Cesha mengetuk pintu kamarnya dua kali, menurutnya tidak sopan masuk begitu saja karena ada Fira di dalam, meskipun itu adalah kamarnya. Setelah mendengar jawaban dari dalam, barulah Cesha masuk.
"Maaf ya karena aku ninggalin kamunya lama," ucap Cesha langsung. Ia takut jika Fira berpikir bahwa kedatangannya tidak disukai sehingga ditinggalkan sendiri dengan waktu yang cukup lama.
"Nggak apa kok, cuma sebentar," balas Fira.
"Sorry, ya, gue hidupin televisi nggak izin dulu," lanjutnya. Memang ketika Cesha meninggalkannya tadi, Fira menghidupi televisi untuk menghilang kebosanannya. Rasanya lebih tidak sopan jika ia tidur tanpa izin dulu.
"Nggak kenapa-napa." Sebenarnya Cesha ingin menanyakan kenapa Fira berada di depan rumahnya, dan juga kenapa ia tidak datang ke sekolah tadi. Tetapi ia merasa sungkan, takut jika Fira tersinggung.
"Lo bingung ya, kenapa gue tiba-tiba ke sini? Gue juga nggak sekolah tadi," ujar Fira, ia bisa melihat itu dari raut wajah teman barunya itu.
Tanpa mendengar jawaban Cesha, Fira langsung melanjutkan ucapannya.
"Gue nggak bisa hilangin ingatan gue tentang orang-orang yang udah menghina gue, padahal mereka tau kebenarannya, tetapi tetap saja gue diejek. Gue nggak yakin bisa nahan diri ketika melihat mereka, gue takut lepas kendali dan justru melakukan hal yang akan sama-sama disesali nantinya."
Cesha akhirnya mengerti perasaan Fira, jika ia yang menjadi Fira, Cesha bahkan tidak tau apa yang harus dia lakukan nantinya.
"Bohong kalau gue nggak sakit hati, gue bener-bener sakit, ingin rasanya gue memelintir mulut mereka, lalu menonjoknya hingga bibir itu hancur. Tapi gue berusaha nahan diri, makanya lebih baik gue nggak sekolah, kan?" Fira meminta persetujuan dari Cesha.
"Iya, aku ngerti." Hanya itu yang bisa Cesha katakan, ia kehabisan kata-kata, ternyata kehidupan orang-orang sangat beragam, masalah yang dihadapi orang-orang juga tidaklah ringan.
"Gue sadar, kalau gue sering ngerepotin lo. Gue tiba-tiba datang ke rumah lo terus numpang, nggak tau diri banget, ya?" Fira terkekeh saat mengatakannya, ia tentu ingat jika telah sangat merepotkan temannya. Teman barunya.
"Padahal kita baru aja kenalan, tapi gue malah bertindak seolah-olah udah kenal lama. Gue sadar kalau gue ini sok dekat, sok kenal," lanjut Fira.
Cesha sudah akan membuka mulutnya, tetapi tidak jadi karena takut salah bicara. Pembahasan ini sangat sensitif, salah sedikit saja maka dampaknya akan besar.
"Tapi gue nggak bisa apa-apa selain ini, Ces. Cuma lo temen gue, teman satu-satunya. Gue nggak punya pilihan lain selain ngerepotin lo kayak gini, kalau gue tetap di rumah, justru gue akan semakin tersiksa. Gue nggak kuat."
Lagi-lagi Cesha tidak bisa mengatakan apapun, masalahnya berat. Sudah bawa-bawa keluarga, sedangkan di sini, Cesha hanyalah orang asing.
"Lo mau kan maafin gue karena selalu ngerepotin lo," pinta Fira.
"Aku nggak marah, Fira, jadi kamu nggak perlu minta maaf. Kamu itu teman aku, teman pertama aku di sana, jangan ngomong gitu lagi ya, lagipula karena ada kamu di sini, aku nggak kesepian lagi," balas Cesha.
Cesha memang tidak keberatan jika Fira datang ke rumahnya, itu tidak menjadi masalah, yang menjadi masalah itu jika Cesha sampai harus terlibat untuk hal-hal yang sama sekali bukan urusannya. Mungkin seperti meminta perlindungan.
"Lo serius? Meskipun gue udah ngerepotin lo selama ini?" tanya Fira tak percaya.
Cesha mengangguk ragu, bukan ragu untuk memaafkan Fira. Tetapi ia mengingat apa yang sudah temannya itu lakukan, entah kenapa bagi Cesha, itu bukanlah merepotkan. Kenapa pikiran mereka berbeda? Atau ada hal yang luput dari perhatian Cesha sehingga Fira jadi seperti ini?
"Memangnya kamu salah apa?" Tak tahan untuk memendamnya lagi, jika Cesha tidak menyadari sesuatu, mungkin saja itu adalah hal besar yang sangat penting.
"Gue selalu ngerepotin lo."
"Kamu nggak ngerepotin aku," bantah Cesha.
"Cesha, kalau gue ngelakuin kesalahan, apa lo maafin gue?" Pertanyaan yang berbahaya, jika Fira melakukan kesalahan yang sangat fatal, maka Cesha tidak mungkin bisa memaafkan dengan mudah, ia pasti butuh waktu.
"Tergantung kesalahannya, Fira. Kalau aku bisa memaklumi kesalahan itu, aku pasti bisa maafin kamu dengan cepat. Tapi, kalau aku nggak bisa memaklumi kesalahan kamu itu, aku nggak akan bisa maafin kamu dengan cepat. Aku butuh waktu lama, atau mungkin seumur hidup aku," jawab Cesha. Ia tidak mau mengatakan sesuatu yang baik jika kenyataannya tidak sepenuhnya itu, lagipula jawabannya ini tidaklah buruk.
"Kesalahan apa yang nggak bisa kamu maklumi?"
"Kalau mengganggu keluarga aku, aku nggak akan bisa memaafkan orang yang mengganggu keluarga aku dengan mudah. Aku memang nggak sebaik itu," lirih Cesha di akhir kalimat.
"Menurut gue lo baik, lo cuma nggak terima kalau ada yang nyakitin keluarga lo. Itu wajar."
Cesha menghela nafas, kenapa pembahasannya menjadi berat? Menurutnya, ini belum saatnya mereka membahas hal-hal dengan topik berat. Lagipula salah Cesha juga, sih, kenapa meladeni Fira seperti itu. Seharusnya Cesha membalas ucapan Fira seadanya, dengan kalimat yang tidak menjurus ke hal berat.
Jika sudah seperti ini, selain membahasnya, apa lagi yang bisa Cesha lakukan? Mengabaikan pembicaraan hanya akan membuat masalah tidak teratasi dan berlarut-larut.
🍀🍀🍀
KAMU SEDANG MEMBACA
CESHA
General FictionGadis riang bernama Cesha Bounze, hidupnya masih diselimuti kesedihan karena baru saja ditinggalkan oleh sang umi. Akibat kepergian dari orang yang sangat berarti tersebut membuat Cesha pindah sekolah agar lebih dekat kepada Abinya. Tetapi kesediha...