"Lo langsung pulang, bilang kalau gue nginep di rumah Cesha. Awas aja kalau lo bohong dan buat gue terlibat masalah," ucap Ashima kepada Aziz.
Memang pada akhirnya Cesha pulang bersama kakak-beradik itu, Fajar mengizinkannya karena Ashima terus ngotot dan katanya mau menginap. Setidaknya Cesha memang butuh teman disaat seperti ini.
"Iya-iya, nih makanannya," ucap Aziz pasrah lalu memberikan makanan yang sudah dibelinya tadi kepada Ashima.
"Makasih ya, Aziz karena udah nganterin aku pulang," ucap Cesha. Menurutnya ini penting, lagipula Aziz sudah membantunya untuk sampai ke rumah.
"Iya, sama-sama. Lo jangan cemas lagi ya, abi lo kan udah nggak apa-apa, cuma butuh istirahat aja," balas Aziz.
Cesha mengangguk, lagipula sekarang ia memang sudah lebih tenang, tidak ada yang perlu dicemaskan lagi.
"Yaudah, cepat sana pulang. Lagipula Aziz nggak boleh masuk ke rumah lo, kan Ces?" celutuk Ashima, ia ingin membuat adiknya jengkel.
Cesha menatap Ashima dengan sedikit kesal, Ashima membuatnya merasa tidak enak kepada Aziz. Cesha takut jika Aziz tersinggung dengan ucapannya.
"Maaf ya, Aziz. Tapi di rumah nggak ada laki-laki," ucap Cesha pelan.
"Aku nggak bermaksud untuk nyinggung kamu, aku benar-benar nggak bermaksud. Kamu udah nolongin aku, aku bukannya nggak tau diri, tapi—"
"Cesha, kenapa lo panik? Aziz nggak masalah kali, dia itu nggak gampang tersinggung," potong Ashima. Lucu juga melihat Cesha yang panik seperti itu, wajah lagunya terlihat sangat khawatir.
"Iya, Cesha, santai aja kali. Gue nggak marah, serius," sambung Aziz.
Cesha mengangguk saja, ia sudah lelah dan ingin istirahat di kamarnya, seharian dia duduk dan juga menangis. Rasa lelahnya baru terasa sekarang.
"Yaudah, kami masuk dulu, hati-hati di jalan. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
🍀🍀🍀
"Langsung rebahan aja lo, makan dulu, daritadi lo belum makan, kan?"
Ashima yang baru datang langsung menegur Cesha seraya meletakkan nampan makanan di nakas.
"Aku nggak lapar, Kak. Aku cuma capek, mau tidur," balas Cesha tanpa membuka matanya, bahkan untuk membuka mata saja rasanya sulit bagi gadis itu.
"Makan dulu, ntar lo sakit. Abi lo lagi sakit, kalau lo juga ikutan sakit, nanti beliau makin sakit."
"Nggak makan semalam doang nggak akan bikin sakit, Kak. Udah, aku mau tidur," balas Cesha. Ia tetap menolak bujukan yang diberikan Ashima.
"Kakak makan duluan aja," lanjut Cesha lalu menyamankan tubuhnya di tempat tidur.
Ashima tidak menyangka jika Cesha bisa keras kepala juga, biasanya ia selalu menurut tanpa membantah. Tenyata dulu ia belum menunjukkan kebiasaan aslinya, Cesha pasti masih canggung.
"Cesha, gue nggak peduli kalau lo marah sama gue atau nganggap gue ini ganggu waktu istirahat lo. Tapi lo tetap harus makan. Bangun!"
Cesha merengek, Ashima sungguh mengganggunya, sama seperti umminya yang membangunkannya jika belum makan.
Seketika Cesha langsung terbangun karena mengingat sang ummi, kesedihannya kembali terasa, untung saja kini abinya baik-baik saja.
"Nah bagus, sekarang makan."
Ashima mengambil nampan dari nakas lalu meletakkannya dipangkuannya, mengambil sesendok makanan lalu menyuapi Cesha.
"Nah gitu baru benar, pintar."
Ashima justru menganggap Cesha sebagai anak kecil, sungguh terlalu.
"Nggak lapar, tapi habis satu piring," cibir Ashima karena Cesha menghabiskan makanannya tanpa menolak sekalipun ketika suapan pertama sudah berada di mulutnya.
"Kalau aku nolak, Kakak pasti tetap maksa dan itu malah bikin lama."
Cesha menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang, meskipun sudah mengantuk tetapi dia tidak mau tidur, perutnya kenyang dan tidak baik jika langsung tidur.
"Gue pasti tetap bakalan maksa, tapi bagus deh lo nurut."
"Kakak, cara kakak bangunin aku tadi, sama kayak ummi," ucap Cesha tiba-tiba.
Ashima tertawa pelan lalu menggeleng, ia sudah melihat foto almarhumah umminya Cesha, sepertinya beliau orang yang sangat baik, senyumnya ramah dan tatapannya hangat. Bagaimana bisa Ashima dibandingkan dengan wanita seperti itu? Ashima merasa tidak pantas.
"Ummi lo pasti jauh lebih baik daripada gue, jangan gitu ah, gue mah nggak sebanding sama ummi lo."
Ashima tersenyum lalu mengusap bahu Cesha. "Gue tau lo khawatir Cesha, lagipula nggak masalah kalau khawatir sama orang tua sendiri, kan? Tapi, menurut gue, tadi lo terlalu khawatir, bahkan lo nggak bisa berpikir jernih."
Cesha sadar, memang tadi dia sangat kalut sehingga tidak sadar dengan apa yang dilakukannya. Seingatnya, ia hanya menangis dan berpikir jika sang abi akan meninggalkannya seperti ummi.
"Aku bahkan nggak terlalu ingat dengan apa yang aku lakukan tadi, tadi aku bersikap buruk ya, Kak?"
Ketika sang ummi meninggal, Cesha juga seperti ini, tidak sadar dengan apa yang telah dia lakukan, tetapi saat itu ada abi yang mendampingi dan juga menyadarkannya.
"Enggak terlalu, Cesh. Tapi menurut gue, sebaiknya lo lebih kendalikan perasaan lo. Gue tau itu nggak semudah mengatakannya, tapi lo pasti bisa."
"Aku takut banget, Kak. Aku cuma punya abi."
"Kenapa lo ngomong gitu? Ada gue, Fajar, Aziz juga ada loh, dia juga peduli sama lo. Kami semua peduli dan sayang sama lo," ucap Ashima.
"Dulu gue ngerasa kalau gue juga sendirian, keluarga gue cuek dan mikirin diri sendiri, tapi karena lo, gue jadi bisa menerima sikap mereka yang seperti itu."
"Itu karena diri kakak sendiri."
"Gue bisa karena bantuan lo, lo ada saat gue butuh, nggak mungkin gue ninggalin lo saat lo butuh."
🍀🍀🍀
KAMU SEDANG MEMBACA
CESHA
Fiksi UmumGadis riang bernama Cesha Bounze, hidupnya masih diselimuti kesedihan karena baru saja ditinggalkan oleh sang umi. Akibat kepergian dari orang yang sangat berarti tersebut membuat Cesha pindah sekolah agar lebih dekat kepada Abinya. Tetapi kesediha...