14

11 3 0
                                    

Aziz membuka pintu rumahnya perlahan, agar tidak mengganggu orang yang berada di rumah ini. Ketika melihat keberadaan sang Papa, Aziz langsung menghampirinya dan duduk di sebelah Reno.

"Papa nggak nyari Kak Shima?" tanya Aziz kepada papanya yang sedang menonton berita di televisi, santai sekali pria ini ketika putrinya kabur.

"Papa yakin Shima nggak akan tahan hidup tanpa kita." Aziz menggeleng, percaya diri sekali.

"Bahkan sampai sekarang, Kak Shima belum pulang. Memang ini belum lama, tapi udah membuktikan kalau Kak Shima bisa hidup tanpa uang Papa," tutur Aziz, untuk sejenak dia melupakan sikap sopan kepada orang tuanya.

"Aziz, kamu tau di mana kakak kamu? Jangan nyembunyiin dia dan menuhin semua kebutuhannya." Aziz tidak percaya bahwa pria di hadapannya ini adalah seorang ayah, bukannya khawatir tetapi malah menuduh.

"Papa sayang nggak sih sama Kak Shima?" tanya Aziz langsung karena sang papa tidak akan mengerti jika dia bertele-tele.

"Tentu saja, sayang. Shima anak Papa." Jika tidak mengingat bahwa pria di hadapannya ini adalah papanya, Aziz pasti sudah berdecih.

Katanya sayang, tetapi tidak mau mengerti perasaan anaknya, apa itu yang disebut sayang? Selalu mematuhi perintah sang nenek tanpa memikirkan perasaan anaknya, itu sayang, atau apa?

"Kenapa Papa selalu nurutin perintah nenek? Bahkan sampai mau ngejodohin Kak Shima," tanya Aziz lagi, hari ini dia akan berusaha untuk mengerti orang tuanya, karena dia sudah mengerti perasaan kakaknya. Kalau bukan dia, siapa lagi yang akan membereskan ini? Tidak mungkin Ashima.

"Karena itu bagus untuk Shima, kamu tau sendiri gimana kakak kamu itu. Lagipula dia udah bikin malu karena kabur." Reno mendengus ketika mengingat Shima kabur ketika keluarga calonnya datang, tentu saja Reno sebagai Ayah kandung Ashima merasa sangat malu. Bahkan sampai sekarang.

"Lagipula ngapai dijodohin, Pa? Kak Shima masih kuliah. Jangan egois, kalau Aziz jadi Kak Shima, Aziz pasti ngelakuin hal yang sama. Selama ini hidup kami selalu diatur, nggak bisa nentuin pilihan sendiri." Untuk pertama kalinya, Aziz mengeluarkan isi hatinya.

"Maksud kamu, kami selalu mengekang?" Aziz mengangguk mantap, memang itu kebenarannya.

"Itu semua demi kebaikan kalian," tukas Reno, ternyata anaknya ini sudah berani melawan dirinya.

"Kebaikan gimana, Pa? Sampai anaknya kabur gitu. Kami anak Papa sama Mama, tapi kenapa nenek yang selalu mengatur hidup kami? Dan kami tidak bisa membantah." Reno terdiam, apa benar dia sudah salah dalam mendidik anaknya? Apa anak-anaknya tertekan dengan itu semua? Jadi, ini adalah salahnya karena selalu menuruti keinginan sang ibu?

"Pa?" Melihat papanya menjadi diam, membuat Aziz merasa bersalah karena dirinya yang memulai pembicaraan ini, tetapi ini demi kakaknya.

"Papa ke kamar dulu." Aziz hanya mengangguk seraya tersenyum tipis, semoga pikiran papanya bisa berubah.

"Kamu ngapain, Ziz? Pulang sekolah bukannya ganti baju, malah langsung nonton."

"Habis ngobrol sama papa, Ma," jawab Aziz kemudian menghampiri sang mama dan mencium punggung tangannya.

"Makan dulu, Nak. Kenapa jam segini baru pulang?"

"Aziz udah makan, Ma," jawab Aziz pelan.

