"Sebenarnya apa yang terjadi?" Linden bertanya. Aku sudah menunggu ini. Aku memberikan anak panah itu padanya. "Lihatlah sendiri, aku sudah membaca isinya." Dia tambah kebingungan, dengan ragu menerima anak panah itu.
Linden mengambil kertas yang diikat pada anak panah itu dan membacanya. "Kau tidak menyerah? Kalau begitu, aku akan-"
"Menghancurkan semua yang kau miliki. Benar kan? Sangat klasik" Tambahku memotong bicara Linden. Dia semakin terkejut. "B-bagaimana kau bisa tahu isinya padahal kau belum membukanya?" Dia bertanya lagi. Aku ringan mengangkat bahu.
"Kalimat itu terbesit di kepalaku" Aku membalas, menoleh ke arah pohon yang tumbang itu. Satu persatu berdatangan karena mendengar dentuman keras. Mereka terkejut melihat pohon besar yang tumbang begitu saja padahal tidak ada angin apapun. Sepertinya aku membuat keributan.
"Apa yang terjadi? Bagaimana bisa pohon itu tumbang?" Vorn bertanya seraya mendekat padaku dan Linden. Aku menoleh, mengangkat bahu. "Entahlah, bagaimana bisa tumbang ya?" Aku mengernyit tidak bersalah. Vorn menatapku tak senang. Aku mengabaikannya.
"Siapa yang melakukannya? Apa dia musuh mu?" Linden bertanya. Aku menggeleng. "Dia temanku. Maafkan dia ya.. dia memang tidak waras" Aku membalas dengan santai. Linden memegang kedua pundakku, membuatku menghadapnya. "Jangan bercanda! Ini situasi yang serius!" Aku mengernyit, menepis tangannya.
"Aku tidak bercanda. Siapa yang akan bercanda di situasi seperti ini?" Ujarku dingin. Linden tersentak dengan jawabanku. Ya, pasti begitu. Jujur saja selama satu minggu ini aku mengalami banya perubahan. Mulai dari kekuatan dampai sifatku. Aku menghela nafas. "Maaf. Aku pergi, ada latihan yang menantiku, dan pohon itu, aku yang akan bertanggung jawab. Sebentar lagi juga akan kembali normal" Aku hendak pergi, tapi Linden memegang tanganku. Dia menatapku.
"Kenapa kau seperti ini? Ceritakan semuanya padaku" Ujarnya geram. Aku menatapnya datar, menarik tanganku membuat dia melepaskan genggamannya.
"Ini tidak ada hubungannya dengamu ketua." Jawabku datar. Dia terdiam.
Aku berjalan melewati Linden. Entah bagaimana ekspresinya setelah ini, entah bagaimana perasaannya saat ini, aku tidak peduli, karena ini tidak ada hubungannya dengan Linden. Aku tidak mau melibatkan orang lain dalam masalah ini. Ya, begitu pikirku. Itu lebih baik daripada aku harus mengorbankan orang lain.
Seperti yang aku ucapkan tadi. Pohon itu bersinar dan perlahan menyatu, kembali normal. Semua orang terkejut, berbisik kagum. Aku menghiraukan itu dan melanjutkan langkahku.
***
Aku sampai di arena tempat latihan, ternyata mereka sudah berkumpul. Mereka menatapku.
"Kenapa kau baru datang?" Rein bertanya dengan kesal. Aku tersenyum. "Aku hanya terlambat beberapa menit kan?"
Rein menunjuk menara jam akademi. Aku menoleh. "Kau terlambat tiga puluh menit! Tiga puluh!" Rein sebal. Aku tersenyum tanggung, ringan mengangkat bahu. "Hanya tiga puluh, tidak satu jam bukan?" Ujarku tidak bersalah. Rein terlihat marah.
"Kau! Kenapa kau sangat menyebalkan!" Teriaknya. Aku mengalihkan pandangan.
"Sudahlah, yang penting dia sudah datang." Kayran bicara. Aku mengangguk takzim. Tak berapa lama, profesor Zen dan Vorn datang bersama. Vorn menatapku tajam. Aku mengabaikannya.
"Nona, selamat datang. Kami menunggumu. Sudah lama kita tidak bertemu" profesor Zen menyapa. Aku tersenyum padanya. "Iya, sudah lama tidak bertemu profesor" Aku menjawab sopan. Pandanganku langsung tertuju oleh Linden dan tiga anggota dewan lain di belakang Profesor Zen dan Vorn. Kami saling mengalihkan pandangan.
"Baiklah. Kita lanjutkan latihannya." Vorn terlihat lelah, dia menghela nafas berkali-kali. "Ada masalah profesor Vorn?" Ascher bertanya.
Vorn menggeleng. "Tidak ada. Hanya saja, ada yang membuat keributan dengan merobohkan sebuah pohon besar" Vorn menatapku. Semua memandangku. Aku mengangkat bahu, polos.
Vorn menghela nafas, lagi. "Latihan hari ini adalah panahan. Panahan akan dilakukan pada sesi ketiga setelah pedang dan berkuda. Nona Tara, anda terlambat dua latihan itu, apa tidak masalah?" Vorn bicara. Aku mengangguk. "Tidak masalah sama sekali."
"Baiklah. Ambil panah, kemudian bidik sasaran itu dengan tepat" Vorn menunjuk sebuah papan dengan gambar lingkaran san titik kecil di tengahnya dengan jarak tujuh meter dari kami Kami mengambil panah masing-masing, bersiap di posisi.
"Kita juga lakukan tugas kita" Linden bicara pada ketiga dewan lain. Mereka mengangguk dan berjalan mendekat ke arah papan. Mereka berdiri di sampingnya. Sialnya, kenapa Linden harus ada di samping papan sasaran ku? "Apa aku boleh tukar tempat?" Aku bertanya.
Profesor Zen bingung. "Apa ada masalah nona?" Tanyanya. Aku menoleh. "Di sini terlalu silau. Karena di depanku ada anak laki-laki yang bersinar karena ketampanannya." Vorn menepuk jidat. "Lakukan sesukamu-"
"Jangan mengeluh dan lakukan saja Nona" Suara itu memotong bicara Vorn. Kami menoleh ke arahnya. Aku menatapnya datar.
"Selamat siang, wakil kepala" Profesor Zen dan Vorn menyapa. Forte melewati mereka berdua, tak acuh. "Apa kau yakin melanjutkannya Nona? Kau sudah dua kali tidak mengikuti latihan ini. Lebih baik kau mundur." Aku menghela nafas tipis. "Jika saya mundur, itu tidak akan merubah apapun profesor" Jawabku datar. Dia mengernyit tak senang.
"Maaf profesor, apa boleh kami memulai latihannya?" Profesor Zen bertanya memecah suasana tak mengenakkan ini. Profesor Forte hanya mengangguk kemudian balik badan menepi. Aku pikir dia akan pergi, ternyata dia malah menonton di samping Vorn. Aku kembali menatap ke depan.
"Mulai!" Profesor Zen berseru. Semuanya mengangkat panahnya. Rein melakukannya dengan sempurna, tepat sasaran. Begitu juga dengan Kayran dan Ascher. Aku mengangkat panahku, menariknya. "Posisimu salah Nona. Kau harus menegakkan badanmu" Ujar Forte menghentikan gerakanku. Aku menoleh.
"Apa posisi badan juga termasuk dalam penilaian?" Aku bertanya. "Tidak. Tapi jika posisi tubuhmu tidak benar, maka kau tidak akan tepat sasaran" Jawabnya. Aku menghela nafas. Turuti saja dia. Aku menegakkan tubuhku, kembali menarik panahnya, ingin membidik sasaran. "Luruskan tanganmu. Jangan membengkok" Ujar Forte lagi. Aku menoleh, sebal. Menurunkan panahku.
"Maaf profesor. Anda terlalu berlebihan" Ujarku.
Dia menggeleng tak bersalah. "Nona, ini sudah menjadi dasarnya. Anda harus melakukannya untuk mencapai sasaran. Jika tidak anda pasti akan meleset."
Aku heran dengannya. Aku yang akan bertanding tapi kenapa dia yang repot? Aku menghela nafas. Kembali mengangkat busurku, menariknya. Siap menbidik-
"Rasakan arah angin. Itu akan menentukan garis bidikanmu." Lenggang. Sialan, aku sangat ingin menyumpal mulutnya itu.
"P-profesor Forte, b-biarkan dia membidik dahulu baru kita akan mengatakan apa yang salah dari bidikannya" Profesor Zen bicara.
"Itu tidak di perlukan. Dia sangat tidak kompeten dan tidak bertanggung jawab. Dia akan gagal dalam sesi pertama karena tidak melakukan latihan sebelumnya, dan lihat sekarang. Bahkan aku sudah mengatakan kesalahannya tapi dia tidak bisa memperbaikinya. Aku sarankan untuk mengganti kandidat dengan anak kelas dua sebelumnya. Tapi kalian tidak mendengarkanku dan malah membela anak yang hanya dengan ras rendahan sepertinya-"
Aku melepas anak panahku, dia melesat ke papan bidikan. Tepat sasaran. Aku menarik lagi busurnya, melepaskan anak panah yang kedua. Anak panah itu menembus anak panah yang sebelumnya menancap. Tepat sasaran. Lenggang. Aku menarik lagi busur panah, melepaskan anak panah lagi, lagi dan lagi. Semua tepat sasaran, menembus anak panah- anak panah sebelumnya. Aku menarik nafas, buang. Menoleh ke arah Profesor Forte yang kini terdiam menatap papan itu dengan raut wajah terkejutnya.
"Apa saya ada kesalahan salam membidik profesor?" Tanyaku datar. Dia menatapku masih dengan raut wajah terkejutnya. Semua manatapku tidak percaya, bahkan Rein sampai tidak fokus membidik. Lenggang.
Akhirnya dia bungkam juga. Pikirku. Aku kembali ke papan itu, mengambil satu anak panah lagi, mengangkat panahku, menariknya, fokus. Aku melepasnya, anak panah itu melesat cepat, menembus anak panah sebelumnya, sedetik kemudian, papan itu patah, kemudian roboh saking banyaknya panah yang menancap kuat. Semua terkejut tertahan. Aku tersenyum kemenangan. Sudah aku bilang ini akan seru.
つづく
Arigato for reading~(◕ᴗ◕✿)
![](https://img.wattpad.com/cover/261949989-288-k53395.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Heroin Of Emores 【END - TERBIT】
Fantasía[ BEBERAPA PART TERAKHIR DIHAPUS UNTUK KEPERLUAN PENERBITAN ] Naomi Ryunei, seorang manager kantor biasa pada umumnya, kini dia berusia dua puluh satu tahun. Kaya, pinter, cantik bah, banyak lagi dah kelebihannya. Namun, keluarganya tidak memperlaku...