33.

2.7K 220 22
                                    

Belum terdengar kata atau ucapan apapun setelah acara makan malam diapartemen milik Wijaya ini berlangsung. Masih terdengar dentingan antara sendok dengan piring, jika saja sang ibu rumah tangga tidak membuka percakapan terlebih dahulu.

"Habis ini jangan balik dulu yah, ada sesuatu yang harus kita luruskan biar plong", ucap Hana kepada Bobi dan Putra, sambil melirik suaminya yang enggan ikut bergabung.

Bobi mengangguk setuju begitupun si manis.

"Kamu udah lama gak pulang kerumah, kapan kamu pulang ?", tanya Hana lagi mencoba terus memecah kecanggungan.

"Kalau adem aku bakal pulang mah, tapi masih panas", jawab Bobi seperti menyindir. Kontan saja pria dewasa kepala hampir lima itu mendongak sedikit.

"Sayang makan yang banyak, kamu harus sehat terlebih kamu baru keluar rumah sakit", ujar Hana lagi seraya mengusap sayang kepala si manis yang tengah terdiam seribu bahasa disana.

"I--iya tan-- em Ma"

Hana terkekeh mendengarnya, pandangan Hana teralih dari wajah Putra kearah ponselnya diatas meja menampilkan nama pemanggil disana.

"Mama angkat telfon dulu, dilanjut makan nya"

Bobi menatap mamah sambungnya yang pergi kearah ruang tamu, lalu ia menatap kekasihnya yang sepertinya takut/ malu pada sosok ayahnya yang memang sedari tadi mencuri-curi pandang kearah kekasihnya.

"Hari ini kamu pulang kan kerumah ?", tanya Bobi.

Putra mengangguk pelan, masih mencoba menyuap nasi dipiringnya secara perlahan. Walaupun masakan ini sangatlah lezat.

"Ehem !"

Kedua anak adam disana menoleh kearah Wijaya, yang memang beliau mencoba ingin dekat dengan cowok manis yang diakui oleh istrinya sebagai menantu.

Oh.. sungguh gila.

"Kalian... beneran mau serius ?", tanya Wijaya manatap serius anaknya dan juga kekasoh dari anaknya yang memang disebarang meja.

"Iya. Dan ayah gak berhak mencegah ataupun mencoba menghasut Putra, Bobi tetap akan bersamanya hingga kapan pun"

Wijaya menghela nafas, lalu meminum air seteguk.  Perlahan sangat perlahan ia mencoba tersenyum, walaupun ini sangatlah tabu dan abu-abu dimatanya dan juga dimata dunia sekalipun, tetapi ia harus mencoba mengalah demi kebahagiaan anak sematawayanganya, terlebih lagi Bobi anaknya adalah satu-satu pewaris dirinya.

Beralih menatap lelaki-- ah mungkin calon mantunya itu dengan lembut, Bobi yang mengetahui hal itu mencoba tenang. Pahanya diremas cukup kuat dibawah meja oleh Putra, Bobi dengan kepekaannya menggenggam erat tangan kekasihnya sambil mengelus punggung tangannya.

"Saya akan beri kalian kesempatan, jika kesempatan ini kalian khususnya kamu Bobi, kamu langgar otomatis ayah akan menarik lagi kamu untuk menuruti semua perintah ayah. Pesan om sama kamu nak, jaga anak om dia memang brengsek dulunya, tapi om yakin kamu bisa jaga dia hingga nanti dan kamu mau memaafkan perbuatnya dulu kekamu"

Putra perlahan menatap Wijaya dengan sedikit takut, namun kemudian ia mengangguk tersenyum lega. Apa ini... sudah berakhir ?

Jawabanya belum. Ayah....

"Dan kamu Bobi, ayah tidak mau melihat atau mendengar lagi kamu menyakiti Putra sekalipun hanya sedikit. Kamu harus ingat perbuatanmu dulu sampai kamu membuat kesalahan terbesar itu, janji sama ayah"

"Bobi janji", Wijaya mengangguk.

Walaupun jujur ia masih ragu, namun ia mencoba menjadi sosok ayah yang berguna bukanya menjadi sosok ayah yang menuntut. Untuk urusan Yudis ayah dari Laura ia sudah tau jalan keluarnya, dan semua itu tentulah dengan bantuan istrinya. Lengan kanan terluka disana tentu juga salahnya, Wijaya sudah mengetahui bahwa pelaku penusukan itu adalah Laura perempuan yang sudah ia anggap sebagai sosok paling baik dimatanya.

A G A I N - [BxB||SELESAI]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang