THIRTY THREE

4.5K 206 4
                                    

Jangan lupa meninggalkan jejak berupa vote atau komen!!

AUTHOR POV

Terhitung dua minggu sudah Dylan berada di Indonesia. Selama di Indonesia, ia hanya pergi ke mansion Papanya dan rumah sakit.

Pria itu lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah sakit ketimbang di mansion. Ia akan pulang ke mansion jika bukan giliran dirinya yang menjaga.

"Mama kapan pulang sih?" tanya Lesya sambil menengok ke arah Dylan.

Perlahan demi perlahan leher Lesya sudah mudah digerakkan. Tidak perlu terapi kata dokter berbeda dengan kakinya yang harus menjalani terapi.

"Mama! Kondisi Mama belum sepenuhnya pulih!" kesal Dylan menatap Lesya yang keras kepala.

"Mama sudah sembuh Dylan! Leher Mama udah bisa ge—akkhh!" pekiknya ketika dengan santainya menggerakkan lehernya ke kanan dan ke kiri.

Dylan yang melihatnya memutar bola matanya dengan malas, ia membantu Lesya untuk kembali berbaring. "Mama dikasih tau batu banget sih! Jadi gini 'kan? Sok-sok an bilang udah sembuh! Lagian Mama gerakannya cepet banget!" omelnya dan Lesya malah tersenyum mendengarnya.

Ia senang dengan Dylan yang berbeda dengan Dylan beberapa tahun yang lalu.

Dylan yang selalu menunjukkan sikap dingin dan tidak pedulinya.

"Mama senang sama kamu yang sekarang!" ucapnya tetap dengan senyuman.

Dylan yang mendengar penuturan Mamanya pun diam, ia kembali ke posisi awalnya.

"Apa yang buat kamu jadi berubah? Gak biasanya kamu begini? Dulu Mama jatuh dari tangga, kamu tetap mau pergi ke Washington," Lesya menatap wajah Dylan.

"Ya, maaf Ma!" ucap Dylan sambil meringis melihat Lesya yang menatapnya datar. "Lagian waktu itu perusahaan di sana lagi bermasalah, Ma!" lanjutnya.

Lesya yang mendengarnya memutar bola matanya dengan malas.

Perusahaan yang diberikan Dylan adalah perusahaan pusat dan cabang milih Vian yang berada di Washington dan Bandung. Hanya dua perusahaan yang Vian berikan, mengingat perbuatan Dylan.

Dan Dylan sangat bersyukur orang tuanya memberikan perusahaan padanya. Walaupun hanya dua.

Padahal awalnya, ia tidak akan diberikan apa-apa. Kalau untuk atm, mobil, dan barang lainnya sudah semua Vian ambil. Atm atas nama Dylan Arkanza sudah ia tutup, biarkan Dylan sendiri yang membuat atm pribadinya.

Mobil juga sudah Vian jual dan barang Dylan yang berharga sudah ia berikan pada tunawisma.

"Sudahlah, lupakan!" ujar Lesya lagi sambil tersenyum.

"Mama mau tau, Dylan berubah karna apa?" pernyataan Dylan membuat Lesya mengerutkan keningnya, ia diam lantaran bingung dengan maksud anak lelakinya ini.

"Mama cepat sembuh! Biar cepat ketemu sama orang yang buat Dylan berubah!" ucap Dylan lagi yang tersenyum lebar dan Lesya mengangguk paham.

"Siapa orangnya?" tanyanya menatap Dylan yang berhenti tersenyum.

"Kalau Mama mau tau, harus cepet sembuh!" seru Dylan dan Lesya hanya bisa bersabar dengan sikap Dylan yang satu ini. Ia suka sekali membuat orang penasaran dengan penuh teka-teki.

"Ya udah, tapi siapa pun orangnya. Mama bersyukur, dia bisa buat kamu berubah seperti dulu!" Lesya menatap Dylan dengan senyuman dan Dylan yang mendengar penuturan Mamanya hanya bisa mengangguk.

#####

"Kamu kenapa kok murung gitu?" tanya Lesya heran melihat Dylan yang sedari tadi melihat ponselnya, bukan sekali dua kali ia melihat Dylan yang selalu memperhatikan ponsel. Kelihatan sekali ia sedang menunggu sesuatu.

"Eh g-gak, Ma! Mama duduk aja! Biar Dylan kemasin barangnya!" ujar Dylan melihat Lesya yang malah memasukkan barangnya ke dalam koper.

Setelah siang tadi berbincang dengan dokter yang menangani Lesya, sore harinya dokter sudah memperbolehkan Lesya untuk pulang. Tetapi, ia harus selalu terapi. Minimal dua kali seminggu.

"Udah biar Mama aja!" decak Lesya melihat Dylan yang kembali melihat ponselnya.

"Biar Dylan aja, Ma!" sergah Dylan yang menyimpan ponselnya di saku celana jeans nya.

"Kamu liatin apa sih? Hp mulu! Kaya nungguin chat siapa aja," sungut Lesya membuat Dylan terdiam.

Apa sangat kelihatan dirinya sedang menunggu pesan seseorang?

Memang benar, ia menunggu pesan seseorang.

Selama dua minggu ini, ia tidak pernah mendapatkan pesan dari Yera. Selalu bercentang satu yang berwarna abu-abu.

Huftt!

Dylan hanya bisa menunggu di sini melalui pesan, ia tidak bisa sesuka hatinya seperti di Washington pergi begitu saja ke mansion Yera hanya menggunakan mobil.

Dan lagi, dirinya di sini sibuk dengan kesembuhan kedua orang tuanya.

Untung saja minggu lalu Vian sudah pulang, jadi bebannya berkurang satu.

Bukan maksud kedua orang tuanya pengganggu atau apa.

Ia hanya fokus dengan kesembuhan keduanya, agar dirinya bisa segera pulang kembali ke Washington. Dirinya mau masalahnya dengan Yera cepat selesai dan setelah itu ia akan membawa Yera beserta anak mereka ke hadapan keluarga besarnya.

Itu yang Dylan harapkan.

"Sudah selesai!" ucapnya setelah memasukkan semua barang-barang Lesya. "Johan sudah ke sini!" sambung Dylan lagi melihat sebentar ke arah pintu ruangan inap yang dibuka sedikit.

Dylan lalu mengambil kursi roda yang sudah disediakan suster tadi saat melepas infus Lesya.

Lesya hanya mengangguk, ia menatap ke arah brankar Vian yang sudah dari beberapa hari yang lalu tidak terisi.

Terhitung seminggu Vian berada di mansion nya. Ia sudah bisa dipulangkan, karena kondisinya yang semakin hari semakin membaik.

Bahkan sekarang, ia sudah kembali bekerja di perusahaannya. Dan saat Dylan menelponnya untuk mengatakan jika Lesya sudah bisa pulang, ia sedang mengendarai mobilnya menuju ke rumah sakit.

Vian sudah menebak bahwa Lesya akan pulang hari ini, ia sudah berbicara dengan dokter Disa, dokter yang menangani Lesya selama di rumah sakit.

#####

Damian berlari ke arah Kean yang sedari tadi menunggunya di ruangan rapatnya.

"Lama banget lo, Dam!" gerutu Kean melihat Damian yang mengatur napasnya, ia kemudian duduk di sebelahnya.

"Enak banget lo ngomong! Gue ngurusin anak ye! Bini gue lagi gak enak badan! Gara-gara gue ngurusin nih tugas, gue ampe lupain anak ama bini gue," ujar Damian dan Kean hanya diam, ia malas menanggapi perkataan Damian.

"Mana?" tanya Kean langsung sambil menatap Damian yang sibuk membuka tasnya.

"Bentar ngapa sih lo, Yan!" decak Damian melihat Kean yang terlihat sangat tidak sabaran.

Damian terdiam beberapa saat setelah melihat isi tasnya.

"Kenapa?" tanya Kean melihat perubahan raut wajah Damian.

"Gak ada kayanya, Yan!" ucap Damian gugup membuat Kean menatapnya tajam dengan wajah datarnya.

#####

Jangan lupa vote!!

Really Hate! [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang