Part 36 - Predators

312 53 4
                                    

Thea mencoba bersantai dalam perjalanan ini. Punggungnya bersandar dengan nyaman pada kursi jet mewah yang dulu sekali pernah dinaikinya. Karena, ini akan menjadi perjalanan pulang yang sangat panjang dan juga melelahkan. Jika dia melaluinya dengan stress dan kepala penuh, maka perjalanan ini akan sepuluh kali lipat melelahkan. Bahkan dia akan merasa lebih lelah daripada sang pilot di depan sana.

"Anda ingin minum sesuatu?" tanya seorang kru pria kepadanya. Sepertinya, semua orang disini adalah pria, kecuali dirinya.

Tsk, ayahnya tahu benar kekuatan sang puteri bontot keluarga yang selalu mencari masalah dengan preman sekolah.

"Tidak," jawabnya tanpa melirik. Dia tidak akan menelan apapun yang mereka sodorkan. Pasti sudah dicampur dengan obat bius untuk membuatnya lebih kooperatif.

Astaga! kurang kooperatif apa dia saat ini, hah?!

Sudah 3 jam sejak lepas landas dari bandara Heathrow. Alvar pasti sudah menemukan Daniel, kan? Thea sangat ingat bagaimana raut ketakutan anaknya itu ketika mereka dikepung oleh orang-orang sialan ini.

Thea sudah menyiapkan seratus gerakan perkelahian untuk membawa mereka kabur, namun hati kecilnya mengatakan untuk tidak memberontak dan kalah saja. Ini unik. Bahkan jika itu adalah dirinya yang dulu, dia sudah menghabisi para cecunguk ini dan menerobos auditorium tempat Alvar seminar tanpa tiket, lalu malah berakhir dikepung oleh pihak security.

Sungguh, tinggal dengan Alvar membuat kepribadiannya berubah.

Karena orang-orang sialan ini pun sudah berjanji tidak akan mencelakai Daniel, maka dia menurut. Tapi kalau ucapan itu dilanggar dan dia mengetahuinya saat ini juga, maka kabin ini akan menjadi area pertempuran.

Sepertinya sikap kooperatif-nya ini adalah hasil dari pembicaraannya dengan Tiffany. Wanita itu memang sudah berjanji untuk menghandle ayah, tapi dia rasa itu berlebihan. Ini adalah masalahnya, masalah hidupnya sekaligus masa depannya. Dia akan memperjuangkan apa yang dia inginkan. Maka dari itu dia menyerah dan pasrah saja untuk pulang ke Seoul, menemui pria tua itu dan membicarakan hal ini dengan kepala dingin.

Masalah ini harus selesai. Mau bagaimanapun caranya.

Thea terbangun dari tidurnya yang cukup nyenak selama 7 jam dan jet ini masih mengudara. Kalau memang feeling-nya benar, mereka akan transit di Hongkong. Dia menyalakan ipad dan menonton film The Matrix, karena tv kecil di sebelah sana sudah dikuasai oleh para pria.

Sekitar 2 jam kemudian, kapten pilot mengumumkan kalau mereka akan transit di Hongkong selama sejam untuk mengisi bahan bakar. Akhirnya dia bisa menyelesaikan puasa 12 jamnya.

Tiga orang pria memandu di depan sedangkan tiga lainnya berjalan mengelilinginya seperti sekawanan penguin.

"Ya, kalian membawa uang, kan?" tanyanya dengan menggunakan bahasa ibu.

Mereka saling lirik kemudian mengangguk. Bagus lah, mereka yang akan membayar seluruh tagihannya. Jika tidak mau, mereka harus mengembalikan tasnya yang disita. Thea mengelilingi beberapa terminal hingga akhirnya duduk di salah satu restoran bernama Crystal Jade. Dia memesan nasi goreng ala Yangzhou, sup tahu dengan daging sapi cincang, dan es teh jeruk lemon. Ke-enam pria itu juga memesan dan memakannya dengan lahap, padahal mereka juga yang menghabiskan persediaan makanan pesawat.

Thea memesan dumpling, pudding mangga, dan coke untuk take away. Sudah dia bilang kan, dia tidak akan menelan apapun yang berasal dari dalam pesawat itu?

Kurang dari 4 jam, private jet telah mendarat di Bandara Incheon. Thea melirik arlojinya yang masih menampilkan waktu Inggris; pukul 7 pagi. Karena London 8 jam lebih lambat, maka sekarang Seoul sudah pukul 3 sore. Langitnya tampak begitu kelabu.

Best LuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang