"Abi kenapa sampai kayak gini? Cesha kan udah bilang, jangan terlalu sibuk kerja, jadi sakit gini, kan. Cesha sedih, Bi," keluh Cesha pada abinya.
Kini Rama telah bangun dan Cesha langsung mengajaknya bicara, melihat kedua mata yang telah ditunggu-tunggunya untuk terbuka itu mulai menunjukkan bola matanya, tentu Cesha merasa bahagia.
"Cesha, jangan nanya gitu ke abi. Abi baru bangun, jangan langsung ditanya gitu," tegur Fajar.
"Abi mau minum?" tawar Fajar.
Rama menggeleng lalu melihat Cesha yang kedua matanya masih basah, Rama yakin jika anaknya itu pasti terus menangis.
"Sini."
Tanpa pikir panjang Cesha langsung mendekati Rama dan memeluk tubuh sang abi dengan pelan, takut jika sentuhannya akan menyakiti tubuh Rama.
"Abi udah nggak apa-apa? Pusing atau sakit yang lain?" tanya Cesha lagi setelah melepas pelukannya.
"Nggak apa-apa sayang, maaf karena udah bikin Cesha takut, ya."
Rama tersenyum hangat, meskipun wajahnya masih pucat dan tubuhnya juga masih lemah, ia tidak mau menunjukkan hal tersebut di hadapan putri satu-satunya.
"Cesha khawatir, takut, Abi jangan kerja terus. Lagipula Abi kerja terus untuk apa? Kita udah punya uang Abi, jangan maksain diri lagi. Apa selama ini Cesha selalu minta sesuatu yang aneh sehingga Abi harus kayak gini."
Rama menggeleng pelan, Cesha memang tidak pernah meminta sesuatu yang mahal, tetapi Rama tentu saja ingin memberikan yang terbaik untuk putrinya. Istrinya telah tiada, setidaknya Rama bisa membuat Cesha puas dengan apa yang masih bisa diberikannya.
"Maaf ya karena udah bikin kamu khawatir, sekarang Abi udah nggak apa-apa, kamu pulang ya istirahat."
Cesha menggeleng dengan wajah sendu, bagaimana bisa ia meninggalkan Abinya yang sedang sakit sendirian di rumah sakit. Cesha tidak setega itu.
"Cesha nggak mau Abi sendirian, Cesha disini aja nemenin Abi," tolak Cesha pelan.
"Besok kamu sekolah, kalau kamu disini, nanti kamu capek. Nurut sama Abi, pulang dan istirahat, besok kamu bisa kesini lagi." Rama masih tegas untuk meminta Cesha pulang, bagaimana bisa Rama membiarkan Cesha tidur di rumah sakit.
"Nggak mau Abi, kalau nanti Abi butuh sesuatu, gimana? Cesha nggak mau pergi."
Cesha dan Rama memiliki kekhawatiran masing-masing, keduanya saling menyayangi sehingga tidak mau merepotkan.
"Cesha, kan ada Abang. Kamu lupa? Abang yang akan jagain Abi, kamu pulang aja terus istirahat, besok juga kamu harus sekolah." Fajar akhirnya mengeluarkan suaranya, jika tidak maka tidak akan ada hasil dari perdebatan mereka.
"Nggak mau, Abang juga besok harus kuliah. Abang pulang aja."
Cesha tetap menolak, lagipula Fajar adalah sepupunya, rasanya terlalu berlebihan jika meminta Fajar menjaga Rama. Disini, Cesha adalah anak kandungnya, ini tanggungjawab yang harus Cesha jalani.
"Kamu yang pulang Cesha, Abi marahin Cesha yang keras kepala ini," adu Fajar pada Rama, padahal jelas saja Rama mendengar apa yang diributkan keduanya.
"Cesha nggak mau sendiri, Cesha mau sama Abi. Lagipula kalau Cesha libur sekolah untuk beberapa hari nggak masalah," elak Cesha.
Selama ini dia selalu datang ke sekolah, tidak pernah libur jika memang bukan karena tanggal merah, makanya jika ia izin untuk beberapa hari, menurutnya itu bukanlah masalah.
"Abi, lihat. Cesha mau bolos."
"Bang," panggil Cesha kesal. Jika Fajar terus bicara, maka Rama pasti tidak akan mendengarnya.
"Cesha, kamu pulang ya. Abi udah nggak apa-apa, justru Abi akan kenapa-napa kalau kamu di rumah sakit terus."
Cesha masih ingin protes, tetapi melihat wajah abinya yang sepertinya sudah lelah, Cesha jadi mengurungkan niatnya itu.
"Kamu juga pulang Fajar, Cesha benar, besok kamu harus kuliah. Nanti kamu kecapean," lanjut Rama.
Fajar juga tidak mengatakan apapun walaupun tidak setuju dengan sang paman, bagaimana dia bisa meninggalkan pamannya yang sedang sakit sendirian di rumah sakit, meskipun ada dokter dan suster tetapi tetap saja rasanya berbeda.
"Abi gimana?" tanya Cesha lagi.
"Memangnya Abi butuh apa lagi? Bentar lagi Abi juga mau tidur, kalau tidur memanglah Abi butuh apa lagi? Nggak ada, kan?"
Fajar mengangguk sekali.
"Fajar bawa Cesha keluar, Bi."
Rama tersenyum lega. "Iya, kalian hati-hati, ya."
"Bang." Cesha memelas, Fajar mengabaikannya.
"Kalian nggak pulang?" tanya Fajar pada Ashima dan Aziz yang masih betah duduk di sofa sambil melihat mereka, seperti menonton film saja.
"Eh, iya."
"Kami pergi dulu, Bi."
Fajar mencium punggung tangan Rama diikuti Aziz lalu Ashima. Sedangkan Cesha memeluk Rama sebentar baru menyalaminya.
"Abi istirahat, ya."
"Iya, Nak."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
🍀🍀🍀
"Bang, kita beneran ninggalin abi sendiri?" tanya Cesha ketika sudah keluar dari ruang rawat inap abinya.
"Enggak, lah. Kamu pulang, Abang jagain abi dari sini," jawab Fajar.
"Kenapa gitu?"
"Abi nggak akan biarin kita di rumah sakit kalau beliau tau, makanya diam-diam aja. Kamu pulang, biar Abang yang jagain Abi, jangan membantah lagi."
"Ayo, Abang antar kamu dulu, baru balik kesini lagi."
"Fajar." Panggilan itu mengalihkan perhatian mereka. Ashima.
"Kami aja yang nganterin Cesha, nanti lo capek kalau bolak-balik."
Aziz berdehem dan tersenyum geli. Ternyata kakaknya yang galak bisa perhatian juga, apalagi selama ini dia tidak pernah merespon Fajar dengan baik.
"Nggak usah, nanti kalian repot. Aku aja yang nganterin Cesha," tolak Fajar.
"Gue juga mau nginep, boleh kan ... Cesha?"
🍀🍀🍀
KAMU SEDANG MEMBACA
CESHA
General FictionGadis riang bernama Cesha Bounze, hidupnya masih diselimuti kesedihan karena baru saja ditinggalkan oleh sang umi. Akibat kepergian dari orang yang sangat berarti tersebut membuat Cesha pindah sekolah agar lebih dekat kepada Abinya. Tetapi kesediha...