"Udah, kan? Sekarang lo bisa pergi," usir Ashima. Aziz hanya pasrah, lalu bangkit dari duduknya.
Sebelum pamit, Aziz melemparkan senyum kepada kakaknya yang masih memasang raut wajah jengkel.
"Gue pamit dulu sama Abinya Cesha," ucap Aziz ketika teringat dengan pria paruh baya yang dijumpainya tadi, Abinya Cesha sudah membiarkan Ashima tinggal di sini. Tentu saja Aziz harus bersikap baik, bukan sekedar untuk pencitraan, tetapi hati Aziz yang memintanya.
Ashima sudah akan membantah tetapi langsung ingat kalau ia mau berubah, berkata kasar bukanlah hal baik. Oke, Ashima harus menahan amarahnya.
"Abinya Cesha mau istirahat, lo nggak usah ganggu. Nanti gue aja yang bilang," ucap Ashima setelah lama berpikir, kalimat apa yang harus diucapkannya pada Aziz agar tidak terkesan kasar ataupun lembut.
"Nggak apa-apa?" tanya Aziz ragu, memangnya ucapan pamit bisa diwakilkan?
"Iya, udah sana pergi." Ashima mendorong tubuh Aziz agar segera keluar.
"Kak, mau sampai kapan lo tinggal di sini? Bukannya gue nggak suka, tapi nggak enak juga sama Cesha dan juga Abinya. Lagipula kalau kayak gini, masalahnya nggak akan kelar." Aziz memberanikan mengatakan hal ini, bukan karena takut akan kemarahan Ashima, tetapi takut kalau Ashima kabur lagi. Bisa ribet urusannya.
Dalam diam Ashima menyetujui ucapan Aziz, meskipun ia yakin kalau Cesha dan Abinya tidak akan keberatan, tetapi masalahnya tidak akan selesai.
"Kak, kalau kita omongin baik-baik, orang tua kita pasti ngerti."
Ashima berdecak tak suka. "Kalau mereka memang bisa ngerti, seharusnya udah terjadi dari kemarin. Tapi kenyataannya apa, bahkan sampai gue kabur juga mereka nggak peduli," bantah Ashima.
Kalau orang tuanya memang peduli, tidak mungkin Ashima masih berada di rumah Cesha hingga saat ini. Ashima tau kalau orang tuanya bisa menemukannya dengan mudah, tetapi nihil.
"Orang tua kita mau berubah," ucap Aziz dengan yakin.
"Bohong, lagipula ini udah terlalu terlambat. Mereka selalu berada di bawah tekanan nenek tanpa berniat untuk bebas, bagaimana mungkin mereka mau bebasin gue."
"Oke, gue ngerti. Tapi pikirin omongan gue, kak." Aziz keluar dari rumah Cesha tanpa melihat Ashima lagi, karena kakaknya itu pasti tidak akan menyukainya.
Aziz hanya berharap agar Ashima tidak keras kepala, orang tuanya sudah mau berubah. Aziz yakin, orang tua tidak akan mengingkari janjinya sendiri.
🍀🍀🍀
"Aziz nggak bujukin gue supaya pulang. Tapi dia bilang, orang tua gue mau berubah. Gue mau percaya, tapi nggak bisa, susah banget," curhat Ashima pada Cesha.
"Kak, setiap orang pasti bisa berubah. Kakak hanya perlu meyakininya." Ashima termenung. Selama ini, Ashima sering mengadu bahkan sampai mengeluh, tetapi orang tuanya tidak pernah peduli, mereka selalu menganggap kalau Ashima yang salah.
"Mereka pasti sulit untuk berubah," bantah Ashima pelan, hatinya mengatakan orang tuanya akan berubah, tetapi pikirannya tidak percaya. Mustahil.
"Berubah itu memang sulit, Kak. Tapi insyaallah, mereka pasti akan berubah. Kakak anaknya, orang tua pasti akan selalu menyayangi anaknya," jelas Cesha membuat dada Ashima terasa sesak. Keluarga Cesha adalah keluarga yang bahagia, berbeda dengan dirinya.
"Mereka ... nggak akan bisa berubah, ini bukan pertama kalinya mereka mengumbar janji. Udah sering, tetapi selalu diingkari," curhat Ashima.
"Gue udah kasih mereka banyak kesempatan, tetapi kesempatan itu selalu disia-siakan, justru gue dianggap lemah dan membuat mereka menjadi semena-mena," lanjut Ashima. Cesha merasa keluarga Ashima sangat peduli dengannya, tetapi kenapa Ashima malah tertekan?
"Bukannya itu berarti mereka peduli, Kak?" tanya Cesha bingung.
"Menurut gue, peduli itu ketika semua keinginan kita itu nggak ditentang, mereka cukup mendukung dan mengawasi. Kalau kita melakukan kesalahan, mereka wajib menegur," jelas Ashima kemudian menyandarkan tubuhnya di sofa. Sebenarnya gadis itu sudah lelah menghadapi situasi seperti ini, rasanya lebih baik tidak dihadirkan daripada harus menanggung semua masalah ini.
Cesha membenarkan ucapan Ashima, tetapi seharusnya Ashima bersyukur karena masih bisa merasakan kasih sayang seorang ibu, tidak seperti dirinya yang tidak akan bisa merasakan hal yang sama lagi.
Ashima merasa ada yang tidak beres dengan Cesha, biasanya gadis itu selalu memberikan masukan-masukan dan nasehat yang baik, meskipun Ashima lebih tua tetapi hal itu tidak membuat Ashima merasa rendah diri. Ashima tidak masalah harus mempelajari kehidupan dari orang yang seumuran dengan adiknya.
"Lo kenapa?" tanya Ashima kemudian merangkul Cesha.
"Kakak beruntung karena masih bisa merasakan kasih sayang orang tua kakak dengan lengkap, sedangkan aku ...." Ashima paham apa yang ingin dikatakan Cesha selanjutnya. Tetapi semua itu tidaklah benar, keluarga Ashima tidak seperti keluarga Cesha.
"Jadi, kita punya kesedihan masing-masing?" tanya Ashima seraya terkekeh pelan, gadis itu baru sadar kalau setiap orang pasti memiliki masalah sendiri, baik ditunjukkan secara langsung ataupun dipendam sendirian.
"Iya," jawab Cesha sambil tersenyum tipis.
Cesha juga baru mengingat hal itu, tidak baik baginya karena terus-terusan merasa sedih. Bahkan ketika kepergian uminya, Cesha merasa kalau hidupnya adalah yang paling menyedihkan. Tetapi kini, Cesha sudah sadar, kalau tidak ada orang yang menyedihkan di dunia ini, semua itu tergantung dengan bagaimana orang menyikapi masalah yang dihadapinya.
Cesha memang sedih, tetapi abinya pasti lebih sedih lagi. Apalagi jika abinya tau kalau Cesha pura-pura bahagia untuk menutupi lukanya, mulai sekarang Cesha tidak akan memendam kesedihannya lagi, Cesha harus bangkit karena uminya pasti juga menginginkan hal yang sama.
"Terimakasih, Kak," ucap Cesha lalu memeluk tubuh Ashima, dan gadis itu tidak segan-segan untuk membalasnya.
"Untuk apa? Gue nggak ngelakuin apapun," balas Ashima heran. Memangnya apa yang sudah dia lakukan?
"Karena kakak udah menyadarkan aku, kalau setiap orang memiliki kesedihan yang sama. Tidak ada orang yang menyedihkan, tetapi tergantung cara mereka menyikapinya."
"Jangan buat gue malu, asal lo tau, selama ini gue belajar dari lo," ungkap Ashima. Sepertinya ... malam ini adalah malam terakhir Ashima bersama Cesha, Ashima sudah mengambil keputusan, kalau dia akan kembali ke rumah orang tuanya. Ashima ingin mengungkapkan semua isi hatinya kepada Cesha.
"Aku? Apa?"
"Tentang bagaimana lo selalu menghormati om Rama, lo penurut, baik dan tidak memandang orang lain dengan rendah, bahkan ketika lo tau siapa itu Fira, lo tetap mau temenan sama dia." Ashima menjelaskan dengan senyuman lebar.
"Sekarang gue justru senang kalau Fira bisa temenan sama lo, seperti lo yang udah ngerubah gue, Fira pasti juga bisa berubah," lanjut Ashima.
"Bukan karena aku, Kak. Kakak berubah karena keinginan kakak sendiri," kilah Cesha.
Ashima tersenyum geli mendengar itu. "Mungkin lo akan ngerubah lebih banyak orang lagi. Jangan pernah berubah Cesha, banyak yang membutuhkan lo."
🍀🍀🍀

KAMU SEDANG MEMBACA
CESHA
Narrativa generaleGadis riang bernama Cesha Bounze, hidupnya masih diselimuti kesedihan karena baru saja ditinggalkan oleh sang umi. Akibat kepergian dari orang yang sangat berarti tersebut membuat Cesha pindah sekolah agar lebih dekat kepada Abinya. Tetapi kesediha...