"Aziz ke kamar dulu, ya." Sebelum mendapat jawaban, Aziz sudah melangkahkan kakinya menuju kamarnya sendiri, meninggalkan sang mama yang menatapnya dengan pandangan bingung. Bukannya bermaksud tidak sopan, tetapi Aziz masih sedikit kesal karena mamanya juga tidak bertindak untuk mencari Ashima.

Setelah memasuki kamar, Aziz merebahkan dirinya ke sofa lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Menimbang beberapa saat kemudian mencari kontak Cesha, tentu saja dia memiliki kontak Cesha karena ada di grup kelasnya, bukan memintanya dengan melakukan rayuan.

Panggilan pertama tidak dijawab oleh Cesha, begitu pun dengan panggilan kedua. Sepertinya gadis itu sedang sibuk padahal Aziz ingin berbicara dengan Ashima, meskipun melalui Cesha.

Karena lima panggilannya tidak dijawab, Aziz memutuskan untuk membersihkan dirinya terlebih dahulu, badannya sudah terasa sangat gerah karena ini sudah malam dan dia baru pulang setelah berkumpul bersama teman-temannya.

🍀🍀🍀

Cesha menatap ponselnya, ada lima panggilan tak terjawab dari nomor yang tidak disimpannya. Cesha bahkan tidak tau darimana orang itu mendapat nomornya. Apa itu orang iseng?

"Cesha, ayo ajarin gue lagi. Atau lo ada kegiatan lain? Tugas, misalnya?" ucap Ashima yang baru saja masuk ke kamar.

"Tugasnya udah aku selesaikan tadi, Kak. Sekarang nggak ngapa-ngapain, ayo ngaji." Cesha sudah akan mengambil mukenanya, tetapi ponselnya tiba-tiba hidup, ternyata orang itu menelfon lagi.

"Siapa?"

"Nggak tau." Ashima melihat ponsel Cesha yang masih menyala, tidak asing dengan nomor tersebut.

"Kayaknya nomor Aziz," ujar Ashima ketika mengingat empat angka terakhir nomor tersebut.

"Adik kakak, itu?" Ashima mengangguk kemudian meminta Cesha untuk menjawab panggilan tersebut.

"Assalamu'alaikum," sapa Cesha, Ashima langsung mengode Cesha untuk mengaktifkan loudspeaker.

"Waalaikumsalam" Ashima tertawa tanpa suara, Aziz sama sepertinya, terasa kaku ketika mengucapkan salam.

"Ini siapa?" Meskipun Ashima sudah mengatakan itu adalah Aziz, Cesha tetap ingin memastikannya.

"Gue, Aziz." Hening. Cesha maupun Aziz tidak ada yang bersuara.

"Cesha."

"Iya?"

"Gue boleh ngomong sama kakak gue?" Ashima menggeleng dan Cesha mengangguk mengerti.

"Kak Shima nggak mau ngomong sama kamu." Di seberang sana Aziz tertegun, jujur sekali gadis ini. Ashima pun terkekeh, dia pikir Cesha akan membuat alasan tetapi malah langsung seperti itu.

"Oh, yaudah. Gapapa, gue boleh minta tolong?" Aziz sadar, tidak mungkin Ashima mau bicara dengannya.

"Apa?"

"Tolong bilang ke Kak Ashima, gue lagi berusaha supaya perjodohan itu batal dan hidup Kak Ashima nggak diatur lagi, minta dia sabar, dan juga ... gue cuma bisa berusaha, hasil akhirnya nggak bisa gue tentuin." Cesha memandang Ashima yang sedang menatap ponsel di genggamannya.

"Iya."

"Terimakasih, Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam." Ketika sambungan telah berakhir, Ashima tersenyum tipis, meskipun adiknya selalu menuruti keinginan orang tua dan nenek mereka, ternyata Aziz mau membelanya.

"Gue nggak nyangka kalau Aziz bakalan bantuin gue."

"Dia sayang sama kakak." Ashima memegang tangan Risha sebelum berbicara.

"Iya, tapi Aziz sama kayak gue, lo mau bantuin Aziz seperti lo bantuin gue? Bantu kami untuk berubah jadi lebih baik."

🍀🍀🍀

CESHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang