08

18 3 0
                                    

"Jauhi, Fira. Kami mau jadi teman, lo."

Cesha masih memikirkan kata-kata yang diucapkan salah satu teman sekelasnya tadi, meskipun mencoba untuk tidak memperdulikan ucapan itu, tetapi Cesha tetap masih kepikiran. Dirinya takut karena sudah salah mencari teman, penampilan Fira yang baik-baik saja membuat Cesha tanpa ragu berteman dengannya.

"Gue perhatiin, lo berubah jadi pendiam. Gue ada salah?" Cesha menggeleng sambil tersenyum, mencoba untuk terlihat biasa saja meskipun ada rasa takut di hatinya.

"Ah, masa sih? Atau ... ada yang ngomongin gue tadi? Ada yang ngejelek-jelekin gue? Siapa?" ucap Fira dengan sentakan di akhir kalimat dan hal itu sukses membuat Cesha terkejut.

Apa Fira memang tidak sebaik kelihatannya? Cesha mulai percaya dengan ucapan salah satu temannya tadi.

"Nggak gitu, Fira. Aku cuma—"

"Ah udahlah, kalau lo percaya gitu aja sama mereka, berarti lo bukan teman yang baik untuk gue. Pergi aja lo sama mereka, toh gue udah terbiasa sendiri." Cesha merasa bersalah mendengar itu, kemudian setelah mengumpulkan keberaniannya, gadis yang memakai jilbab itu menyentuh lengan Fira pelan.

"Fira, aku cuma kaget," ucap Cesha dengan ragu, sepertinya Fira sudah tau kalau ada yang membicarakan dirinya tadi, jadi hal itu tidak perlu ditutupi lagi.

"Sekarang gue tanya, apa lo ragu sama gue?" Kebungkaman Cesha sudah membuat Fira mengerti.

"Yaudah, gue nggak masalah. Kalau gitu ... gue pulang duluan." Setelah mengucapkan itu, Fira memasuki lift dan membuat Cesha menyesal. Siapa yang harus dia percaya?

"Hai, lo belum pulang?" Cesha menoleh, ternyata Afran, yang sempat mencegat dirinya dan Fira kemarin.

"Belum, Kak." Afran menyandarkan tubuhnya di dinding sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Fira ninggalin, lo? Tega amat tuh orang."

"Bukan gitu, Kak," bantah Cesha karena merasa tidak suka jika Fira dijelek-jelekin.

Afran terkekeh kemudian menegakkan tubuhnya.

"Gue tau, lo murid baru jadi nggak tau tentang rumor yang beredar," tutur Afran.

"Rumor apa, Kak?"

"Belum saatnya lo tau, udah ya gue pergi dulu, bye." Afran meninggalkan Cesha ketika gadis itu ingin kembali bertanya.

Cesha menatap kepergian Afran sampai tubuh pria itu tidak terlihat lagi, setelah itu barulah Cesha menuju lift karena Ashima sudah menelfonnya terus-menerus.

"Lama amat, lo," ucap Ashima ketika Cesha sudah masuk ke dalam mobil, daritadi gadis cantik itu terus saja mengomel karena gadis yang dijemputnya ini lama sekali muncul, padahal bel sudah berbunyi cukup lama.

"Maaf, Kak. Tadi nunggu sepi dulu, kakak udah lama, ya?" Ashima mengangguk sambil menghidupkan mesin mobil. Tidak berniat ingin membalas ucapan Cesha karena sudah mengerti maksud gadis itu.

"Oh, iya. Gue baru sadar, lo sekelas sama adek gue, kan? Berarti sekelas dengan Firanda, jauhi dia." Cesha langsung menoleh ke arah Ashima. Lagi? Kenapa hari ini orang-orang selalu menyuruhnya untuk menjauhi Fira?

"Kenapa emangnya, Kak? Fira sekarang jadi teman aku," ucap Cesha dengan polos.

"what? Lo jangan ngada-ngada deh," ucap Ashima dengan kesal, kenapa gadis yang berada di sampingnya ini begitu lugu?

"Emangnya kenapa, Kak? Tadi teman sekelas aku ada juga yang bilang gitu." Ashima menghela nafas pelan sebelum berbicara.

"Fira itu sadis." Cesha mengernyit sambil tersenyum geli, jadi itu alasannya.

"Kenapa lo senyum? Senang punya teman yang sadis?" cibir Ashima karena kesal melihat senyuman Cesha.

"Bukan gitu, Kak. Kalau aku nggak gangguin Fira, dia nggak akan jahat ke aku, iya kan?"

"Cesha, setiap orang itu berbeda. Memang ada yang bilang, apa yang kita lakukan pada orang lain maka akan kembali ke kita, gue nggak nyalahin pendapat itu. Tapi gue ... juga nggak membenarkannya, setiap orang punya pikiran sendiri." Ashima mencuri pandang ke sebelahnya kemudian kembali menatap jalanan.

"Aku kan nggak ngapa-ngapain, jadi meskipun Fira itu sadis juga nggak akan mempengaruhi aku." Ashima menggeleng, antara gemas dan juga tidak percaya dengan ucapan Cesha. Pikiran gadis ini sangat lurus.

"Jangan ngebantah, lakuin aja apa yang gue bilang. Itu untuk kebaikan lo."

"Tapi, Kak. Katanya kakak pernah nginap di rumah Fira, nggak takut?" balas Cesha.

"Tau darimana, lo? Ikutan gosip, ya?" Bukannya menjawab tetapi Ashima malah menuduhnya.

"Fira nggak sengaja bilang." Ashima mengangguk.

"Gue memang pernah nginap di rumah Fira, karena kakaknya itu teman gue. Justru karena itu, gue tau Fira. Dia benar-benar sadis, Cesh."

"Emang dia ngapain?"

"Ah, udahlah. Nggak usah dibahas, udah terjadi juga, tapi untuk selanjutnya lo jauhi dia," tutur Ashima, lebih baik dia mengalihkan pembicaraan daripada Cesha terus saja bertanya.

"Tapi, kakak yang mulai duluan," bantah Cesha.

"Karena itu untuk kebaikan, lo. Pokoknya lo harus lakuin apa yang gue bilang tadi."

Cesha tidak menjawab ataupun merespon, karena menurutnya Fira tidak sejahat itu. Walaupun Fira memang tidak sebaik yang dia pikirkan, itu bukan urusannya, bukan? Dia hanya berteman, tidak terlalu dekat untuk mengetahui banyak hal tentang satu sama lain.

Apapun yang dilakukan Fira, itu adalah hak dan juga urusannya.

"Cesha, jangan ngelamun. Handphone lo bunyi daritadi," tegur Ashima kemudian keluar dari mobil, mereka memang sudah sampai di kediaman keluarga Cesha.

"Iya, Kak. Kakak duluan, aja." Ashima mengangkat jempolnya untuk merespon Cesha yang sudah menjawab panggilan dari Abinya.

"Assalamu'alaikum, Abi," ucap Cesha dengan riang sambil berjalan ke arah ayunan yang berada di depan rumahnya. Cesha sudah melupakan masalah tentang Fira karena berbicara dengan Abinya. Orang yang sangat dia sayangi.

CESHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang