"Sa ... saya boleh numpang di rumah, Om?" Rama maupun Cesha terkejut, sungguh berani gadis di depan mereka ini. Baru bertemu tetapi sudah minta numpang.
Rama berdeham, "Saya maupun putri saya tidak mengenal kamu, bukan bermaksud untuk suudzon, tetapi bagaimana kami bisa percaya kepada kamu?" Ashima mengangguk paham, tidak tersinggung dengan ucapan Rama karena itu memang benar.
"Saya tau, Om. Tapi saya bener-bener nggak tau mau kemana lagi, saya nggak suka diatur, apalagi tentang keputusan terpenting dalam hidup saya." Kasihan. Itu yang dirasakan Rama, tetapi mau bagaimana lagi?
"Gapapa, Bi. Nanti kakaknya sama Cesha aja," ujar Cesha, ini salah satu kelemahan yang dimiliki gadis itu, dia sering tidak tegaan kepada orang lain.
Rama menghela nafas pelan.
"Yasudah, tapi hanya untuk beberapa hari." Ashima tersenyum, hatinya lega karena sekarang dia tidak perlu repot-repot memikirkan dimana akan tinggal.
"Terimakasih, Om." Setelah itu Rama mengemudikan mobilnya menuju kediamannya. Sepanjang perjalanan tidak ada yang bersuara, bahkan Cesha yang biasanya selalu berbicara dengan abinya saat ini hanya diam.
"Kakak ke kamar aku, yuk," ajak Cesha ketika mereka sudah berada di pekarangan rumah. Ashima mengangguk kemudian berdiri di samping Cesha.
"Abi ke kantor lagi, ya. Ini kuenya," ujar Rama sambil menyerahkan paperbag kepada anaknya itu.
"Iya, Abi." Cesha mencium punggung tangan Rama sebelum pria itu masuk kembali ke dalam mobil.
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam," jawab Cesha dan Ashima.
"Ayo, kak." Ashima mengikuti Cesha memasuki rumah mewah dihadapannya ini hingga berada di kamar yang bernuansa hijau.
"Thanks, ya, karena lo udah nerima gue untuk tinggal disini," ucap Ashima sambil menyandarkan dirinya di sofa yang berwarna hijau muda, sangat nyaman karena bisa bersikap sesukanya, tidak diatur oleh neneknya.
"Iya, kak, sama-sama. Udah tugas kami untuk membantu sesama," jawab Cesha.
"Aku ke toilet dulu, ya kak. Kakak bisa istirahat dulu." Ashima mengangguk, kemudian tidur di sofa sambil memikirkan nasibnya untuk kedepannya. Tidak mungkin akan seperti ini terus, keluarganya pasti akan mencari dirinya.
Kalau saja neneknya itu tidak mengatakan akan menikahkan Ashima, maka dia tidak akan kabur seperti ini. Semua itu salah neneknya dan juga orang tuanya yang tidak bisa menentang nenek. Menjadi bagian dari keluarga Juro tidak seenak yang dibayangkan orang-orang, coba saja rasakan sensasinya sendiri.
"Kak." Ashima hanya bergumam, pikirannya masih kacau.
"Kakak butuh sesuatu?" Ashima mendudukkan dirinya lalu merapikan rambutnya yang sudah acak-acakan.
"Nggak, ada sih. Lo sibuk, nggak?" tanya Ashima, Cesha yang berdiri di hadapan orang asing itu hanya tersenyum kemudian menggeleng.
"Gue mau cerita, dong. Please." Cesha duduk di sebelah Ashima, menunggu orang yang lebih tua darinya itu untuk menceritakan masalahnya.
Ashima berdehem, sebenarnya ragu menceritakan masalah keluarga kepada orang asing,tetapi bukannya lebih bagus begini? Daripada menceritakan masalah kepada orang yang sudah dikenal? Mereka akan membicarakan orang itu dibelakangnya, lalu mengolok-olok.
"Gini, keluarga gue itu selalu nurut apapun ucapan nenek. Bahkan orang tua gue juga." Cesha masih menyimak.
"Keputusan terbesar dalam hidup gue, juga mau diputuskan sama dia, bukannya bermaksud nggak sopan, tapi gue keseeeell banget. Gue masih kuliah dan disuruh nikah, gedek gue." Mulai berat, Cesha dapat merasakannya, untung saja keluarganya tidak seperti itu.
"Nenek gue itu, lebih peduli sama adik atau sepupu gue, kadang gue heran kenapa dia gitu, apa-apa Aziz atau enggak sepupu gue. Mungkin karena mereka penurut kali,ya. Sedangkan gue sering ngelawan." Pilih kasih, itu yang Cesha simpulkan, tapi ... Aziz? Cesha merasa familiar dengan nama itu.
"Nasib gue gini amat." Tidak ada sambungan lagi, sepertinya Ashima sudah selesai curhatnya.
"Kak, coba kakak omongin baik-baik, orang tua kakak pasti ngerti." Ashima menggeleng dengan cepat.
"Orang tua gue nggak akan ngerti, gue nggak penting bagi mereka." Cesha istighfar dalam diam, Ashima sangat keras kepala.
"Nggak mungkin gitu kak, mereka pasti memikirkan kebahagiaan kakak." Ashima menghela nafas berat, andai orang tuanya seperti itu.
"Kak, nggak mungkin kakak kabur terus, keluarga kakak pasti akan nyari kakak. Omongin baik-baik Kak, nggak ada salahnya untuk mencoba, kan?" Ashima mengiyakan ucapan Cesha.
"Oh iya, nama lo siapa? Daritadi gue cerita, tapi nggak tau nama lo." Ashima terkekeh ketika menyadari hal itu.
"Nama aku, Cesha." Ashima ikut tersenyum melihat senyuman Cesha yang manis, pasti anak ini dipenuhi kebahagiaan, pikir Ashima.
"Kalau gue, Ashima."
🍀🍀🍀
Aziz berlari menuju rumah neneknya, kakaknya yang pembangkang itu tidak bisa ditemukan, dia kabur!
"NEK, PA!" panggil Aziz ketika sampai di ruang keluarga.
"Kamu darimana? Disuruh manggil Ashima malah nggak datang-datang." Aziz mengatur nafasnya yang terputus-putus, karena merasa panik, entah seberapa cepat larinya tadi.
"Kak Ashima kabur." Semua orang yang berada di ruangan tersebut terkejut, yang benar saja.
"Kabur gimana? Jangan becanda Aziz!" Kali ini Reno—papanya, yang berbicara.
"Tadi Aziz manggil kakak, nyuruh masuk tapi kak Shima malah kabur dan Aziz kehilangan jejaknya." Reno langsung menghubungi anak buahnya untuk segera mencari anak sulungnya itu, Ashima pasti marah karena dijodohkan.
"Ini gimana, nanti malam orang tua calonnya Ashima mau datang." Nenek panik, seharusnya Ashima tidak perlu diberi tau, mereka akan sangat malu nanti.
"Calon apa, Nek? Kak Shima mau nikah? Yang benar aja." Pantas saja kakaknya kabur, diomelin aja bisa membuat Ashima tidak keluar kamar seharian, apalagi dijodohkan, bisa-bisa Aziz kehilangan kakaknya.
"Iya." Aziz kalut, meskipun kakaknya itu sering mencibir, memarahi, memaki, itu tidak membuat Aziz membenci kakaknya, dia tetap menyanyangi kakak galaknya itu.
"Sudahlah, Ashima tidak akan bisa kabur lama-lama, mau tinggal dimana dia? Semua barang-barangnya aja, disitu." Semua orang melihat ke arah meja yang ditunjuk, Asih—bibinya. Benar saja, semua barang Ashima tertinggal, handphone, kunci mobil, dan juga tasnya.
"Iya, tidak lama lagi dia pasti akan kembali," ucap Reno dengan santai.
Aziz menggeleng lalu keluar dari rumah itu, mereka semua pasti tidak akan panik lagi. Padahal kakaknya itu orang yang nekat, tidak peduli meskipun harus hidup dijalanan. Sekarang dia bisa apa? Tidak ada, pikirannya buntu.
Aziz hanya bisa berdo'a semoga kakaknya itu aman dan sehat, lalu bertemu dengan orang baik yang bisa menjernihkan pikiran ribet kakaknya itu. Semoga saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
CESHA
General FictionGadis riang bernama Cesha Bounze, hidupnya masih diselimuti kesedihan karena baru saja ditinggalkan oleh sang umi. Akibat kepergian dari orang yang sangat berarti tersebut membuat Cesha pindah sekolah agar lebih dekat kepada Abinya. Tetapi kesediha...