"Pernah dengar kalau Fira itu pembunuh?"
"Pernah, emangnya itu benar?" tanya Cesha penasaran meskipun setelah itu dia mengucapkan istighfar di dalam hati karena sudah membicarakan orang lain di belakangnya.
"Enggak, sih. Fira nggak pernah bunuh siapapun, cuma orang itu mati di hadapan Fira, dia nggak nolong, makanya kami manggil dia pembunuh."
Fira tidak membunuh siapapun, tetapi dia dipanggil pembunuh, Cesha tidak percaya dengan apa yang didengarnya ini. Kenapa mereka begitu tega? Fira tidak bersalah, memangnya siapa yang bisa menentukan umur seseorang? Jika memang orang tersebut sudah ditakdirkan untuk meninggal hari itu, bahkan dengan kejadian yang tepat di hadapan Fira, dia tidak bisa disalahkan. Fira tidak bisa dipanggil pembunuh hanya karena itu.
"Cuma karena itu? Kasihan Fira," tutur Cesha, teman-temannya terdiam sebentar lalu berdecak.
"Kami nggak salah, itu wajar Cesha, Fira nggak bantu orang yang sedang membutuhkan pertolongan, padahal dia bisa, nggak ada bedanya dengan pembunuh. Dia itu membunuh secara tidak langsung," balas Alifa. Menurut mereka, pikiran itu benar, Fira tetap bersalah.
"Kalian tau darimana? Lihat langsung?"
"Enggak."
Tuh, kan. Bagaimana bisa mereka berpikir serendah itu? Mereka ini, dapat pikiran itu dari siapa?
Cesha tidak mengucapkan apapun lagi, dari sini dia sudah tau kalau Fira tidak bersalah, temannya itu hanya diasingkan dan dituduh sehingga Fira merasa kalau dia tidak bisa mendapatkan teman dan takut ditinggalkan.
🍀🍀🍀
"Fira? Kamu ngapain di sini?" tanya Cesha ketika melihat Fira duduk di depan pagar rumahnya. Cewek itu langsung keluar dari mobil dan menghampiri Fira yang kini sudah berdiri dan menatap senang.
"Akhirnya lo datang, gue udah nungguin daritadi," ucap Fira tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan Cesha.
"Siapa, Nak?" Rama mengeluarkannya kepalanya melalui jendela mobil karena Cesha masih betah di luar, bicara dengan seorang gadis yang seumuran dengannya.
"Teman sekolah Cesha, Bi."
Rama mengangguk saja, kedatangan teman putrinya ke rumah bukanlah masalah bagi Rama. Justru dia senang karena Cesha sudah mendapatkan teman, putrinya sudah menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya.
"Ayo, masuk. Kenapa bicara di depan pagar!" ajak Rama lalu menjalankan mobilnya agar masuk ke dalam pekarangan rumahnya. Meninggalkan Cesha dan Fira yang masih berdiri di depan pagar.
"Kenapa kamu duduk di depan pagar? Nggak dibolehin masuk, ya?"
"Saya udah bolehin masuk, Non. Tapi enengnya nggak mau, katanya nunggu di luar aja," celutuk seorang satpam.
"Iya, gue malu kalau masuk ke rumah lo tapi lo nya nggak ada, makanya gue nunggu di depan pagar aja, tapi karena capek berdirinya, gue duduk aja deh," ucap Fira mendukung pernyataan Pak Satpam.
"Yaudah, deh. Ayo masuk," ajak Cesha. Setelah kedua gadis itu masuk ke dalam pekarangan rumah, Pak Satpam langsung berinisiatif untuk menutup pagar.
Cesha hanya diam, tidak ingin mengatakan apapun meskipun benaknya dipenuhi banyak pertanyaan, rasanya tidak benar banyak bertanya sambil berjalan.
"Abi udah minta Bibi untuk masakin makanan untuk kalian, Abi pergi lagi, ya, mau meeting." Rama yang baru keluar dari rumah langsung mengatakan itu, Cesha tersenyum lalu mengangguk.
"Abi hati-hati, ya. Jangan ngebut."
"Iya, sayang. Om pergi dulu, ya." Kali ini Rama pamitan dengan Fira.
"Iya, Om."
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam."
🍀🍀🍀
"Non, di luar ada Den Fajar. Katanya mau ketemu sama, Non."
Cesha mengangguk lalu mengucapkan terimakasih, tadi dia memang sudah meminta Abang sepupunya itu untuk datang ke rumahnya, untung saja Fajar bersedia.
"Cowok lo?" Tentu saja pertanyaan itu berasal dari Fira yang kini sedang duduk di tempat tidur Cesha.
"Bukan, tapi sepupu aku. Aku tinggal sebentar dulu, nggak apa-apa?" tanya Cesha canggung. Uminya pernah mengatakan kalau tidak baik meninggalkan tamu yang sedang berkunjung, takut mereka tersinggung. Tetapi ini harus bagaimana? Tidak mungkin juga membiarkan Fajar menunggu, sedangkan tujuan Fira datang belum diketahuinya.
"Nggak apa-apa, kok. Tapi emangnya nggak apa-apa kalau gue di kamar lo?"
"Nggak apa-apa, aku ke luar dulu, ya."
Fira mengangguk saja, toh itu adalah hak Cesha.
"Assalamu'alaikum, Bang Fajar."
"Waalaikumsalam, Dek."
Cesha duduk di sebelah Fajar, cowok itu langsung menatap adik sepupunya itu.
"Abang nggak tau kalau kamu pindah sekolah, Dek. Kenapa nggak ngasih tau Abang?" Fajar sedikit kesal dengan hal itu, dia sudah menganggap Cesha sebagai adiknya sendiri, tetapi hal seperti ini malah disembunyikannya.
"Cesha lupa, Bang. Cesha pindah juga karena mau lebih dekat dengan abi, Cesha udah kehilangan ummi, bahkan Cesha nggak bisa nemenin ummi di saat-saat terakhirnya."
Fajar terdiam, sedih mendengar ucapan adik sepupunya itu. Kehilangan ummi adalah kehilangan sesuatu yang sangat berarti, apalagi Cesha tidak bisa menemani sang ummi.
"Ummi udah tenang, Dek. Tugas kamu sekarang adalah do'ain ummi, ya?"
"Iya, Bang." Cesha menghapus air matanya yang turun tanpa disadari, ternyata dia masih belum bisa menerima kenyataan tersebut. Selama ini cewek itu menganggap kalau dirinya sudah bisa menerima hal tersebut, ternyata tidak semudah itu.
"Oh iya, kenapa kamu minta Abang ke sini? Kamu butuh bantuan Abang, hm?" tanya Fajar.
"Iya, Bang. Aku sekalian mau cerita, boleh?"
"Of course, cerita aja, Dek. Abang dengerin, kalau bisa, nanti Abang kasih pendapat."
"Pas pulang sekolah di hari pertama, Cesha ketemu sama orang yang tiba-tiba masuk ke mobil---"
"Hah? Kok bisa? Kamu nggak kunci pintunya, ya? Itu bahaya, Cesha. Jangan ceroboh," potong Fajar, cowok itu tau kalau Cesha memang sering seperti itu.
"Abang, ih. Jangan motong," protes Cesha.
"Lanjut," pandu Fajar, nanti saja dia mengomeli Cesha karena kecerobohannya.
"Orang itu nggak jahat, terus tinggal di sini selama beberapa hari."
"What? Abi Rama bolehin? Oh, Cesha, orang asing nggak bisa dipercaya gitu aja, Abang tau kalau kamu dan Abi itu baik, tapi nggak gitu juga."
Fajar bahkan melupakan niatnya untuk mendengar cerita Cesha sampai selesai, pengakuan itu benar-benar mengejutkan.
"Bang, please deh. Jangan motong, Cesha belum selesai cerita."
🍀🍀🍀
KAMU SEDANG MEMBACA
CESHA
General FictionGadis riang bernama Cesha Bounze, hidupnya masih diselimuti kesedihan karena baru saja ditinggalkan oleh sang umi. Akibat kepergian dari orang yang sangat berarti tersebut membuat Cesha pindah sekolah agar lebih dekat kepada Abinya. Tetapi kesediha...