Sorry gengs, gue kena writtersblock. Jadi late post.
2/7/16
Huzaini.
____________________________________________
Pria itu sedang menutup pintu sementara aku melihat interior rumah. Dari luar, rumah ini tampak sangat besar dengan pagar yang membumbung tinggi ke langit—oke, ini sangat hiperbolis. Tapi memang itulah yang kulihat. Katakan saja kalau aku tidak bisa merangkai kata-kata yang benar.
Tapi aku tidak menyangka kalau di dalamnya bisa lebih luas lagi. Rumah ini memiliki 3 lantai. Itulah yang dapat kusimpulkan ketika memasuki halaman rumahnya.
"Selamat datang di rumah kami." Kata pria itu, membuyarkan lamunanku.
"Ini bagus." Gumamku disertai senyuman kecil.
Alvar tersenyum juga. "Duduklah di ruang tengah, akan ku buatkan minuman sebentar."
Mulutku hendak membuka untuk menanyakan keberadaan para pekerja rumah tangga yang dia punya, kenapa dia membuatnya sendiri? tapi niat itu segera sirna karena Alvar langsung melegang ke dapur.
Aku mengangkat bahu sekilas dan berjalan menuju ruang tengah tanpa tersesat. Oh ayolah, maksudku, ini bukan kali pertama aku memasuki rumah yang besar—sangat besar. Rumah di Korea juga sama luasnya dengan ini. Ow, maaf, mungkin lebih luas lagi.
Aku tidak mengerti kenapa ayah membuat rumah sebesar itu. Maksudnya—untuk apa? Apa dia berniat untuk mengundang seluruh orang untuk menetap disana? Pemikiranku belum sampai untuk yang satu ini.
Jangan bawa-bawa masalah art dan sebangsanya! Itu membuatku pusing.
Banyak sekali para jutawan atau milyarder yang memiliki rumah besar hanya untuk diisi barang-barang tidak berguna seperti lukisan dan guci-guci antic. Kalian boleh saja menjudge ku tidak memiliki rasa seni tinggi atau apalah itu, tapi memang nyatanya barang-barang itu sama sekali tidak berguna dan berfungsi sebagai pemungut debu.
Hanya tinggal letakkan saja di pojokkan atau tempel di manapun dan dalam seminggu, benda itu akan menjadi sarang laba-laba.
Akan lebih baik jika satu ruangan besar diisi dengan perlengkapan olah raga. Nah! Ini baru aku sekali!
Tapi rumah Alvar tidak begitu memiliki banyak perabotan yang memerlukan perhatian khusus sejauh aku amati. Masih banyak ruang-ruang kosong yang dibiarkan begitu saja. Membuat ruangan ini tampak luas dan bersih.
Tak lama setelah aku duduk diam tanpa melakukan apapun—bukan seperti aku yang biasanya—Alvar datang dengan nampan berisi 2 cangkir teh aroma melati.
"Aku tak tahu apa kesukaanmu, tapi ini tak masalah bukan?" tanyanya sambil menaruh cangkir mendekat kepadaku.
Aku menggeleng cepat. "Oh tidak. Aku suka teh. Apapun rasanya."
"Kalau begitu, silahkan diminum!"
Aku mengangguk dan meraih cangkir. Hangat, tidak begitu panas. Karena factor lelah dan haus sehabis berlarian, aku langsung menghabiskannya dalam sekali tegukan tanpa merasa terbakar di bagian tenggorokan dan lidahku. Membuat Alvar menatapku heran.
"Kau menyiksa lidahmu."
"Sudah terbiasa."
Untung Alvar tidak menanyakan mengapa table manner ku jelek sekali. Well, aku tidak bisa menjelaskannya secara gamblang untuk yang satu itu. Waktu umurku 11, ayah menyiksaku dengan cara melemparkanku ke tempat les khusus pembentukan manner. Dan tebakanmu benar kalau aku hanya bertahan sekitar 2 minggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Luck
FanfictionSamantha Avery Lucan atau Thea merasa sial karena diumurnya yang ke 19, dia harus menikah dengan om-om yang sudah mempunyai 2 istri. Dia melakukan segala cara termasuk dengan memotong rambutnya menjadi sangat pendek agar om-om tengil itu berubah pik...