"Tuhan dimana letak kebahagiaan itu? Dimana aku bisa menemukan rumah yang memang benar-benar ramah? Dimana tempat itu?"
_Nayla Shaquille Assadiq
Devano menatap langit-langit kamarnya, perkataan Nayla kemarin malam terus saja membayanginya. Setiap ia ingin memejamkan mata, perkataan itu terus menganggunya. Membuatnya tak tenang dan memaksanya untuk terus membuka mata.
Tak bisa istirahat, Devano sebenarnya lelah. Sekarang ia tahu kenapa ayahnya menyuruhnya untuk menjauhi Nayla, karena perempuan itu adalah anak dari seseorang yang paling Devano benci walaupun Devano tidak pernah bertemu dengan wanita itu.
Sebenarnya Devano tak ingin menjauh dari Nayla, namun bayang-bayang kejadian bunuh diri ibunya terus saja memaksa dirinya untuk menjaga jarak dari Nayla. Memaksanya untuk membenci perempuan itu, walaupun Nayla tidak melakukan kesalahan apapun.
Tapi kenapa logikanya selalu memaksanya untuk membenci cewek itu? Padahal hatinya selalu memberontak, namun sepertinya egonya jauh lebih besar daripada perasaannya.
Ketika ia sibuk melamun, pintu kamarnya terbuka menampilkan Galih dengan pakaian kantornya. Pria itu menatap putranya yang terbaring sembari mengahadap ke arah atas.
Galih menghembuskan napasnya, "Kamu sudah bertemu dengan Nayla? Apakah anak itu sudah menjelaskan semuanya?"
Devano melirik ayahnya melalui ekor matanya, "Nayla anak itu kan? Nayla anak dari wanita yang Devano benci? Devano udah tahu semuanya."
Galih mendudukkan badannya di samping putranya itu, ditatapnya wajah putranya yang terlihat lelah. Galih paham, jika Devano kali ini tengah dilanda kebingungan.
Beberapa kali ia menjelaskan jika kematian Nadya bukan apa yang seperti Devano pikirkan. Namun putranya itu tak mau mendengarkannya dan kali ini ia harus terjebak oleh perasannya sendiri.
"Jadi ini alasan papah nyuruh aku buat jauhin Nayla 'kan? Sayangnya Devano nggak tahu bisa apa nggak." Devano bersuara lagi.
Devano tidak yakin jika dia akan bisa menjauh dari Nayla. Namun dirinya terus ditekan oleh egonya jika dia harus menjauh dan membenci perempuan itu. Jadi siapakah yang akan menang? Egonya atau perasaannya?
Devano tidak tahu, ia merasa bimbang. Kenapa saat ia ingin memperbaiki hubungannya dengan Nayla, malah semuanya menjadi semakin rumit?
"Papah harap apapun keputusan kamu, jangan sampai merugikan diri kamu maupun Nayla." Ucap Galih.
Pria itu bangkit dari duduknya lalu berjalan keluar dari kamar putranya. Menyisakan Devano yang masih dilanda kebingungan akan perasannya.
Masih bimbang, harus bersikap seperti apa. Dan mengambil keputusan yang bagaimana.
°°°°°°
Nayla tahu, Devano pasti sangat membencinya setelah cowok itu tahu jika dirinya adalah anak dari wanita yang cowok itu benci. Jika dari awal Nayla tahu akan seperti ini, dia tidak akan pernah membuka hati untuk Devano. Tidak akan pernah.
Namun perasaan seseorang tidak ada yang tahu kan? Nayla menghela napas pelan, mencoba menenangkan pikiran dan hatinya.
Kepalanya pusing. Beberapa hari ini kepalanya sering terasa pusing, tak lupa dengan perutnya yang terasa mual.
Nayla tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, dia jarang memperhatikan dirinya sendiri dan cenderung memperhatikan orang lain.
Nayla kira ia hanya merasa masuk angin biasa, namun semakin bertambah hari dirinya tak juga kian sembuh. Sebenarnya Nayla ini kenapa?
Nayla menegang ditempatnya ketika mengingat sesuatu hal. Dia telat datang bulan, apakah ini?
"Gue ha-hamil?" Tanyanya pada dirinya sendiri.
Ia menggeleng, mencoba menyangkal. Namun jika itu memang benar apa yang harus Nayla lakukan? Devano, cowok itu harus bertanggung jawab kan? Nayla tak bisa tenang jika dia tidak memastikannya. Nayla harus memastikannya, ia harus.
Apapun yang terjadi nanti yang pasti Devano harus bertanggung jawab, karena ia yakin itu adalah anak dari Devano.
Nayla beranjak dari kasurnya, tangan kanannya mengambil jaketnya yang ada di kursi. Lalu kemudian ia pergi keluar kamar.Nayla harus memastikan dia hamil atau tidak.
°°°°°°
Alvaro tidak pernah menyangka jika teman masa kecilnya akan melupakannya seperti ini. Padahal dia selalu mengingatnya, mungkin karena dulunya ia pindah ke luar negeri teman masa kecilnya itu jadi melupakannya.
Si gadis kecil yang manis, Alvaro suka sekali melihat senyum manisnya. Namun semakin beranjak dewasa Alvaro tak pernah melihat senyum itu lagi. Si gadis cenderung menutup diri dari orang-orang sekitarnya.
Sampai saat ini Alvaro hanya menjadi pengamat, ia tidak berani mengatakan pada gadis itu padahal gadis manis tersebut ada disekitarnya.
"Kangen banget gue sama dia." Monolognya pada dirinya sendiri.
Alvaro memang pengecut tak berani mengungkapkan dan cenderung menjadi pengamat diam-diam. Tapi, jika sekali saja gadis itu terluka dia tidak akan tinggal diam.
Alvaro tidak akan membiarkan siapapun melukai gadisnya sekecil apapun.
Netranya beralih menatap bingkai foto yang ada di meja sampingnya. Tersenyum tipis, Alvaro mengambil bingkai foto tersebut.
Mata elangnya mengamati setiap inci dari foto tersebut, hanya satu yang ia sukai yaitu senyum gadis itu. Dulu, gadis itu sangatlah ceria namun sekarang gadis yang kini satu sekolahan dengannya berubah menjadi seseorang yang tak pernah terlintas di pikiran Alvaro sedikitpun.
"Panggil aku Alva, nama kamu siapa?"
Gadis dengan senyum manis itu tampak menimang-nimang, "Panggil aku Naya! Aku ingin sekali dipanggil dengan sebutan itu!"
Alvaro kecil tersenyum, "Oke Naya! Maukah kamu menjadi temanku?"
Gadis kecil bernama Naya tersebut mengangguk lucu, "Tentu saja! Kamu sangat tampan, siapa yang tidak mau berteman denganmu?"
Pipi Alvaro bersemu merah kala mendengar kata 'tampan' yang keluar dari mulut gadis itu.
Alvaro tersenyum manis, "Kamu sangat lucu."
Naya balas tersenyum, seperkian detik Alvaro terpaku ditempatnya. "Bukankah kira serasi?"
Naya mengedipkan matanya berulang kali, tak mengerti apa yang dikatakan Alvaro padanya. Apa maksudnya?
"Maksudmu? Serasi itu apa?"
Alvaro tertawa mendengar pertanyaan polos dari Naya, "Kamu tidak tahu apa itu serasi? Hm, tidak apa-apa ketika kita besar kamu pasti akan mengetahuinya."
Naya tersenyum, "Alva, apakah aku boleh menciummu?"
Mata Alvaro membulat, gadis ini mengatakan apa? Mencium? Sungguh aneh, dia tidak mengerti apa itu serasi tapi tahu tentang cium!
"A-apa?" Tanyanya kaget.
Namun Naya hanya menatap bingung ke arah Alvaro, gadis itu berjalan mendekat. Lalu dengan sekali gerakan ia berhasil mencium pipi kanan Alvaro. Membuat Alvaro kecil hanya bisa diam tak berkutik.
Naya tertawa lucu, "Alva sangat tampan! Pipimu memerah hahaha."
Alvaro tak tinggal diam, "Naya!!"
"Lari!!"
Lalu terjadilah kejar-kejaran diantara mereka.
Alvaro tersadar dari lamunannya, sekelebat bayangan itu tiba-tiba muncul. Alvaro semakin merindukannya.
Tangannya mengusap pipi kanannya yang dulu pernah dicium oleh gadis manis itu, sangat manis Naya memang gadis yang manis.
Sudut bibirnya terangkat membentuk seulas senyum, "Naya, sebentar lagi lo akan tahu siapa gue. Kita akan segera bertemu lagi."
°°°°°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
NAYLA [END]
Werewolf[ Cover by : @pinterest ] Nayla Shaquille Assadiq, bad girl yang terkenal di SMA Bright Sky. Dia adalah ketua geng dari geng 'GALASTA'. Sikapnya yang angkuh, dingin dan tidak tersentuh. Dia pintar dan licik bersamaan. Namun siapa sangka jika seora...