10

15 3 0
                                    

Cesha tersenyum geli mendengar ucapan Ashima.

"Emangnya aku siapa, Kak? Kakak ada-ada aja," ucap Cesha pelan, dia merasa bahwa Ashima sedang ngelantur. Dia hanyalah seorang anak biasa, kenapa justru diminta merubah kenangan? Lagipula mereka tidak mempunyai hubungan apa pun, bukannya Cesha tidak mau membantu, tetapi dia tidak yakin.

"Selama ini gue selalu nemuin orang yang hanya peduli dengan dirinya sendiri, tapi lo peduli dengan orang lain. Contohnya ... gue." Cesha hanya membalas ucapan itu dengan tersenyum, tidak tau harus mengatakan apa lagi.

"Aku masuk ke dalam dulu, ya Kak. Kalau kakak mau berubah, itu dari diri Kakak sendiri." Ashima terdiam, benar. Seharusnya perubahan itu dari dirinya sendiri, tidak bisa oleh orang lain. Bagaimana mau berubah jika dirinya saja selalu berpikiran negatif?

"Oh oke, lo bener." Akhirnya Ashima menyetujui, dia sudah bertekad untuk berubah. Hidup seperti itu terus tidak membuat Ashima tenang, justru sering terbakar oleh api amarah.

"Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam."

Cesha menatap mobil yang dikendarai oleh Ashima hingga tidak terlihat oleh netranya lagi, barulah gadis itu masuk ke lingkungan sekolahnya, SMA Normezza.

"Fira?" Tentu saja Cesha terkejut, ketika mereka pergi tadi, Fira masih berada di sekitar rumahnya, dan sekarang dia sampai lebih dulu.

"Ya, Kenapa? Lo kaget karena gue duluan sampai?" Cesha mengangguk kaku, itu memang benar adanya.

"Gue punya kekuatan super," canda Fira, sungguh dia hanya bercanda tetapi Cesha malah menganggapnya serius.

"Kamu serius?" Apa ini yang dimaksud oleh Ashima dan teman-temannya? Cesha yang polos.

"Nggak, lah. Jangan percaya elah," ucap Fira dengan jengah membuat Cesha mengangguk mengerti kemudian berjalan ke arah lift diikuti Fira.

"Thanks, ya. Soalnya lo udah ngasih tumpangan semalam."

"Iya, sama-sama."

Cesha dan Fira berhenti di depan pintu lift yang tertutup kemudian ikut menunggu bersama beberapa orang.

"Lo masih mau temenan sama gue?" Ciri khas seorang Fira, tidak peduli tempat jika ingin bertanya. Tidak peduli dengan keberadaan orang lain karena bagi Fira, mereka tidak penting.

"Kenapa enggak?" Fira tersenyum manis, kemudian merangkul temannya itu.

"Lo baik banget, gue nggak akan nyakitin lo seperti yang orang-orang bilang," ucap Fira sambil melirik orang-orang yang memperhatikan mereka, takjub dengan Cesha yang mau berteman dengan Fira, orang yang paling dihindarkan oleh mereka.

"Apa liat-liat, mau gue congkel matanya?" Cesha menahan tangan Fira agar gadis itu tidak membuat ulah dengan teman-temannya yang lain, itu tidak akan baik untuk Fira sendiri.

"Oh, my friend gue bahagia, untuk kedua kalinya gue punya temen." Sungguh Fira memang bahagia, tetapi ekspresinya saja yang terlalu berlebihan.

Setelah pintu lift terbuka, Fira menarik tangan Cesha agar segera masuk dan menempatkan temannya itu dipinggir agar tidak terkena dengan orang lain.

"Tapi lo jangan berkhianat," bisik Fira dan dibalas Cesha dengan anggukan, gadis itu tidak seperti Fira yang selalu menyuarakan isi hatinya di mana pun dan kapan pun.

"Ayo." Fira kembali menarik tangan Cesha untuk keluar dari lift dengan cepat, tidak membiarkan orang lain mendahuluinya.

"Nanti ulangan," ucap Cesha ketika melihat raut wajah Fira ketika dirinya mengeluarkan buku kimia setelah duduk di tempatnya.

"Ah, ya. Gue lupa," balas Fira dengan santai.

"Jangan menyia-nyiakan masa muda, Fir."

"Keluarga gue udah kaya," ujar Fira, tentu saja Cesha mengerti maksud dari perkataan itu.

"Ilmu nggak tergantung harta."

"Lo benar, tapi gue males. Gimana dong?" Fira terdiam sesaat sebelum melanjutkan Ucapannya. "Lo nanti contekin gue jawaban, ya!" Cesha mendengus kemudian membaca bukunya. Dia tidak akan memberi jawaban kepada Fira karena Cesha tidak mau membantu temannya untuk berbohong.

Sesaat setelah bel berbunyi, Buk Rini yang merupakan guru kimia masuk ke dalam kelas.

"Kita hari ini ulangan, kan? Semua udah ada persiapan?" tanya Buk Rini sambil membagikan soal.

"Udah, buk," jawab sebagian orang, dan sebagian yang lain hanya diam karena tidak mempersiapkan apa pun, termasuk Fira.

Cesha mengerjakan soal di hadapannya ini dengan tenang, ini cukup mudah untuknya, terimakasih kepada Ashima yang sudah bersedia menemani dirinya belajar semalam dan membuatnya merasa seperti memiliki seorang kakak.

Panggilan pertama dari Fira diabaikan oleh Cesha, siapa suruh tidak peduli? Biarkan saja teman barunya itu kesal.

Panggilan kedua masih diabaikan, Cesha sudah selesai mengerjakan semua soal dan kini hanya mencoret-coret kertas buramnya dengan asal-asalan.

Panggilan ketiga direspon dengan menampilkan wajah garang membuat Fira berdecak.

Fira mulai panik, tidak ada yang bisa dia harapkan untuk ini. Dia bahkan tidak mengerti dengan isi soalnya. Yasudahlah, pasrah saja. Biasanya juga dia tidak peduli.

Seisi kelas mulai gusar, mencuri pandang ke arah kiri dan kanan membuat Cesha menatap soalnya tanpa memindahkan pandangannya. Jika ada teman barunya selain Fira yang bertanya dan tidak dijawabnya, Cesha merasa tidak enak. Kalau diberitahu, berarti dia mendukung tindakan curang. Itu tidak boleh terjadi, ya tidak boleh.

"Semuanya, tenang." Ucapan Buk Rini membuat semuanya kembali diam untuk beberapa saat, kemudian kembali mencari jawaban dari orang yang benar-benar mereka harapkan.

"Yang sudah siap silakan kumpul."

Seorang siswi maju diikuti oleh Cesha, mereka keluar dari kelas setelah diperintahkan oleh Buk Rini untuk mengambil waktu istirahat lebih awal.

"Lo pintar ternyata, salam kenal, gue Alifa," ucap Alifa sambil mengulurkan tangannya.

"Aku, Cesha," balas Cesha sambil membalas jabatan tangan Alifa.

"Ayo, ke kantin. Anggap aja untuk perayaan pertemanan kita."

"Ayo."

CESHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang