23

12 2 0
                                    

"Udah tenang? Kalau udah, ayo cerita," pinta Fajar ketika raut wajah Cesha sudah tidak tegang, adik sepupunya itu sudah lebih rileks.

"Cesha ... Cesha punya perasaan ke Aziz," ucap Cesha pelan, seakan itu adalah kata terlarang yang tidak boleh diucapkan oleh mulutnya.

Fajar mengangguk paham, wajar saja jika Cesha ragu mengatakannya, adik sepupunya itu tidak akan bisa mengatakan perasaannya secara langsung, apalagi tentang seorang pria. Cesha jarang berinteraksi dengan lawan jenis yang bukan keluarganya, mungkin karena itu dia merasa tidak nyaman.

"Abang ngerti, wajar jika kamu punya perasaan kayak gitu. Asal jangan salah langkah, Dek. Jangan pacaran, oke?"

Cesha mengangguk, rasanya lebih lega ketika dia sudah membagi isi hatinya.

"Gimana cara kamu menghadapinya? Kamu mandangin dia diam-diam?" tanya Fajar dengan maksud bercanda.

Cesha mengernyit lalu menggeleng, ia tidak pernah melakukan itu. Bahkan dia berusaha untuk tidak menatap Aziz, bahkan bicara dengannya, tetapi di saat-saat tertentu, bicara tidak bisa dihindarkan. Apalagi tentang Ashima, tentu dia harus membahasnya dengan Aziz yang merupakan adiknya Shima.

"Cesha nggak gitu, kok. Abang jangan gitu, deh." Cesha tau itu hanya candaan, tetapi rasanya aneh.

Fajar tersenyum lalu mengangguk, mendengar cerita Cesha membuatnya sadar jika adik sepupunya itu sudah besar, tidak sekecil dulu, Cesha yang dulunya sering ia buat menangis kini sudah bisa merasakan sebuah perasaan ke lawan jenis. Tidak butuh waktu lama lagi hingga Cesha akan semakin jauh darinya, hanya beberapa tahun lagi.

"Abang yakin kamu bisa menyikapinya dengan baik, masalah Aziz clear, kan?"

Cesha mengangguk, kini ia harus membahas Fira.

"Fira nggak bersalah, kenapa kamu ragu untuk temenan sama dia?" Yang membuat Fajar bingung adalah, Fira tidak bersalah lalu kenapa Cesha harus ragu? Apa adiknya termakan omongan orang-orang?

"Cesha bukannya ragu, Cesha cuma risih karena orang-orang suka nyuruh Cesha jauhin Fira." Itu benar, masalah sebenarnya bukanlah Fira, tetapi orang-orang yang memintanya untuk menjauh, Fira adalah teman pertamanya, bagaimana bisa Cesha menjauhinya hanya karena permintaan teman-temannya yang lain? Tetapi jika didesak, Cesha juga merasa risih.

"Kenapa orang-orang harus mempengaruhi pola pikir kamu? Secara tidak langsung, apa yang orang lain katakan, itu mempengaruhi pikiran kamu, makanya kamu seperti ini. Kalau memang kamu risih, kamu bisa kasih tau mereka baik-baik. Bilang ke mereka, kalau kama nggak mau menjauhi teman kamu hanya karena ucapan yang bahkan tidak benar, seharusnya kamu yang merubah pola pikir mereka, buat mereka tidak lagi mengejek teman kamu itu."

Ucapan Fajar ada benarnya, seharusnya di sini Cesha yang membuat teman-temannya tidak lagi memandang Fira dengan rendah.

"Emangnya kamu nggak kasihan sama Fira? Dia tidak dianggap sebagai teman, saat dia punya teman baru, temannya itu justru dihasut dan hampir terhasut."

Cesha tidak bisa membalas ucapan Fajar, karena itu memang benar. Fira pasti kecewa padanya, itu pasti.

"Teman kamu yang ada di dalam rumah itu, Fira?" tanya Fajar ketika teringat alasan mereka bicara di luar rumah.

"Iya."

Sebuah mobil yang masuk ke pekarangan mengalihkan perhatian Cesha dan Fajar. Itu Rama.

"Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam, Abi."

Rama duduk di sebelah Fajar lalu menepuk pundak keponakannya itu dua kali, sudah cukup lama ia tidak bertemu dengan Fajar.

"Sudah lama?" tanya Rama.

"Lumayan, Bi. Abi tumben cepat pulang."

"Mau lihat keadaan Cesha, kamu baik-baik aja, kan?" Kali ini Rama beralih ke anak tunggalnya yang hanya memperhatikan interaksi mereka.

"Baik-baik aja, Bi. Memangnya Cesha kenapa?"

Rama hanya khawatir terjadi sesuatu dengan anaknya, meskipun kekhawatirannya itu tanpa alasan.

"Nggak apa-apa, Abi cuma mau lihat kamu," jawab Rama.

Cesha pindah ke sebelah Rama lalu memeluk tubuh sang ayah, takut kehilangan, itulah yang Cesha rasakan. Jika Rama pergi, entah bagaimana cara Cesha untuk kembali melanjutkan hidupnya nanti. Pasti sangat sulit.

Fajar hanya diam, ia tau kedua orang di sebelahnya itu masih berduka dan takut kehilangan. Meskipun selama ini mereka berusaha untuk kelihatan baik-baik saja agar tidak menimbulkan kekhawatiran.

"Teman kamu masih di sini?" tanya Rama ketika Cesha sudah menarik dirinya.

"Masih, Bi," jawab Cesha seraya merapikan jilbabnya yang sedikit miring.

"Teman kamu masih ada, tapi kamu malah di luar. Nggak boleh gitu, Cesha," peringat Rama.

Cesha meringis, benar sih. Tapi kan, dia harus bicara dengan Fajar. Tadi juga dia sudah pamit kepada Fira.

"Masih ada yang mau kamu bicarakan sama Fajar?" Jelas sekali jika Rama memintanya untuk segera menemui Fira, memang tidak ada lagi yang ingin ia bicarakan, tetapi Cesha belum bilang ke Fajar agar tidak memberitahu hal itu kepada siapapun. Meskipun Cesha yakin jika Fajar tidak suka membocorkan rahasia, tetapi sepupunya itu pasti jujur jika Rama bertanya.

"Enggak ada, Bi," jawab Cesha tetapi masih melihat Fajar, berharap jika sepupunya itu mengerti arti pandangannya.

"Ayo, temuin teman kamu itu," titah Rama tak terbantahkan.

Cesha menatap Fajar penuh harap, harus bagaimana dia memberi kode agar Fajar diam. Cesha tidak menemukan ide, lalu dia meletakkan jari telunjuknya di bibir. Seakan mengerti, Fajar mengangguk sekali. Mengisyaratkan ia tidak akan mengatakan apa yang mereka bicarakan tadi. Cesha lega. Tentu saja.

"Cesha masuk dulu, Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam."

🍀🍀🍀

CESHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang