25

12 4 0
                                    

"Lo berangkat bareng Fira?" tanya Aziz heran, ia tau jika Cesha dan Fira itu berteman, tetapi tidak menyangka jika mereka bisa berangkat bersama. Aziz pikir, pertemanan mereka belum sejauh itu, ternyata itu semua di luar dugaannya.

Jika mereka berangkat bersama, berarti hanya ada dua kemungkinan. Fira datang ke rumah Cesha atau Cesha yang datang ke rumah Fira, tetapi sepertinya kemungkinan pertama lebih masuk akal.

"Iya," jawab Cesha dengan menunduk. Sekarang Aziz tidak heran ataupun tersinggung, ia sudah maklum dengan sikap Cesha yang seperti ini. Sudah terbiasa.

"Kok lo mau, sih?" Aziz protes, padahal ia tidak memiliki urusan apapun dengan hal itu.

Cesha menatap Aziz sekilas, cewek itu sedikit merasa tidak suka dengan perkataan Aziz. Cowok itu seperti menuduh saja, dan tentu saja Cesha tidak menyukai hal itu.

"Emangnya kenapa? Fira, kan teman aku," jawab Cesha sedikit ketus. Bukan karena orang itu adalah Aziz, tetapi karena ucapan tidak sopannya, Aziz keterlaluan.

"Tapi, kan, lo udah tau siapa itu Fira." Meskipun sudah dibalas Cesha dengan sedikit kasar, Aziz tetap tidak peduli.

"Pikiran kamu itu, bukan urusan aku. Fira juga nggak salah apa-apa, kenapa kamu kayak gini? Suudzon itu nggak boleh." Terserah jika dikatai tidak sopan dan sok menggurui, Cesha tidak pernah ingin ikut campur urusan orang lain, tetapi orang lain justru suka ikut campur urusannya.

"Iya, suudzon emang nggak boleh. Tapi ngasih saran boleh, kan? Yang nggak boleh itu justru marahin orang yang ngasih saran," balas Aziz. Entah keberanian darimana yang ia miliki sehingga berani membalas ucapan Cesha, gadis yang sangat dia kagumi dan juga hormati.

Cesha tidak menjawab ucapan Aziz lagi, sepertinya cowok itu akan selalu membalas ucapannya sehingga menghambat jalannya menuju kelas.

"Aku duluan, Assalamu'alaikum."

"Eh, malah kabur." Aziz tidak terima, tetapi seketika dia sadar bahwa itu adalah Cesha, Aziz tidak bisa menyikapinya seperti pada teman perempuannya yang lain. Cesha berbeda.

Aziz berjalan dengan cepat untuk menyusul Cesha, ia sadar jika sikapnya sudah melewati batas, tentu bagi seorang gadis seperti Cesha. Ia sudah ikut campur terlalu jauh, seharusnya dia tidak perlu menjawab semua ucapan Cesha.

"Cesha, tunggu."

Berhasil. Cesha berhenti, tepat di depan pintu lift yang tertutup.

"Kenapa?" tanya Cesha seperti biasa. Tenang dan menundukkan kepalang sedikit.

"Gue minta maaf, ya. Gue sadar kalau tadi itu gue udah keterlaluan, gue terlalu ikut campur dan mempermasalahkan sikap lo ke Fira. Padahal gue yakin kalau lo pasti tau apa yang lo lakuin. Gue cuma khawatir, kalau lo sampai diganggu orang-orang yang nggak suka sama Fira," ucap Aziz menjelaskan maksudnya.

"Makasih karena kamu udah peduli sama aku, tapi aku nggak apa-apa. Menurut aku, Fira itu orang baik, jadi nggak akan jahat ke aku," balas Cesha.

Cesha juga merasa jika ia telah bersalah kepada Aziz karena bicara dengan suara yang cukup tinggi, padahal Aziz tidak membuat kesalahan apapun, Cesha saja yang sedang sensi.

"Iya, gue ngerti," balas Aziz seadanya, ia sudah kehabisan topik untuk bicara.

"Oh, iya. Aku udah nanya ke sepupu aku, dia mau kok bantuin kamu." Cesha teringat dengan persetujuan yang diberikan Fajar, mumpung ingat jadi dia katakan saja sekarang.

Aziz terpaku mendengar ucapan Cesha, bukan karena persetujuan itu, tetapi karena Cesha yang Mengucapkan dengan mudah ... di hadapan beberapa orang teman-teman mereka. Apa Cesha tidak memikirkan reaksi mereka? Gadis polos ini membuat Aziz tidak bisa menjawab.

"Aziz," panggil Cesha untuk mengalihkan perhatian cowok itu.

"Ya? Makasih ya, sorry karena udah ngerepotin."

Terimakasih dan maaf, kata-kata yang sering Aziz ucapkan jika bersama Cesha. Sepertinya kata-kata itu sudah menjadi kata wajib jika bicara dengan gadis itu.

"Nggak apa-apa, nanti aku kirimin nomor sepupu aku."

Pintu lift terbuka, kali ini Aziz menganggap hal itu sebagai penyelamat baginya. Tentu saja karena ia bisa menghindar dari pertanyaan teman-temannya.

🍀🍀🍀

"Gue liat lo ngobrol sama Aziz, makanya gue jalan duluan," ucap Fira ketika Cesha sudah duduk di tempatnya.

"Iya, nggak apa-apa, kok," balas Cesha seraya mengambil beberapa buku dari dalam tasnya.

"Tadi kalian bicarain apa?" tanya Fira kepo.

"Gue, ya?" lanjut Fira menebak. Bukan bermaksud suudzon, tetapi jika seseorang mengajak Cesha bicara, terutama teman sekolahnya, maka yang ada dipikiran gadis itu adalah ia yang menjadi topik pembicaraan.

"Eh?" Cesha tidak tau harus bagaimana untuk menjawab pertanyaan Fira, jelas jika temannya itu yang dibicarakan. Jika jujur, Fira pasti kesal dengan Aziz dan mungkin akan bolos sekolah lagi, jika bohong maka Cesha yang berdosa.

"Gue paham, nggak usah dijawab kalau cuma ngebebanin lo." Fira memang sudah mengerti cara berpikir Cesha, meskipun baru berteman, tetapi sudah paham.

"Maaf, ya, Fira," sesal Cesha.

"Nggak apa-apa, gue cuma berharap kalau lo nggak akan terpengaruh dengan omongan Aziz atau siapapun itu," ucap Fira penuh harap, tentu dia sangat berharap jika Cesha mau melakukan permintaannya.

Anggukan yang diberikan Cesha membuat senyum terukir di wajah Fira, mungkin ini memang terlalu berlebihan, tetapi untuk seseorang yang tidak memiliki teman, hal ini adalah sesuatu yang luar biasa.

🍀🍀🍀

CESHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang