"Abi nggak apa-apa? Ada yang sakit?" tanya Cesha khawatir setelah masuk ke dalam ruang rawat inap Rama.
"Nggak kenapa-napa, Abi cuma butuh istirahat."
Rama mengusap kepala Cesha yang dibalut jilbab hijau, warna kesukaan putrinya. Melalui wajah putrinya, Rama merasa jauh lebih baik, memang benar, Cesha adalah kekuatannya.
"Maaf ya, Bi. Cesha baru datang, tadi ke makam ummi dulu."
Cesha memberitahu alasan kenapa dia terlambat, ia tidak mau jika abinya salah paham dan menganggap jika anaknya tidak peduli padanya, padahal jelas saja Rama tidak akan pernah berpikir seperti itu, Rama bukanlah orang yang suka berpikir buruk.
"Nggak apa-apa, kamu udah makan?"
Kebiasaan Cesha jika sedang khawatir, tidak akan ingat apapun, termasuk makan.
"Udah tadi, sama Kak Shima, Fira juga."
Pandangan Rama beralih ke arah Ashima dan Fira, pria paruh baya itu tersenyum hangat. Seolah menyampaikan terimakasih yang besar.
"Terimakasih, ya karena kalian udah nemenin Cesha, Saya nggak tau Cesha gimana kalau dia sendiri," ucap Rama.
"Sama-sama, Om. Lagipula Cesha udah baik sama kami, makanya kami juga sayang sama Cesha," balas Ashima.
Fira juga mengangguk, kali ini dia setuju dengan apa yang dikatakan Ashima, sepertinya baru kali ini mereka sepemikiran. Hanya tentang Cesha dan kebaikannya.
"Assalamu'alaikum."
Fajar datang bersama ... Aziz? Apa hubungannya? Dan juga, siapa mereka?
"Mama, Papa? Aku nggak kabur, kalian ngapain sih kesini." Kesal, tentu saja, entah untuk apa orang tuanya kesini, jika mereka ragu dengan Ashima, itu tidak wajar dan Ashima tidak bisa menerima itu.
"Wa'alaikumsalam."
Hanya Rama yang menjawab, karena memang hanya pria itu yang fokus pada salam yang diucapkan Fajar.
"Kamu bicara apa Ashima? Kami bukan jemput kamu," bantah Reno.
Ashima mencebik, memangnya mereka ada urusan apa disini? Huh!
"Maaf mengganggu waktunya, Pak Rama."
Reno mengambil alih, tidak ingin mendengar balasan dari putri sulungnya itu.
"Tidak masalah, Pak Reno."
Rama juga bingung, mau mengucapkan terimakasih atau tidak, Reno adalah rekan bisnisnya, tetapi juga orang tua Ashima, belum tentu juga mereka datang untuk menjenguknya. Nanti malah dikira terlalu percaya diri.
Ashima keluar dari ruang rawat inap Rama, kehadiran orang tuanya membuat ia merasa malu, seperti dia adalah anak pembangkang sehingga orang tuanya harus datang untuk melihat tingkahnya.
Cesha menyusul setelah pamit kepada abinya, karena Cesha keluar maka Fira juga ikut keluar. Sedangkan Fajar dan Aziz keluar karena merasa canggung, mereka orang tua dan rekan bisnis, sedangkan keduanya masih muda, takut jika pembicaraannya tidak nyambung.
"Kakak kenapa keluar?" tanya Cesha pada Ashima yang kini bersandar di dinding sambil bersedekap.
"Males gue sama mama dan papa, mereka pasti mikir kalau gue cuma main-main nggak jelas, mereka nggak percaya sama gue makanya datang ke sini," jawab Ashima.
"Nggak gitu Kak, lo su'udzon aja sama mama papa," bantah Aziz.
"Lo itu anak kesayangan mereka, jadi pasti belain mereka. Jadi, lo nggak usah mengatakan apapun untuk pembelaan, nggak akan mempan bagi gue!"
"Kalau lo nggak percaya sama gue, setidaknya percaya sama Kak Fajar. Kak Fajar juga tau kalau mama sama papa itu mau jenguk abinya Cesha, bukan karena nggak percaya sama lo."
Ashima itu suka sekali mengambil kesimpulan, dan kesimpulan yang diambilnya itu juga salah terus. Tetapi tetap saja ngeyel.
"Iya, Ashima. Orang tua kamu mau jenguk abi Rama, mereka nggak datang karena kamu. Lagian mereka juga udah saling kenal, mereka rekan bisnis."
Ternyata Ashima salah paham, dia terlalu sering berpikiran negatif, padahal ia sudah mulai berubah, tetapi tetap saja kadang-kadang kebiasaan lama itu kembali.
"Makanya jangan asal marah, malu sendiri kan lo!" cibir Aziz.
Fira mengangguk menyetujui, melihat Ashima yang diam karena merasa bersalah adalah hiburan tersendiri baginya.
"Halah, selama ini mereka nggak pernah jenguk rekan bisnisnya, mana bisa gue percaya gitu aja. Pasti ada maksud tertentu."
Ashima tetap tidak mau kalah, lagipula argumen ini tiba-tiba saja ada di pikirannya.
"Mereka juga mau bilang makasih karena abi Rama udah mau biarin lo tinggal di rumah mereka," jawab Aziz.
Itu memang benar, orang tuanya ingin mengucapkan terimakasih atas kebaikan Rama dan juga Cesha, karena Cesha maka Ashima bisa berubah.
"Oh oke, asal nggak ada perjodohan-perjodohan lagi, gue nggak bakal biarin Cesha tersiksa karena jadi keluarga kita."
Cesha mengernyit, perjodohan? Cesha tidak mau menikah dalam waktu dekat, bahkan pikiran untuk menikah belum pernah muncul di benaknya. Meskipun ia memiliki rasa suka kepada Aziz, tetapi Cesha belum berpikir sejauh itu, ia masih muda dan tidak ingin meninggalkan abinya.
"Apaan sih, lo!" Aziz protes, Ashima bicara seolah-olah keluarga mereka itu adalah kuman yang harus dijauhin.
"Gue emang bener, gue emang sayang sama Cesha, dia bakalan jadi adik gue, bukan adik ipar. Lagian lo nggak pantas untuk Cesha!"
"Gue pukul juga lo!"
"Tuh, kan kasar. Cesha nggak cocok sama yang kasar."
Padahal Aziz hanya sekedar mengancam, tidak benar-benar ingin memukul Ashima, Shima adalah kakaknya dan Aziz menyanyanginya, memukul Ashima tidak pernah terlintas di bayangannya walau ancaman yang diberikannya itu-itu saja.
"Udah, nggak usah ribut."
Ashima mencebik lalu berdiri di sebelah Cesha, masih menatap Aziz dengan kesal.
"Lagipula Cesha masih muda, jangan omongin pernikahan untuk mereka, mereka masih harus belajar dan mencapai impiannya."
"Dengerin tuh!"
🍀🍀🍀
KAMU SEDANG MEMBACA
CESHA
General FictionGadis riang bernama Cesha Bounze, hidupnya masih diselimuti kesedihan karena baru saja ditinggalkan oleh sang umi. Akibat kepergian dari orang yang sangat berarti tersebut membuat Cesha pindah sekolah agar lebih dekat kepada Abinya. Tetapi kesediha...