Part 37 - Tidak menyangka

384 53 6
                                    

Alvar terbangun di kasur Daniel. Anak itu mengalami mimpi buruk namun anehnya tidak dapat dibangunkan. Bocah itu berteriak memanggil nama Thea sambil menangis dalam tidurnya. Alvar pusing, sungguh. Pusing memikirkan keadaan Daniel dan keadaan Thea disana. Benjamin lebih panik lagi karena kontraksi yang dialami Tiffany segera setelah kabar penculikan sang adik.

Semalaman suntuk Daniel menangis dan dia baru akan tenang ketika dipeluk, menyebabkan bantal, kaus Daniel dan kausnya sendiri basah kuyup. Dia menyugar rambut anaknya ke atas dan menempelkan telapak tangan ke dahi, merasakan suhu yang agak sedikit dingin. Syukurlah, tidak demam.

Jam dinding berbentuk donat itu menunjukkan pukul 7 pagi. Biasanya Thea sudah bangun dan menyiapkan sarapan untuk mereka semua. Sekarang, wanita itu sedang apa ya?

Apakah jetnya mendarat dengan selamat di Korea? Pukul berapa di Korea sekarang?

Dia membuka browser di ponsel untuk mencari jawabannya; pukul 3 sore. Kalau dikalkulasikan, sejak diculiknya Thea dan juga waktu take off maka wanita itu seharusnya sudah mendarat sekarang. Penerbangan Inggris – Korea Selatan memakan waktu sekitar 17 jam jika perjalanan mereka mengambil transit sekali, dengan S&K yang berlaku tentunya, seperti waktu transit yang hanya memakan waktu sejam.

"Daddy ..."

Alvar menjauhkan ponsel dari wajah dan menoleh. Daniel berusaha keras untuk membuka kelopak matanya yang bengkak, sementara itu ujung hidungnya memerah seperti tomat. "Selamat pagi."

"Selamat pagi juga," Alvar bangkit duduk. "Kau sudah merasa baikan?"

Daniel terdiam sebentar sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Iya."

"Sudah puas menangisnya?"

Anak itu mengangguk lagi. "Aku tidak akan menangis lagi hari ini."

"Kalau besok?"

"Tergantung."

Alvar tergelak. "Baiklah. Dad ingin ke rumah sakit siang ini, kau mau ikut?"

"Aku harus ikut. Aku ingin lihat adik bayi."



















"Aku tidak ingin mendengar kalimat umpatan darimu mulai hari ini," Benjamin berkelakar. Kedua tangannya berada di pinggang, memperjelas keberadaannya dan posisinya dalam hierarki rumah tangga. Biasanya Ben tidak pernah menekan istrinya seperti ini, namun sekarang lain cerita. Mereka sudah menjadi orangtua sepenuhnya, dan Ben tidak akan membiarkan umpatan dalam jenis apapun masuk ke gendang telinga anaknya yang suci.

Tiffany, yang masih berbaring di ranjang dan terlihat pucat namun bahagia, mendengkus. "Baiklah." Tidak janji, tambahnya dalam hati.

"Apakah itu yang kalian ributkan sedari pagi?" tanya Alvar kepada suami-istri itu sambil memperhatikan Daniel yang sibuk memandangi bayi laki-laki tampan di dalam box. "Kalau kau ingin menyentuhnya, pastikan tanganmu tidak kotor, Nak."

Daniel bergerak menuju hand sanitizer di atas meja dan memencetnya dua kali, dia menunggu tangannya kering baru menghampiri adik barunya lagi. "Kenapa dia tidak membuka matanya, Dad?"

"Anak bayi jarang membuka matanya, tugas mereka hanya tidur, makan dan buang air," jawab Alvar.

Daniel bergumam dan akhirnya memberanikan diri menyentuh pipi gembul bayi itu. "Whoa!" riangnya ketika sang bayi bereaksi terhadap sentuhannya. "Dia sangat lucu. Aku tidak sabar ingin bermain lego dengannya."

Tiffany tersenyum. "Tunggu hingga adik bayi besar sedikit, baru kalian bisa bermain."

"Apa itu sakit, Aunty Tiff?"

Best LuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang