32

9 4 0
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul tiga lewat lima menit, Cesha menunggu Abinya di depan gerbang sekolah, kali ini ia tidak bersama dengan Fira, temannya itu ingin pulang ke rumah dan bertemu keluarganya, jika itu keinginannya maka Cesha tidak akan memaksa. Tadi juga Fira sudah menawarkan diri untuk menemani Cesha hingga Abinya datang, tetapi Cesha menolak karena merasa tidak enak.

Sebuah motor sport berhenti tepat di hadapan Cesha, tetapi cewek tersebut tidak bingung karena tau milik siapa motor tersebut.

"Hai, Cesha. Eh, Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam."

"Ngapain di sini?" tanya Aziz.

Ya, dia Aziz.

"Nunggu Abi," jawab Cesha singkat.

Aziz yang tidak tau harus mengatakan apapun lagi hanya mengernyit untuk memilih topik yang tepat dibahas bersama Cesha.

"Nggak mau pulang bareng gue aja?"

Detik berikutnya Aziz langsung bungkam dan menyesal karena mulutnya menanyakan hal tersebut, sudah pasti Cesha akan menolak tawarannya.

"Nggak usah, makasih atas tawarannya," tolak Cesha halus.

Tidak apa, Aziz sudah maklum dan tidak tersinggung. Justru sikap Cesha yang seperti ini menjadi daya tarik tersendiri baginya entah karena apa.

"Gue temenin ya sampai lo dijemput," tawar Aziz lagi.

Cesha tetap memberikan jawaban dengan menggeleng, berada di dekat Aziz justru membuatnya merasa tidak nyaman walaupun ada rasa suka di hatinya.

"Disini masih banyak orang, kok. Kamu pulang duluan aja. Aku nggak apa-apa nunggu sendiri."

Aziz kehabisan topik, padahal dia masih ingin bicara dengan Cesha, mengingat mereka tidak akan bisa berbicara jika bukan di sekolah, itupun tidak selalu ada kesempatan.

Sepertinya ....

"Kak Shima katanya kangen sama lo."

Kak Shima adalah topik yang tepat untuk dibahas bersama Cesha. Bagaimanapun juga, mereka pernah tinggal bersama.

"Aku juga rindu dengan Kak Shima, titip salam ya, untuk Kak Shima."

Cesha kembali mengingat Shima, orang asing yang tiba-tiba menjadi kakaknya, Shima orang yang baik, tetapi karena ia sudah bisa mengendalikan perasaannya sendiri, Cesha juga bahagia.

"Iya, nanti gue sampaikan. Oh iya, Kak Fajar itu ternyata calonnya Kak Shima."

Cesha mengangkat wajahnya, terlihat jelas jika ia terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Aziz, berarti Shima adalah calon kakak iparnya.

"Thanks karena udah nemuin gue dengan Kak Fajar, jadinya gue belajar sama calon kakak ipar sendiri." Aziz tertawa pelan di akhir kalimat, awalnya ia memang canggung dengan Fajar, tetapi ketika tau bahwa Fajar adalah calon kakak iparnya, Aziz sudah tidak merasa canggung lagi.

"Udah takdir," balas Cesha seadanya.

Lagipula, meskipun Cesha tidak mempertemukan Aziz dan Fajar, mereka juga akan bertemu nantinya, cepat atau lambat, tetapi itu pasti.

"Lo nggak mau nemuin Kak Shima?"

Pertanyaan yang mengandung maksud tertentu, sudah pasti Aziz ingin membawa Cesha ke rumahnya, dan tentu bukan hanya sekedar untuk bertemu dengan Ashima.

"Aku mau nemuin Kak Shima, tapi kayaknya nggak bisa sekarang. Aku mau pulang."

Tentu saja ditolak, bagaimana mungkin Cesha mau ke rumah Aziz, menurutnya itu tidaklah benar, meskipun Aziz adalah temannya. Tetapi tetap saja rasanya aneh.

"Kenapa?"

Aziz merutuki mulutnya sendiri setelah menanyakan hal itu, jangan sampai Cesha menganggapnya sebagai orang yang suka mendesak dan tidak bisa memahami orang lain.

"Kalau mau nemuin Kak Shima, aku perginya sama siapa?" tanya Cesha untuk menjawab pertanyaan yang diajukan Aziz.

Aziz menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Iya juga, ya."

"Cesha, ayo pulang."

Cesha mengangkat wajahnya yang daritadi menunduk seraya menatap aspal.

"Bang Fajar? Abang ngapain?" tanya Cesha.

"Assalamu'alaikum." Bukannya menjawab pertanyaan yang diajukan Cesha, Fajar lebih dulu mengucapkan salam.

"Wa'alaikumsalam," jawab Cesha dan Aziz serentak.

"Abang ngapain ke sini? Abi dimana?"

Perasaan Cesha menjadi tidak enak, setelah kehilangan sang ummi, Cesha selalu khawatir dengan abinya, jika sang abi tidak berada di dekatnya maka Cesha pasti menjadi khawatir meskipun ia selalu bisa menyembunyikan perasaannya.

"Abi Rama sakit, lagi dirawat di rumah sakit. Makanya Abang yang jemput kamu." Penjelasan Fajar membuat Cesha terkejut, matanya memanas dan tubuhnya gemetar. Cesha merasa sangat takut.

"Abi sakit apa?" tanya Cesha pelan, air matanya sudah menggenang dan sebentar lagi akan turun.

"Abi Rama cuma kelelahan, sekarang Abang antar kamu pulang. Ayo."

Cesha tidak bisa menggerakkan kakinya, dia panik tetapi tidak bisa melakukan apapun. Tubuhnya lemaa dan pikirannya menjadi tidak fokus.

"Cesha, ayo."

Fajar berinisiatif untuk memegang pergelangan tangan Cesha lalu menariknya dengan pelan.

"Aziz, sepertinya nanti Saya tidak bisa datang ke rumah kamu. Saya tidak bisa meninggalkan Cesha sendirian."

Aziz mengangguk cepat, fokusnya juga hampir hilang karena mendengar keadaan abi dari temannya itu.

"Iya, Kak. Nggak apa-apa, Saya ngerti."

"Kami duluan, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

"Ayo, Dek, masuk ke mobil."

Fajar membuka pintu mobil untuk Cesha, setelah memastikan adik sepupunya itu duduk dengan aman barulah Fajar menutup pintu dan berjalan ke kursi kemudi.

"Kamu tenang, ya. InsyaAllah, Abi Rama pasti baik-baik saja, kamu berdo'a ya."

"Cesha takut, Cesha takut abi pergi seperti ummi. Abang, Cesha takut."

Kali ini Cesha tidak menahan air matanya lagi, ketakutannya sudah terlihat dengan jelas. Air mata yang selama ini disimpan dan disembunyikannya sudah keluar.

"Cesha, tenang. Abi Rama pasti baik-baik saja, sekarang kamu harus berdo'a. Do'akan Abi, cuma itu yang dia butuhkan."

"Kalau Abi cuma kelelahan, kenapa harus dirawat?"

🍀🍀🍀

CESHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang