13

13 3 0
                                    

"Kenapa bisa?" Ashima bertanya dengan panik, bagaimana bisa Aziz mengetahui keberadaannya. Ketika mereka sudah berada di rumah, Cesha langsung menceritakan semuanya kepada Ashima dan membuat gadis itu sangat panik.

"Aku nggak tau, Kak. Tiba-tiba Aziz ngajak aku ke meja yang lain, terus nanya," jawab Cesha, memang begitu keadaannya, gadis itu tidak tau bagaimana Aziz bisa mengetahui kalau Ashima bersamanya.

"Gue takut kalau Aziz ngelaporin ini ke orang tua gue, pasti gue disuruh balik. Gue nggak mau." Sungguh Ashima sudah mengeluarkan air matanya membuat Cesha merasa bingung, dia harus bagaimana?

"Udah dong, Kak. Aziz juga minta untuk biarin Kakak di sini dulu, kayaknya dia nggak bakal ngelaporin kakak," bujuk Cesha, dan langsung saja Ashima menatapnya dengan pandangan penuh harap.

"Serius?" Cesha mengangguk mantap.

"Lo nggak cuma mau nenangin gue, kan? Ingat bohong itu dosa," tutur Ashima dan Cesha kembali mengangguk.

"Aku serius Kak, Aziz yang bilang gitu," jawab Cesha, memang begitulah kejadiannya. Ashima bernafas lega mendengar itu, tetapi apa alasan adiknya itu untuk ikut membantu menutupi keberadaannya. Ah, sudahlah, Ashima tidak peduli dengan hal itu.

"Bagus deh." Hanya itu yang bisa Ashima ucapkan.

"Yaudah, ayo Kak." Ashima mengangguk lalu mengikuti Cesha ke sebuah ruangan, ruangan yang beberapa hari ini selalu dikunjungi Ashima.

🍀🍀🍀

"Aziz, gimana sekolah kamu?" Aziz mendengus pelan sebelum menjawab, neneknya ini menyuruh dirinya datang hanya untuk menanyakan sekolahnya? Luar biasa. Tadinya pria itu berpikir kalau sang nenek akan menanyakan keberadaan kakaknya, ternyata tidak sama sekali, Aziz bahkan tidak yakin kalau neneknya ini mengingat kakaknya.

"Biasa aja, Nek. Nggak ada yang spesial," jawab Aziz, tangannya masih sibuk memainkan handphonenya membuat sang nenek kesal.

"Sejak kapan kamu menjadi tidak sopan seperti ini, Aziz?" Aziz menatap sang nenek ketika handphone nya sudah pindah ke tangan wanita tua itu.

"Aziz cuma mau nyegerin pikiran, Nek. Capek," kilah Aziz, sebenarnya dia mulai jengah dengan sikap neneknya ini, kenapa dia baru menyadarinya sekarang?

"Kenapa nggak bilang kalau capek? Nenek panggilkan tukang urut dulu." Spontan Aziz meringis, pantas saja Ashima sering jutek pada dirinya, karena Ashima tidak pernah diperhatikan seperti ini, berbeda dengan dirinya.

"Ini handphone kamu, istirahat ya." Aziz mengangguk kaku, sekarang apa?

"Aziz pulang dulu ya, Nek," ucapnya seraya bangkit dari duduknya kemudian menyandang tasnya.

"Eh tunggu, nenek udah telfon tukang urut, nanti aja pulangnya." Serius? Aziz pikir neneknya hanya becanda.

"Nggak usah, Nek. Aziz pulang aja."

"Duduk!" Pasrah. Hanya itu yang bisa dia lakukan. Tetapi, ini saatnya untuk bertanya.

"Nek," panggil Aziz kemudian duduk di sebuah sang nenek yang kini sedang menonton televisi.

"Kenapa?" Aziz berdehem sebelum berbicara.

"Nenek nggak khawatir sama Kak Ashima?" Perlahan kepala sang nenek menoleh ke arah cucu kesayangannya itu, raut wajahnya menandakan kalau wanita tua ini tidak menyukai pertanyaan yang diajukan oleh Aziz.

"Kakak kamu yang cari ulah, ngapain dia kabur segala?" Neneknya sungguh tidak peka, memang kalau bicara dengan neneknya ini, Aziz harus menjelaskan sedetail-detailnya. Tetapi Aziz tetap menjaga perasaan sang nenek, dia akan bicara dengan orang tuanya saja.

"Nek, Aziz pulang dulu, ya. Tukang urutnya untuk nenek aja. Assalamu'alaikum, Nek." Aziz pergi sebelum neneknya menolak keinginannya, dia ingin bertanya kepada orang tuanya dan melihat reaksi mereka.

Setelah berada di halaman rumah neneknya, Aziz menuju motor sport nya kemudian menaiki kuda besi tersebut. Menjalankan kendaraan itu menuju rumahnya, bisa disebut rumah orang tuanya.

🍀🍀🍀

"Bacaan kakak udah mulai lancar, kok. Kalau kakak belajar terus, pasti makin lancar," ucap Cesha kemudian tersenyum manis, senyum yang mampu membuat Ashima merasa nyaman, entah apa yang dimiliki gadis itu sehingga hatinya yang biasa keras bisa lunak hanya dengan senyuman.

"Thanks karena lo udah mau ngajarin gue, padahal gue cuma bisa ngerepotin lo." Sampai saat ini Ashima masih merasa tidak enak kepada Cesha, padahal sebelum-sebelumnya dirinya tidak pernah seperti ini ketika menginap di rumah temannya.

"Kakak nggak ngerepotin, aku malah senang karena ada teman." Ya, itu memang benar. Meskipun selama ini Cesha jarang merasa kesepian karena dia berada di pesantren, berbeda dengan sekarang, apalagi saat sang ummi sudah tiada. Cesha benar-benar merasa kesepian.

"Gue baru sadar kalau selama ini gue udah jauh dari Sang Pencipta. Gue bener-bener baru sadar," lirih Ashima, ketika dia melihat Cesha taat beribadah membuat dirinya merasa tertampar, gadis itu baru sadar kalau dia sudah jauh. Sudah berapa lama dia melupakan sang Pencipta?

Ashima merenung dan memutuskan untuk berubah, dia ingin menjadi orang yang lebih baik. Cesha membuatnya sadar, dia merasa beruntung karena bertemu dengan Cesha. Tidak ada rasa menyesal karena sudah kabur, malah hal itu membawa kebahagiaan untuknya.

Cesha menggenggam tangan Ashima, mencoba memberi energi positif pada gadis yang lebih tua darinya itu.

"Kakak udah mulai berubah." Cesha tidak tau harus berkata apa lagi, wajah sendu yang ditampilkan Ashima membuat dirinya tidak bisa mengeluarkan kata-kata lain.

"Ya, karena lo. Kalau gue nggak ketemu sama lo, gue nggak akan bisa sadar." Cesha merasa dirinya tidak melakukan apa pun, karena semua ini benar-benar berasal dari hati Ashima sendiri, tanpa ada paksaan siapa pun.

"Alhamdulillah, Kak. Ini udah jalannya." Ashima mengangguk, setuju dengan ucapan Cesha. Semoga dirinya benar-benar bisa berubah.

"Assalamu'alaikum, Cesha. Kamu di dalam, Nak?" Cesha menoleh dan langsung berdiri ketika melihat abinya, orang yang sangat dia rindukan.

"Cesha kangen sama Abi," ucap Cesha kemudian mengambil telapak tangan Rama untuk menciumnya.

"Salamnya nggak dijawab?" Cesha tersenyum kaku, dia lupa.

"Waalaikumsalam, Abi." Ashima juga berjalan menuju ke arah Rama, dan tersenyum sopan. Dia tidak mengulurkan tangannya karena tau mereka tidak boleh bersentuhan, entah sudah berapa lama Ashima melupakan hal yang sangat penting ini.

"Assalamu'alaikum, Om." Ashima lebih memilih untuk mengucapkan salam.

"Waalaikumsalam, Ashima, kan?" tanya Rama memastikan.

"Iya, Om," jawab Ashima pelan.

"Kalian udah selesai? Kalau sudah, ayo ke meja makan." Cesha mengangguk kemudian mengikuti Rama yang berjalan ke meja makan diikuti Ashima. Sungguh Ashima merasa sangat canggung, dia tidak bisa bersikap seenaknya, dengan Cesha saja dia sangat canggung apalagi dengan abinya.

"Abi kapan sampainya?" tanya Cesha ketika mereka sudah berada di meja makan, sungguh dirinya sangat merindukan sang Abi. Padahal dulu ketika dia asrama, tidak seperti ini.

"Baru aja, Nak," jawab Rama.

Sedangkan Ashima semakin canggung, dia tidak biasa dihadapkan oleh keluarga yang baik seperti ini. Bahkan teman-temannya juga tidak akrab dengan orang tua mereka, berbeda dengan keluarga Cesha yang mampu membuatnya kaku.

"Terimakasih ya, Ashima. Kamu sudah mau mengantar Cesha ke sekolah," tutur Rama, Ashima yang awalnya menunduk langsung mengangkat kepalanya kemudian tersenyum.

"Iya, Om. Terimakasih juga karena sudah membolehkan saya tinggal di sini, maaf merepotkan ya, Om." Ashima merasa ucapannya sangat formal. Biarkan saja.

"Tidak masalah, Cesha jadi memiliki teman."

"Iya, Om." Hanya sampai di situ percakapan mereka, karena acara selanjutnya adalah makan.

🍀🍀🍀

CESHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang