03

21 4 0
                                    

Setelah bel sekolah yang menandakan pelajaran telah selesai berbunyi, Cesha langsung keluar dari kelasnya sendirian, karena Fira sedang piket dan dia masih malu untuk berteman dengan yang lainnya.

Cesha menunggu lift yang dinaikinya ini turun dengan melihat teman-teman barunya, di dalam lift ini ada perempuan maupun laki-laki membuat Cesha harus berdiri minggir agar tidak terlalu dekat.

"Hai, Cesha." Cesha semakin mendekatkan diri ke pinggir karena yang menyapanya adalah Aziz, teman sekelasnya.

"Iya," jawab Cesha seadanya, dalam hati gadis itu berharap agar lift ini segera turun.

"Nggak sama Fira?" tanya Aziz, dalam hati pria itu mengutuk ucapannya yang unfaedah, jelas-jelas Cesha sedang sendirian.

"Nggak, Fira lagi piket." Aziz menatap Cesha yang menunduk, sungguh pria itu tidak tersinggung sedikitpun karena tau Cesha pindahan dari pesantren.

"Hm, oke. Kalau lo butuh sesuatu, bisa bilang ke gue, kebetulan gue ketua kelasnya," tawar Aziz yang hanya dibalas anggukan sekali oleh Cesha.

Senyum lega terbit di bibir tipis Cesha ketika melihat pintu lift sudah terbuka, lalu Cesha keluar setelah teman-temannya tidak ada lagi. Baru dua langkah keluar dari lift, seseorang memanggilnya.

"Cesha."

"Ya?"

"Assalamu'alaikum." Hanya salam tetapi mampu membuat hati Cesha berdesir.

"Waalaikumsalam," lirih Cesha.

Cesha langsung menuju gerbang sekolahnya, ternyata Abinya sudah menunggu. Dengan senyum bahagia, gadis itu masuk ke dalam mobil.

"Assalamu'alaikum, Abi," sapa Cesha dengan riang.

"Waalaikumsalam." Cesha menarik tangan kanan abinya lalu mencium punggung tangan pria paruh baya tersebut.

"Tumben Abi menyetir sendiri." Cesha meletakkan tasnya di kursi belakang lalu melihat ponselnya.

"Emangnya nggak boleh?" tanya Rama sambil menghidupkan mesin mobil lalu menjalankannya.

"Boleh sih." Cesha menyimpan ponselnya karena tidak ada informasi penting dan lebih memilih untuk melihat jalanan yang lumayan ramai, banyak teman-temannya yang pulang sekolah sendiri karena membawa kendaraan. Ada rasa iri melihat itu, tetapi Cesha langsung istighfar karena merasa sudah kelewatan.

"Gimana sekolah baru kamu?" tanya Rama menyadarkan Cesha dari pikirannya.

"Ya, Abi?" tanya Cesha karena tidak terlalu mendengarkan ucapan Rama.

"Gimana sekolah barunya?" ulang Rama.

"Oh, bagus, Bi." Rama menatap anaknya yang tidak seceria biasanya, pasti ada sesuatu, pikirnya.

"Cuma bagus? Nggak mau cerita ke Abi?" tanya Rama lagi, heran dengan anaknya ini.

"Mmm, nggak ada, Bi."

"Udah dapat teman baru belum? Pelajaran gimana? Bisa?" Kali ini Rama yang berinisiatif untuk bertanya.

"Udah dapat, Bi, satu orang. Pelajarannya lumayan bisa sih," jawab Cesha, pikirannya masih melayang, apa dia bisa bebas?

"Cuma satu? Tumben, biasanya kamu akrab dengan semua orang di kelas."

"Kan isinya campur, Bi. Cesha jadi canggung." Rama mengangguk paham.

"Kamu mikirin apa?" Rama menanyakan hal ini karena Cesha terlihat berpikir terus, anaknya tidak bisa menyembunyikan ekspresi bingungnya.

"Bi, Cesha boleh bawa kendaraan sendiri nggak?" Cesha meremas jemarinya, takut pertanyaannya akan membuat sang Abi marah.

CESHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang