11

14 3 0
                                    

Cesha dan Alifa melihat ke arah sumber suara, ternyata Fira yang berdehem. Melihat kehadiran temannya, Cesha tersenyum dan meminta Fira untuk duduk bersama mereka.

"Nggak, gue nggak mau duduk dengan orang kayak dia." Fira menolak untuk melakukan permintaan Cesha karena enggan duduk bersama Alifa.

"Fira," panggil Cesha pelan, merasa tidak enak dengan Fira yang kini memandang ke arah lain.

"Gue jujur, cuma ngomong apa adanya," kilah Fira, dia tau kalau kini Cesha merasa tidak enak kepada Alifa karena ucapannya, tetapi Fira hanya mengatakan isi hatinya saja. Tidak lebih.

"Yaudah, gue pergi dulu ya, Cesh." Alifa pergi setelah mengatakan itu, tanpa menoleh ke arah Fira. Jujur saja, Alifa takut.

"Ngapain sama dia?" tanya Fira langsung, kali ini dia mendapat teman dan tidak ingin kehilangan temannya itu. Tidak peduli apa yang akan dipikirkan orang-orang tentang sifatnya, yang penting dia tidak merasakan hal yang sangat dihindarinya.

"Tadi kenalan, terus makan bareng," jawab Cesha, tidak risih sama sekali dengan sifat Fira yang berlebihan. Bagi Cesha, itu tidak salah.

Fira mengangguk, sedikit merasa bersalah atas sikapnya, seharusnya Cesha dapat berteman dengan siapa saja sesuai keinginannya. Dirinya tidak memiliki hak untuk melarang seperti itu.

"Fira." Yang dipanggil langsung menoleh sambil berdehem.

"Kamu kenapa ngomong kayak tadi? Kalau Alifa tersinggung gimana?" tanya Cesha pelan, mencoba untuk tidak menyinggung perasaan Fira. Sedikit banyak gadis manis itu sudah paham dengan sifat Fira.

"Siapa Alifa?" Cesha mengernyit, dia tidak salah nama kan? Alifa sendiri yang mengenalkan dirinya tadi.

"Yang tadi ngenalin diri, namanya Alifa kan?" Fira mengangguk dua kali, bukan membenarkan tetapi untuk mengartikan kalau dia paham siapa yang dimaksud oleh Cesha.

"Mana gue tau, gue nggak peduli," ujar Fira dengan cuek, dia manatau nama-nama teman di kelasnya, lebih tepatnya tidak ingin tau.

Bagi Fira tidak penting untuk mengingatnya, memangnya mereka siapa?

"Oh iya." Fira berseru sambil menggebrak meja dengan cukup kuat sehingga berhasil menarik perhatian beberapa orang.

"Kenapa?" tanya Cesha setelah menelan makanannya.

"Kenapa kak Ashima ada di rumah lo? Dia kakaknya Aziz, kan?" Cesha berdehem pelan, bingung harus menjawab seperti apa. Kalau mengatakan yang sebenarnya, maka Ashima bisa malu.

"Itu, emangnya kenapa sih?" Cesha cukup kesal dengan pertanyaan ini, tidak ingin berbohong untuk ini, tetapi kalau jujur, ah.

"Ya, gue kaget. Di rumah lo ada kak Ashima, paling dia kabur lagi. Gue nggak kaget kalau itu, tapi kenapa dia ada di rumah lo? Emangnya kalian saudaraan? Eh, nggak deh. Kemarin aja lo kenalan sama Aziz." Cesha hanya diam mendengar pertanyaan itu, kenapa Fira sangat penasaran?

"Kamu kenapa penasaran banget?" Fira hanya mengedikkan bahunya, entah kenapa dia penasaran seperti ini? Apa karena Ashima adalah kakaknya Aziz? Kakak dari orang yang dia sukai? Apa karena takut tersaingi?

"Nggak tau kenapa," tutur Fira. "Yaudah kalau nggak mau jawab, paling tuh orang kabur terus maksa untuk nginap di rumah lo."

Cesha tidak mengomentari pendapat yang dilontarkan Fira, terserah temannya itu ingin menyimpulkan seperti apa.

"Gue pesan makanan dulu, ya." Fira langsung beranjak dari tempat duduknya setelah Cesha mengangguk, meninggalkan temannya yang sedang menghela nafas lega.

"Cesha."

"Ya?" tanya gadis itu sambil menunduk.

"Bisa ikut gue sebentar?" Cesha tidak menjawab karena dia tidak bisa percaya pada laki-laki di hadapannya ini.

"Kemana?" Pria di hadapannya ini menghela nafas pelan sebelum menjawab.

"Ke situ," jawab Aziz sambil menunjuk sebuah kursi yang terletak di pinggir.

Cesha berpikir sebentar sebelum mengiyakan ucapan Aziz.

"Cesha, Kak Ashima di rumah lo?" tanya Aziz ketika mereka sudah duduk di tempat yang ditunjuk pria itu. Cesha terkejut ketika Aziz menanyakan hal itu dan membuat gadis itu langsung gelisah.

"Cesha!" Aziz kini yakin bahwa pendengarannya tidak salah, kakaknya memang berada di rumah teman barunya—Cesha.

"Iya," jawab Cesha pelan, Aziz sudah mengetahui keberadaan kakaknya, lalu untuk apa ditutupi lagi?

"Kenapa Kak Shima bisa ada sama lo?" tanya Aziz, pria itu berusaha sabar untuk menghadapi Cesha. Meskipun keluarganya tidak peduli dengan kaburnya Ashima, dia tetap peduli, dia khawatir kakaknya kenapa-napa.

"Kak Ashima tiba-tiba masuk ke mobil, terus minta untuk dibolehkan nginap di rumah aku. Abi aku ngebolehin, makanya kak Ashima ada di rumah aku," ucap Cesha berharap Aziz tidak akan marah karena menyembunyikan kakaknya.

"Kak Ashima selama ini ngerepotin lo, ya?" Cesha menggeleng, memang Ashima tidak membuatnya merasa repot. Justru dia bahagia karena memiliki teman untuk bercerita.

"Gue minta maaf, tapi boleh gue minta tolong?" tanya Aziz penuh harap.

"Apa?"

"Tolong izinin kak Shima untuk tinggal di rumah lo, kalau kak Ashima pulang, gue takut dia akan memberontak lagi. Gue khawatir sama kakak gue." Setidaknya untuk saat ini lebih baik kakaknya tinggal bersama Cesha daripada pulang. Manatau kakaknya itu bisa berubah menjadi seperti Cesha yang pendiam, itu hanya sekedar harapan karena Aziz yakin kalau Ashima pasti akan selalu keras terhadap keinginannya.

"Iya, nggak apa-apa. Biar kak Cesha tinggal sama aku dulu." Aziz tersenyum mendengar jawaban Cesha, dia sudah yakin kalau gadis di hadapannya ini tidak akan menolak.

"thanks ya, soalnya lo mau numpangin kakak gue itu." Cesha mengangguk kemudian berdiri.

"Aku duluan, ya," pamit Cesha.

"Cesha."

"Ya?"

"Kalau bisa ubah kakak gue biar bisa kayak lo, nggak banyak tingkah." Cesha langsung berbalik dan berjalan ke arah mejanya tadi yang sudah diisi oleh Fira. Bukannya tidak sopan, dia hanya malu.

Sedangkan Aziz tertawa pelan melihat respon Cesha, Aziz rasa dia menyukai gadis itu. Keluarganya juga pasti tidak akan menentang karena sangat penurut, persis sesuai kesukaan neneknya.

CESHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang