22

11 2 0
                                    

"Oke-oke. Lanjutin."

"Selama Kak Shima tinggal di sini, dia bantuin Cesha. Ngantar ke sekolah, ngajarin pelajaran yang sulit, dan banyak lagi sih, bantuan dari Kak Shima."

Fajar masih menyimak cerita adiknya, meskipun dia teringat sesuatu yang menjadi beban pikirannya selama ini.

"Ternyata Kak Shima itu kakaknya salah satu teman Cesha di sekolah yang baru, dia minta Cesha bujukin Kak Shima supaya mau pulang."

"Shima udah pulang ke rumahnya?" tanya Fajar karena Cesha terdiam cukup lama, sepertinya adiknya itu tidak tau harus bagaimana untuk melanjutkan ceritanya.

"Udah," jawab Cesha lalu menyandarkan tubuhnya.

"Alhamdulillah. Terus kamu kenapa lagi? Kenapa kayak terbeban?"

Setau Fajar, Cesha bukanlah orang yang mudah terbebani dengan suatu masalah, tetapi sekarang terlihat jelas kalau ia merasa tertekan. Pasti masalahnya cukup berat.

"Selama di sini, Kak Shima mulai berubah. Berubah jadi lebih baik, karena itu adiknya juga mau berubah," lanjut Cesha.

"Bagus dong, kamu ini gimana, sih. Itu hal yang bagus, kenapa sampai pusing?" Kali ini Fajar tidak habis pikir dengan Cesha, sesuatu yang bagus malah dipusingkan.

"Adiknya Kak Shima cowok."

Fajar mengangguk paham, kini ia tau. Cesha bukanlah orang yang bisa menolak orang lain, hatinya pasti merasa bersalah jika melakukan itu, tetapi tidak mungkin juga ia sering bertemu dengan orang yang bukan mahramnya.

"Jadi, kamu maunya gimana?" tanya Fajar pada akhirnya.

"Abang yang bantuin adiknya Kak Shima, ya?" pinta Cesha penuh harap, kini hanya Fajar yang menurutnya bisa membantu.

"Abang? Gimana caranya?" Bukannya tidak ingin membantu, Fajar hanya tidak tau harus memulai bagaimana. Teman sekelas Cesha, berarti dia sudah cukup besar, lalu apa yang harus dibantu?

"Ya, Cesha nggak tau. Coba obrolin dulu aja, intinya Abang mau atau enggak?"

"Abang mau-mau aja, nggak ada salahnya juga."

Jawaban yang diberikan Fajar membuat Cesha lega, tugasnya sudah berakhir, Aziz sudah mendapatkan orang yang akan membantunya. Sekarang itu adalah urusan mereka.

"Kamu masih ada beban pikiran?" Meskipun sudah menyetujui permintaan Cesha, tetapi adik sepupunya itu tetap tidak menunjukkan raut bahagia.

"Ada," jawab Cesha pelan, bahkan sangat pelan sehingga Fajar hanya dapat memahami gerakan bibirnya saja.

"Kenapa lagi?"

Sungguh, Cesha sangat ingin menceritakan kegelisahannya, tetapi dia ingat jika Fira ada di rumahnya, bagaimana jika Fira mendengar pembicaraan mereka?

"Cerita, aja. Mana tau Abang bisa bantu nyelesain masalah kamu. Ayo, cerita."

Cesha menatap ke lantai atas, lebih tepatnya ke arah kamarnya. Pintu berwarna hijau muda itu masih tertutup rapat, sepertinya Fira masih berada di dalam.

"Kenapa?" Melihat Cesha yang menatap ke lantai dua, Fajar juga ikut melihat arah pandang Cesha.

"Ada teman aku, takutnya dia dengar," jawab Cesha pelan. Fajar mengangguk lalu mengajak Cesha ke halaman rumah, jika temannya itu mendengar pembicaraan mereka, tentu akan kelihatan.

"Mau cerita sekarang? Kayaknya udah aman," ujar Fajar ketika mereka sudah duduk dengan nyaman di pondok.

"Iya. Cesha pindah sekolah karena nggak mau jauh dari abi, Cesha mau belajar seperti biasa, tenang tanpa ada gangguan. Tetapi Kak Shima, Aziz dan juga Fira. Karena mereka, Cesha nggak bisa mendapatkan apa yang Cesha mau, bukannya Cesha nggak suka dengan kehadiran mereka. Bukan seperti itu, tetapi rasanya nggak pantas kalau Cesha ikut campur masalah mereka," jelas Cesha.

Fajar mencoba memahami maksud adiknya, cowok itu paham dengan maksud Cesha, ia ingin tenang dan merasa tidak pantas untuk mencampuri masalah orang lain.

"Shima dan Aziz, Abang tau masalah mereka. Kalau Fira?"

"Awal masuk sekolah, Cesha nggak punya teman, makanya Cesha cari teman baru, dia Fira. Cesha yang nyapa dia duluan, Cesha nggak tau kalau Fira itu dijauhi sama teman-teman di sekolah. Fira dikatain pembunuh, tapi Fira nggak pernah membunuh. Orang-orang nyuruh Cesha untuk jauhi Fira, tapi Cesha nggak tega."

Masalah Cesha ini, tidak jauh-jauh dari nggak tega. Cesha sering merasa tidak enak dan juga bersalah, meskipun itu bukanlah kesalahannya. Ribet emang.

"Untuk Shima, kamu ikhlas nggak bantuinnya?"

"Ikhlas."

"Kalau gitu, masalah Shima clear, kan? Kamu ikhlas dan sekarang dia juga udah berubah jadi lebih baik. Kalau memang kamu ikhlas, InsyaAllah kamu dapat berkahnya, Dek. Kalau Aziz, kamu gimana?" jelas Fajar.

"Cesha cuma nggak enak nolaknya, rasanya tuh gimana ya, kayak orang berharap tapi kita nggak bisa penuhin. Rasanya nggak berguna."

Fajar menatap Cesha, mata gadis itu melirik naik turun, seperti ada yang disembunyikannya atau bisa saja dia berbohong. Fajar tidak mau berprasangka buruk, tetapi mau bagaimana lagi?

"Kamu yakin? Atau ada yang disembunyikan dari Abang? Kamu nggak bisa bohong ke Abang, jujur aja Cesha." Kali ini Fajar bicara dengan tegas, tidak suka jika Cesha memendam masalahnya sendiri.

"Abang, Cesha ... Cesha." Cesha tidak bisa mengatakan kalau sebenarnya dia memiliki perasaan terhadap Aziz. Itu bukanlah hal yang bisa dia katakan dengan mudah.

"Kenapa? Aziz ganggu kamu?" Cesha gelagapan sehingga membuat Fajar tidak bisa berpikir positif.

"Enggak. Bukan gitu," bantah Cesha.

"Kalau enggak, kenapa? Kamu biasanya tenang, loh. Istighfar dulu, baru ngomong sama Abang."

Cesha menuruti perintah Aziz, beristighfar di dalam hatinya. Menenangkan hati dan pikirannya yang kalut. Tidak seharusnya ia panik seperti ini, pertanyaan yang diajukan Fajar hanyalah pertanyaan wajar. Cesha saja yang menghadapinya dengan berlebihan.

🍀🍀🍀

CESHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang