjutkan langkah sembari menarik tangan Nayla untuk ikut bersamanya. Mereka telah sampai di tempat yang ingin Alvaro tunjukan. Rumah pohon dengan ayunan di bawahnya.

Nayla mengerinyit bingung, menatap Alvaro meminta penjelasan.

Alvaro menghela napas, "Lo nggak inget tempat ini?"

Nayla semakin bertambah bingung, matanya ia edarkan ke sekeliling namun ia tak ingat apa-apa. Nayla menggeleng sebagai jawaban.

"Artinya lo nggak ingat gue?" Alvaro bertanya lagi.

Nayla menatap Alvaro tidak mengerti, kenapa Alvaro menanyakan sesuatu yang tidak Nayla mengerti jawabannya? Nayla tidak ingat apapun.

"Alvaro, lo sebenarnya kenapa?" Nayla menyentuh kening Alvaro, memastikan cowok itu baik-baik saja.

Alvaro mengambil tangan Nayla ia menggengamnya erat. "Gue Alva Nay, lo nggak inget?"

Dan Nayla hanya bisa diam dengan raut bingung yang terlihat jelas di wajahnya.

°°°°°°

NAYLA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang