05

18 3 0
                                    

Ashima memperhatikan Cesha yang sedang sholat, sebenarnya dia merasa malu karena tidak ikut. Tapi yah ....

Cesha melipat mukenanya sambil memperhatikan Ashima yang melamun, entah apa yang dipikirkannya itu.

"Kakak kenapa?" tanya Cesha yang risih melihat Ashima melamun seperti itu.

"Nggak apa-apa, gue cuma lagi kepikiran rumah aja, hehehe." Cesha mengangguk mengerti, dia yakin bahwa Ashima adalah orang yang baik.

"Kakak tenangin diri dulu, kalau udah tenang baru kakak pulang," ujar Cesha seraya meletakkan mukenanya di tempat seharusnya.

"Hm, gue nggak pengen pulang." Cesha menggeleng pelan, katanya kepikiran tapi nggak mau pulang, tapi biarkan saja Ashima mau bertindak apa.

"Yaudah, ayo turun ke bawah, Kak. Makan dulu," ajak Cesha dan dituruti Ashima. Hingga kini Ashima masih mengagumi Cesha dan abinya, mereka berasal dari keluarga yang berada tetapi tidak segan untuk membantu orang lain, padahal mereka tidak kenal sebelumnya.

"Cesha," panggil Ashima pelan setelah mengambil makanan untuk dirinya sendiri.

"Iya, Kak?"

"Umi lo mana? Nggak apa-apa nih makan duluan? Abi lo juga nggak ada di sini." Cesha tersenyum tipis sebelum menjawab.

"Umi aku udah meninggal, Kak. Kalau abi, nggak pulang malam ini, katanya ada meeting sampai malam." Ashima mengangguk mengerti.

"Sorry gue nggak bermaksud untuk bikin lo sedih," ujar Shima merasa bersalah.

"Gapapa, Kak."

Setelah itu mereka memakan makanan yang sudah dipesan oleh Cesha tadi, tentu saja Cesha yang membayar karena Ashima tidak membawa uang.

Kini Ashima merasa hidupnya sangat merepotkan orang lain, apa ini yang dirasakan oleh orang tuanya sehingga mereka tidak menyayanginya dan sering memerintahnya? Hah, Ashima kini bukannya badmood tetapi sedih.

"Kak, jangan melamun." Ashima tersadar kemudian melanjutkan makannya yang sempat tertunda.

🍀🍀🍀

Ashima duduk di sofa sambil menatap lurus ke arah depan, tidak menyangka hidupnya akan semenyedihkan ini. Meskipun dari luar dirinya terlihat kuat dan terus menentang, tetapi tetap saja hatinya merasa sakit.

Menjadi pemberontak tidaklah menyenangkan, karena harus menutupi luka yang ada di hati sehingga tidak bisa bersikap sesuai perasaan sendiri.

Andai bisa memilih, maka Ashima pasti akan memilih keluarga yang bisa mempertimbangkan pendapatnya, bukan hanya bisa memerintah.

Gadis yang sedang dirundung kesedihan itu membaringkan tubuhnya di atas sofa yang berwarna hijau, terlalu malu untuk tidur bersama Cesha. Dia sudah banyak merepotkan gadis baik itu.

Cesha terbangun karena bermimpi dengan uminya, tanpa sadar air mata Cesha turun dengan sendirinya. Setelah debaran jantungnya mulai teratur, Cesha mengambil segelas air yang berada di nakas dan menghabiskannya dalam sekali tegukan. Ini sudah sering terjadi sejak kepergian uminya, semua kenangan terputar sendiri oleh pikirannya.

"Kak Ashima kenapa tidur di situ?" gumam Cesha pelan setelah melihat Ashima meringkuk di sofa yang tidak lebih panjang dari tubuhnya.

Cesha turun dari tempat tidurnya untuk membangunkan Ashima, untung saja Shima tidak sulit untuk dibangunkan karena memang dia belum tidur dengan nyenyak.

"Kakak kenapa tidur di sini?" Ashima mengerjapkan matanya, melihat Cesha dengan pandangan yang masih kabur.

"Oh, itu. Gue nggak mau ngerepotin lo, btw kenapa lo bangun jam segini?"

"Nggak ngerepotin kak, memangnya aku ngabisin semua tempat," ujar Cesha seraya terkekeh.

"Kenapa lo bangun jam segini?" ulang Ashima, setaunya ini bukanlah jam yang tepat untuk terbangun bagi seorang gadis seperti Cesha.

"Aku terbangun Kak, tadi mimpiin umi," lirih Cesha di akhir kalimat. Tanpa sadar Ashima merangkul Cesha dan mengelus punggungnya untuk menenangkan dirinya.

"Lo sabar, ya. Umi lo udah tenang, kalau lo sedih gini, umi lo akan ikut sedih." Ashima bahkan tidak menyangka jika dia bisa menasehati gadis yang lebih muda di hadapannya ini.

"Iya, Kak. Aku udah coba ikhlas, tapi masih kepikiran. Aku kurang usaha kali, ya." Air mata Cesha turun beserta kekehannya, menertawakan dirinya sendiri. Berpura-pura untuk terlihat baik-baik saja tidaklah mudah.

"Bukan kurang usaha, emangnya lo mau ngelupain umi lo?" Cesha menggeleng.

"Itu karena kepergian umi lo belum lama, seiring berjalannya waktu lo pasti bisa ikhlas." Ashima tertawa dalam hati karena ucapannya sendiri, sejak kapan dirinya sok bijak seperti ini?

"Makasih, ya kak," ucap Cesha dengan suara serak.

"Sama-sama, lo baik Ches. Gue aja iri." Cesha menatap Ashima dengan pandangan bertanya, apa yang diirikan Ashima padanya?

"Lo bisa pura-pura tegar, sedangkan gue? Ngatur emosi aja nggak bisa. Lo bisa sabar ngehadapin orang-orang, sedangkan gue? Bawaannya emosi terus."

"Malah aku pengen kayak kakak, bisa berekspresi sesuai dengan yang dirasakan." Ashima tertawa pelan, dia rasa, Cesha sangat cocok dengannya.

"Andai lo jadi adek, gue. Gue pasti jadi kakak yang paling bahagia."

"Kakak bisa anggap aku sebagai adek, soalnya aku juga pengen punya kakak." Ashima memeluk Cesha dengan erat, untuk pertama kalinya ada yang memahaminya dengan baik. Bahkan mamanya saja tidak bisa melakukan itu. Kini Ashima berpikir bahwa dia melakukan hal yang tepat dengan kabur sehingga bisa bertemu dengan Cesha, dalam waktu singkat, Ashima sudah menyanyangi gadis penyuka warna hijau tersebut.

"Udah ih, sekarang lo tidur, besok sekolah." Ashima bertindak seperti seorang kakak yang tidak mau adeknya kesiangan, ada rasa bahagia di hati Cesha maupun Ashima.

"Nanti aja, Kak. Aku mau sholat tahajjud dulu," ujar Cesha kemudian melepas pelukannya dari Ashima.

"Cesha," tahan Ashima.

"Ya, Kak?" Ashima ragu untuk mengutarakan isi hatinya.

"Eh, nggak jadi deh. Buruan sana." Cesha yang bisa memahami maksud Ashima hanya tersenyum tipis.

"Kalau kakak mau sholat juga, ayo sama-sama." Ashima menatap Cesha dengan pandangan tak percaya, apa Cesha bisa membaca pikirannya?

"Aku nggak bisa baca pikiran kak, cuma bisa liat dari raut wajah kakak."

"Apa semudah itu raut wajah gue dibaca? Tapi kenapa orang tua gue nggak bisa memahami gue?" tanya Ashima, kenapa orang lain bisa memahaminya tetapi keluarganya tidak bisa?

"Bukannya orang tua kakak nggak bisa tau isi hati kakak, bisa saja mereka tidak tau bagaimana mengungkapkannya, atau ada halangan untuk itu."

"Nenek?" gumam Ashima.

"Kakak jadi mau ikut sholat?" Ashima mengangguk dengan ragu.

"Jangan ragu untuk berbuat kebaikan, Kak." Kini Ashima mengangguk dengan yakin.

🍀🍀🍀

CESHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang