"Kakak, buka pintunya. Kakak!"
Aziz terus mengetuk pintu kamar Ashima seraya memanggil sang kakak berkali-kali, tetapi sepertinya apa yang dilakukannya tidak membuahkan hasil sama sekali.
"Kak Shima! Buka pintunya!"
Kesal. Tentu saja, tadi Aziz sudah bertanya kepada seorang pelayan, Ashima berada di kamarnya dan tidak keluar daritadi, tetapi tetap saja pintu kamarnya tidak dibuka.
"Kakak!"
"Apa sih? Biasa aja bisa kali, nggak perlu kayak orang mau ngelabrak!"
Ashima balik memarahi sang adik, menurutnya perilaku Aziz itu tidak sopan. Padahal Ashima sudah berusaha untuk mengendalikan emosinya, tetapi Aziz tetap saja memancing amarahnya.
"Lagian lo lama banget buka pintunya!" balas Aziz kesal. Tidak peduli jika sang kakak sudah marah, ia juga sudah kesal.
"Lo mau apa? Awas aja kalau nggak penting, gue dorong lo dari balkon," ancam Ashima.
Aziz berdecak kesal. Kakaknya tetap menjadi orang yang emosian.
"Abinya Cesha masuk rumah sakit, lo nggak mau nemuin Cesha? Inget, dia udah bantuin lo, jangan sampai lo lupa sama kebaikan dia," ucap Aziz menyampaikan maksud kedatangannya.
Ashima mengernyit. "Mana gue tau lo serius atau enggak, lo itu mana bisa dipercaya."
Sanking seringnya dibohongi, Ashima sudah tidak percaya lagi dengan apa yang dikatakan oleh Aziz.
"Kali ini gue serius," bantah Aziz kesal. Disaat seperti ini, kakaknya justru menuduhnya sembarangan. Lagipula, apa gunanya ia bohong tentang hal seperti ini, dia memang jahil, tetapi tidak separah ini.
"Lo tau darimana? Kalau lo bohong itu sungguh keterlaluan!"
Ashima tetap saja tidak bisa percaya begitu saja.
"Kak Fajar yang ngasih tau, tadi---"
"Dimana lo ketemu Fajar? Jangan bilang lo cuma nipu gue!" potong Ashima.
Bukan bermaksud suudzon, karena Ashima sudah berusaha meninggalkan hal tersebut, tetapi jika Aziz bicara tentang Fajar, bagaimana Ashima bisa yakin? Aziz belajar dari Fajar saja sangat sulit diterima oleh Ashima, apalagi mereka bertemu dan bicara tentang abinya Cesha.
"Dengerin gue dulu!" kesal Aziz, kebiasaan Ashima yang suka memotong pembicaraan sangat sulit dihilangkan. Walaupun penampilan dan sikapnya sudah banyak berubah, tetapi untuk yang satu itu, sulit.
"Lanjut," ucap Ashima malas.
"Lo kan tau kalau Kak Fajar itu sepupunya Cesha, jadi, tadi dia yang jemput Cesha, katanya abi Cesha masuk rumah sakit."
"Lo serius? Nggak bohong, kan? Kalau bohong ini sama sekali nggak lucu, keterlaluan."
Ashima panik, meskipun ia baru bertemu dengan Cesha, tetapi ia sudah sangat menyanyanginya, menganggap Cesha sebagai adiknya sendiri. Apalagi kini yang Cesha punya hanyalah sang abi setelah umminya pergi meninggalkannya. Cesha pasti sedih dan panik.
"Ngapain gue bohong? Kalau gue cuma mau ngerjain lo, ngapain bawa-bawa orang tuanya Cesha, lagipula bohong itu dosa."
Ashima mencibir Aziz, bisa-bisanya dia bilang bohong itu dosa disaat sering melakukannya.
"Di rumah sakit mana? Gue mau nemuin Cesha," ucap Ashima, ia sudah tidak ingin membalas ucapan Aziz, lagipula sepertinya adiknya itu tidak berbohong. Dia benar, jika memang berbohong, kenapa harus membawa orang tua Cesha? Itu keterlaluan.
"Gue nggak tau, tanya aja sama Kak Fajar," jawab Aziz santai.
Ashima berdecak, ia tak mau menghubungi Fajar, apalagi sampai menanyakan tempat orang tua Cesha dirawat.
"Lo aja yang nanya, kenapa harus gue?" tolak Ashima.
"Yang mau nemuin Cesha itu lo kan? Kenapa gue yang nanya?" balas Aziz.
"Jadi, lo nggak mau nemuin Cesha? Inget! Dia yang minta Fajar jadi guru lo."
Aziz ingat, tentu saja. Lagipula dia hanya ingin mengetes Ashima, kakaknya itu masih tidak menyukai Fajar atau sudah berubah. Ternyata sama saja.
"Gue inget elah, gue ganti baju dulu. Lo juga ganti baju."
"Iya-iya."
🍀🍀🍀
Ashima berdiri di sebelah Cesha yang duduk di kursi tunggu, tidak ada kalimat atau kata yang diucapkannya. Tadi, Aziz yang menghubungi Fajar untuk menanyakan keberadaan Cesha, setelah itu baru mereka datang ke sini.
Selama ini Ashima selalu melihat Cesha yang tegar, tetapi sekarang keadaannya jauh berbeda, kekhawatiran tergambar jelas di wajah gadis yang sudah dianggapnya sebagai adik itu.
"Cesha, kamu berdo'a, jangan melamun," ucap Fajar yang baru duduk di sebelah adik sepupunya itu.
"Abi gimana?" tanya Cesha pelan, ia tidak menggubris ucapan Fajar.
"Kalau kamu berdo'a, InsyaAllah abi Rama bakalan baik-baik aja."
Fajar sendiri tidak yakin jika keadaan sang paman akan baik-baik saja, tetapi tidak ada salahnya berusaha dan berdo'a, karena hanya itu yang bisa mereka lakukan. Hasilnya nanti, tentu Allah yang akan menentukan.
"Cesha cuma punya abi," ucap gadis itu pelan, tetapi masih bisa mereka dengar karena disana tidak ada suara apapun lagi.
"Kalau abi kenapa-napa, Cesha nggak punya siapapun lagi. Lebih baik Cesha ikut abi sama ummi."
"Astagfirullah, Cesha. Istigfar."
Fajar mengusap wajahnya, ia tau jika Cesha masih muda dan belum siap untuk merasakan kehilangan lagi. Kepergian sang ummi bahkan masih meninggalkan duka yang mendalam, ditambah kondisi sang abi yang sedang tidak baik-baik saja. Tetapi tidak benar jika mengatakan hal itu, Cesha merasa seolah-olah dia sendirian, tidak ada yang bersamanya.
"Kamu anggap Abang apa, hm? Abang akan selalu ada untuk kamu, ummi Rosa juga sayang kamu." Fajar bahkan sampai membawa nama sang ummi yang kini berada di luar negeri.
"Kamu nggak sendirian, kami disini."
🍀🍀🍀
KAMU SEDANG MEMBACA
CESHA
General FictionGadis riang bernama Cesha Bounze, hidupnya masih diselimuti kesedihan karena baru saja ditinggalkan oleh sang umi. Akibat kepergian dari orang yang sangat berarti tersebut membuat Cesha pindah sekolah agar lebih dekat kepada Abinya. Tetapi kesediha...