"Kamu nggak sendirian, kami disini."
Kalimat menenangkan itu membuat Cesha sedikit merasa lega, setidaknya masih ada orang yang tetap bersamanya walau hanya sementara.
Ashima mengambil tempat di sebelah kiri Cesha, tidak mungkin juga ia duduk tepat di sebelah Fajar.
"Maaf, Kak. Aku baru sadar kakak disini," ucap Cesha yang baru saja menyadari keberadaan Ashima, bukan hanya Ashima, tetapi ada Aziz juga.
"Nggak apa-apa, nggak masalah. Lo tenang ya, kalau lo panik itu juga nggak akan bagus, benar kata Fajar, lebih baik lo berdo'a daripada melamun yang nggak menghasilkan apa-apa."
Cesha mengangguk saja, toh ia sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun, rasa khawatirnya jauh lebih besar.
"Abang nemuin dokter dulu, kamu disini aja. Ashima, tolong jagain Cesha, jangan sampai dia pergi."
Cesha sudah akan protes tetapi Fajar sepertinya tidak ingin dibantah, terlihat jelas pada raut wajahnya yang kini lebih tegas.
"Iya, gue jagain Cesha."
Fajar pergi dan Ashima langsung memeluk Cesha, berusaha menenangkan orang yang sudah dia anggap sebagai adiknya sendiri, meskipun yakin hal itu tidak akan berpengaruh apapun.
"Cesha, kemarin lo bilang kalau kita tenang, kita pasti bisa menyelesaikan masalah karena pikiran kita jadi jernih. Lo tenang ya," pinta Ashima.
Cesha masih tidak menjawab, meskipun kehadiran Ashima sedikit mengurangi rasa takutnya akan kesendirian di dunia ini, setidaknya masih ada orang yang peduli padanya.
"Cesha, hei dear. Jawab dong, gue nggak mau lo tiba-tiba pingsan."
Ashima mengatakan itu seraya mengusap punggung kecil Cesha.
"Makasih ya kak, kakak udah datang ke sini," ucap Cesha pelan. Kini ia menyenderkan kepalanya ke bahu Ashima, posisi seperti ini membuatnya merasa seperti memiliki tempat bersandar selain abinya dan juga Fajar.
"Iya lah, lo udah jadi orang penting di hidup gue. Lo ada saat gue butuh, dan gue juga bakalan ada saat lo butuh. Gue sayang lo Cesha, lo adik gue."
Ashima tidak tau harus mengatakan apapun lagi, Cesha memang sudah dia anggap sebagai adiknya sendiri, kehadiran Cesha di hidupnya sangat berarti, karena Cesha ia bisa berubah seperti sekarang ini, karena Cesha juga lah ia bisa mengontrol emosinya ketika menghadapi keluarganya yang keras dan juga pemaksa.
"Lihat tuh, ada Aziz juga. Dia juga peduli sama lo," ucap Ashima seraya menunjuk Aziz yang daritadi duduk di kursi lain.
"Cesha, lo yang kuat ya." Aziz mengepalkan kedua tangannya sebagai isyarat untuk memberikan semangat.
Air mata Cesha kembali turun, tidak menyangka jika Aziz juga peduli padanya. Cesha bersyukur kerana dia bertemu dengan orang-orang baik seperti Ashima dan Aziz, mereka tidak punya hubungan apapun tetapi mereka peduli pada Cesha sehingga datang disaat ia benar-benar butuh dukungan.
"Nangis aja kalau itu yang bikin lo tenang, katanya setelah menangis maka perasaan kita menjadi lebih plong."
🍀🍀🍀
"Abi bangun," ucap Cesha pelan seraya mengusap lengan sang abi.
Kini Rama sudah dipindahkan ke ruang rawat inap meskipun belum sadarkan diri, Cesha merasa lebih tenang karena hal itu, abinya tidak perlu dirawat di ICU, itu berarti keadaannya tidak terlalu parah.
"Cesha, biarin abi istirahat dulu, jangan suruh abi bangun," pinta Fajar lalu menarik tangan Cesha untuk menuju sofa. Jika adik sepupunya itu terus duduk di sebelah Rama, maka sudah pasti Cesha akan terus berusaha membangunkannya.
"Minum dulu."
Cesha menerima botol air yang diberikan Ashima lalu meminumnya hingga sisa setengah, rasa khawatirnya sudah berkurang itu berarti fokusnya juga sudah kembali. Cesha sudah seperti biasanya.
"Makasih ya, Kak."
"Makasih terus, udah nggak usah dipikirin."
Seperti biasa, Cesha kembali merasa tidak enak karena sudah merepotkan Ashima dan Aziz. Mereka tidak punya hubungan, rasanya tidak benar jika terlalu merepotkan seperti ini.
"Kakak pulang aja, pasti kakak capek, tadi juga kuliah, kan?"
"Gue diusir, nih?" tanya Ashima langsung.
"Bukan gitu, Kak. Aku cuma nggak mau terlalu merepotkan kakak, lagipula abi udah nggak apa-apa, tinggal nunggu bangun," jelas Cesha.
"Abi Rama memang udah nggak apa-apa, tapi lo masih belum baik-baik aja. Muka lo masih pucat, udah istirahat aja."
Cesha tidak tau harus bagaimana lagi untuk menghadapi Ashima, dia terlalu keras kepala, ditolak juga dia akan membantah.
Satu-satunya cara adalah meminta bantuan dari Fajar, kakak sepupunya itu pasti akan membantunya.
"Bang Fajar, bilangin ke Kak Shima, Cesha udah nggak apa-apa, kasihan kalau Kak Shima disini terus."
Tetapi Fajar sepertinya tidak berniat untuk membantu, dia hanya mengedikkan bahunya pertanda tidak tau harus melakukan apa.
"See? Fajar nggak dukung lo, dia setuju sama gue," ujar Ashima bangga.
"Iyalah, calon suaminya. Gimana nggak dibelain," celutuk Aziz yang sedang bersandar di tembok.
"Apaan sih lo!" bentak Ashima.
Aziz selalu saja membuatnya kesal, padahal Ashima sudah berusaha untuk berubah tetapi adiknya seperti tidak mendukung usahanya sama sekali.
"Ashima, ini rumah sakit. Jangan berisik," tegur Fajar.
Aziz terkekeh karena kakaknya ditegur oleh Fajar. Lagian, siapa suruh membuat keributan di rumah sakit, dia hanya bercanda tetapi Ashima malah menganggapnya serius. Terlalu baperan.
"Iya-iya, sorry. Lagipula gue nggak sengaja," gerutu Ashima.
Cesha tersenyum tipis, kehadiran Ashima, Aziz dan juga Fajar bisa menenangkan dan juga menghiburnya.
🍀🍀🍀
KAMU SEDANG MEMBACA
CESHA
General FictionGadis riang bernama Cesha Bounze, hidupnya masih diselimuti kesedihan karena baru saja ditinggalkan oleh sang umi. Akibat kepergian dari orang yang sangat berarti tersebut membuat Cesha pindah sekolah agar lebih dekat kepada Abinya. Tetapi kesediha...