01

34 6 19
                                    

"Abiiiiiii!" teriak Cesha ketika tiba di anak tangga terakhir kemudian berlari ke arah abinya yang sedang membaca buku.

"Kenapa Cesha? Jangan teriak-teriak begitu." Cesha hanya nyengir, meskipun sudah diperingatkan berkali-kali tetapi dia tetap melakukannya.

"Maaf, Abi." Rama meletakkan bukunya di atas meja lalu menyuruh anak tunggalnya itu untuk duduk di sampingnya.

"Kamu minta maaf terus, tapi mengulanginya juga," ucap Rama membuat Cesha menunduk, tapi ini bukan karena menyesal tetapi agar abinya tidak mengomelinya lagi, dan jurus ini kembali manjur, sang Abi hanya menghela nafas pelan.

"Kenapa, sayang?" tanya Rama, kali ini suaranya lebih lembut daripada tadi.

"Cesha takut Abi, apa teman-teman baru Cesha akan baik?" Rama tersenyum mendengar pertanyaan putrinya itu lalu mengusap kepala Cesha yang terbalut jilbab.

"Insya Allah, teman-teman baru Cesha akan baik," jawab Rama tetapi itu tidak menenangkan Cesha, gadis manis tersebut masih takut.

"Tapi Abi—"

"Sudah Cesha, sekarang kamu masuk ke kamar ya, jangan sampai besok kesiangan."

"Abi besok akan menemani Cesha kan?" tanya Cesha lagi.

"Tentu, ayo kembali ke kamar!" perintah Rama lagi, kalau tidak seperti ini maka putrinya itu akan terus menanyakan hal yang sama.

"Cesha sayang Abi." Setelah mengucapkan itu, Cesha berlari ke kamarnya yang berada di lantai dua, mengabaikan peringatan Rama yang menyuruhnya untuk berjalan santai.

Rama tetap memperhatikan putrinya hingga tubuh anaknya itu tenggelam di balik daun pintu. Kemudian tersenyum pedih, air matanya hampir menetes karena putrinya itu tidak bisa mendapatkan kasih sayang uminya lagi.

Sedangkan di sebuah kamar yang bernuansa hijau, Cesha menatap foto dirinya bersama kedua orang tuanya. Senyum manis terbit di bibir tipis gadis itu.

"Cesha rindu, Umi. Kenapa Umi ninggalin Cesha sama Abi secepat ini? Cesha masih butuh Umi, tapi Allah lebih sayang Umi, makanya sekarang Umi dipanggil. Cesha akan berusaha ikhlas, semoga Umi tenang di sana." Cesha mengakhiri curhatannya dengan mencium foto di genggamannya cukup lama hingga setetes air matanya jatuh.

"Astagfirullah, air matanya jatuh sendiri Umi. Cesha udah ikhlas." Cesha terkekeh walau air matanya masih mengalir, meskipun diusap terus-menerus tetapi cairan bening itu masih saja turun sesukanya.

"Umi, air matanya nggak mau berhenti. Umi ... Cesha mau nangis." Kali ini gadis itu membiarkan air matanya turun, sungguh hatinya belum sanggup menerima kepergian sang umi tercinta. Di depan semua orang, bahkan abinya, Cesha dapat menampilkan raut wajah tegar agar tidak membuat Abinya lebih terluka.

"Umi ... hiks."

🍀🍀🍀

Cesha menatap pantulan dirinya di cermin, matanya berkantung dan terlihat menyeramkan. Ini pasti karena semalam dia menangis hingga tertidur, tapi bagaimana cara menghilangkan ini ... abinya tidak boleh tau.

Lalu gadis yang menggunakan berseragam khas salah satu SMA itu mengambil bedak tabur dan menaburkannya di sekitar mata, tentu saja dengan mata terpejam. Ini lebih baik meskipun tidak menutupi semuanya.

"Assalamu'alaikum, Abi," sapa Cesha dengan riang ketika menemukan abinya sedang duduk di meja makan, ada roti dan juga secangkir kopi di hadapan sang Abi.

"Waalaikumsalam Cesha, gimana tidurnya? Nyenyak?" Cesha mengangguk sekali, jujur saja hati gadis itu merasa bersalah karena sudah berbohong. Tetapi, tidak mungkin dia mengatakan kepada abinya bahwa dia menangis hingga tertidur dengan posisi yang tidak nyaman.

"Jangan bohong sama Abi, Cesha. Abi tidak pernah melarang kamu untuk menangis, tapi jangan larut dalam kesedihan."

"Maaf, Abi." Rama tersenyum menenangkan, bukan hanya Cesha yang masih sedih, tetapi dirinya juga. Sama halnya dengan Cesha, begitu juga Rama, mereka sama-sama menyembunyikan kesedihan mereka agar orang yang disayangi tidak merasa khawatir.

"Udah-udah, masih pagi. Kamu jangan sedih terus, ya. Sekarang sarapan, udah Abi bikinin roti bakar kesukaan kamu." Cesha terkekeh sambil menahan cairan asin yang ingin keluar dari matanya.

Memang, Rama tidak ingin ada pelayan tinggal di rumah ini, dirinya kini duda dan takutnya akan menimbulkan fitnah. Lebih baik jika dirinya saja yang menyiapkan sarapan untuk putrinya lalu pelayan akan datang di siang hari untuk membersihkan kediamannya ini.

"Makasih, Abi." Cesha duduk di Kursi lalu berdo'a sebelum menyantap sarapan yang disiapkan abinya, biasanya ketika Cesha sedang liburan maka uminya yang akan masak atau ... sudah cukup, jangan ingat-ingat lagi.

Cesha memakan roti bakarnya dengan lahap, memang roti bakar merupakan salah satu makanan kesukaannya. Setelah roti itu habis, Cesha langsung menyambar segelas susu coklat dan menghabiskannya dalam sekali teguk membuat Rama menggeleng pelan. Meskipun dulunya Cesha sekolah di pesantren, jika dihadapan orang tuanya maka Cesha tetap seperti ini.

"Udah? Yok berangkat!"

"Oke, Abi." Cesha menyandang tasnya yang berwarna hijau muda kemudian merapikan jilbabnya yang agak berantakan.

Anak dan ayah itu berjalan beriringan menuju mobil, Cesha membuka pintu lalu duduk anteng di sebelah abinya. Supir langsung menjalankan mobil tersebut ke tujuan utama mereka, yaitu sekolah baru Cesha. SMA Normezza.

"Abi, Cesha gugup." Rama tertawa mendengar ucapan anaknya ini, wajar saja, namanya juga baru pindah.

"Insya Allah, tidak akan terjadi apapun yang akan membuat Cesha tidak nyaman." Rama mencoba menenangkan sang buah hati.

"Kalau teman-temannya nggak nerima Cesha, gimana?" tanya Cesha lagi.

"Teman-teman kamu baik, nggak jahat sayang."

"Aamiin." Setelah itu hening beberapa saat hingga Cesha bertanya lagi.

"Kalau mereka jahat gimana, Abi?"

"Istighfar, Cesha. Jangan su'udzon, dosa," tegur Rama.

"Astagfirullah, Cesha khilaf Abi."

"Jangan keseringan, Cesha."

"Iya, Abi."

Setelah sampai di depan gerbang yang lumayan tinggi, Cesha keluar dari mobil diikuti Rama.

"Ayo! Ngapain bengong?" Cesha mengikuti abinya masuk ke dalam sekolah ini. Ya, sekolah ini bagus, gedungnya berdiri dengan kokoh dan juga suasananya nyaman. Semoga saja Cesha betah di sini.

"Nanti Cesha pulangnya gimana?" tanya Cesha kebingungan, maklum saja, ketika SD gadis itu dijemput oleh uminya, sedangkan ketika pesantren tidak dijemput oleh siapapun. Kini, uminya sudah tiada.

"Nanti abi jemput, besok abi carikan supir perempuan," jawab Rama membuat Cesha lega, bukan dirinya sok suci, tetapi dia tidak terbiasa jika tidak bersama keluarganya.

"Terimakasih, Abi."

"Kenapa bilang terimakasih? Udah tugas Abi, sayang." Cesha merasa sangat bahagia terlahir sebagai putri dari Abi dan juga Uminya, kehidupan mereka penuh kebahagiaan meskipun sekarang ada badai besar yang menggoyahkan kebahagiaan itu, tetapi Cesha yakin bahwa badai ini akan segera berlalu, uminya pasti tidak suka jika mereka berlarut-larut dalam kesedihan.

"Cesha beruntung." Rama mengusap kepala Cesha yang dibalut oleh jilbab, seperti Cesha yang merasa beruntung menjadi anaknya, maka begitu pula Rama, dia merasa beruntung karena memiliki anak seperti Cesha.

🍀🍀🍀

CESHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang