Aku menarik nafas berat.
Daniel sudah berganti pakaian dengan yang lebih bersih, dan tentu saja aku yang menggantikannya. Ternyata beberapa kebutuhan balitanya ada di bagian bawah kereta dorong itu.
Termasuk baju, cemilan dan popok.
Aku sendiri sudah berpakaian rapih dengan jeans dan kemeja hitam yang kugulung sampai siku.
Daniel melihatku seperti seorang bos yang hendak merekrut karyawan baru. Tatapannya sangat dalam dan intens. Menilai dan seperti menggambarkan sosok ku di otaknya untuk diingat seumur hidup.
Sesungguhnya ini membuatku tidak nyaman.
"Ya Tuhan," kataku mencoba menguatkan diri.
Sekarat katanya? Ini sudah 3 jam setelah aku membaca surat itu. Apa benar dia tidak bisa bertahan?
Aku kurang percaya. Badass sepertinya tidak mungkin mati begitu saja, bukan?
Dia hanya mencoba menakut-nakutiku seperti saat remaja dulu. Ya aku yakin.
Tapi degup jantungku kian cepat, seperti mengatakan ketidaksetujuannya.
Setelah membaca surat itu, aku tidak langsung panic dan lari pontang-panting ke rumah sakit. Aku diam dan mencoba menata emosiku yang labil. Sesekali melirik kalender untuk memastikan kalau hari ini bukan tanggal 1 April.
Jika benar ini hanya April mop, maka aku akan menonjok siapapun yang berani mengganggu persiapan mid test seorang Alvar Jerico.
Tapi nyatanya sekarang tanggal 10 Agustus.
Aku bergerak dan duduk menghadap Daniel yang berada di tengah kasur. "Mari sama-sama berjanji untuk tidak menangis setelah mengetahui keadaan Papa mu!"
Mata jenaka dan polosnya hanya mengedip beberapa kali. Oke, kuanggap itu sebagai tanda setuju.
Aku meraih lengan kecil itu dan menggendongnya. Daniel mengemut dot yang tadi kuberikan untuk membuatnya diam selama aku berganti pakaian. Kini lengannya yang kecil memeluk erat leherku, seperti tahu bahwa tempat yang akan kami kunjungi tidak se-menyenangkan Disney Land.
Aku memungut tas ransel jansport lalu berlalu keluar rumah dengan nafas tercekat.
.
.
Daniel mengingkari janjinya.
Anak ini menangis sangat keras sampai kuyakin suaranya akan hilang jika dia tidak berhenti sekarang juga.
Kueratkan pelukanku dan mengelus rambut hingga tengkuknya dengan lembut. Aku tidak mencoba mengeluarkan sepatah katapun saat ini. Daniel akan menangis semakin kencang jika mendengar suaraku.
Sebenarnya bukan hanya dia yang melanggar janji. Aku, si pembuat janji juga mengingkarinya.
Bedanya, aku menangis dalam diam. Air mataku mengucur deras, sementara tubuhku mematung kaku disebelah peti mati Tony. Badass itu memakai jas dan tanggannya terkepal di depan dada.
Se-brengsek apapun dirinya, dia tetaplah kakak ku. Orang yang menghabiskan waktu bermain denganku sewaktu kecil. Si brengsek ini yang mengajariku mengendarai sepeda dan skateboard disaat usiaku masih 6 tahun.
Tidak ada seulas senyum dalam bibirnya yang sudah pucat. Dia benar-benar takut untuk bertemu orangtua kami dan mendapat murka Tuhan setelahnya.
Tony jelas-jelas pergi dengan perasaan cemas dan takut yang teramat sangat.
"Pa ... Pa ..." Daniel sesenggukkan di bahuku.
Seluruh perawat dan dokter yang menangani Tony merunduk semakin dalam, menyembunyikan air mata mereka. Bahkan ada yang terang-terangan menangis sambil melihat iba pada Daniel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Luck
FanfictionSamantha Avery Lucan atau Thea merasa sial karena diumurnya yang ke 19, dia harus menikah dengan om-om yang sudah mempunyai 2 istri. Dia melakukan segala cara termasuk dengan memotong rambutnya menjadi sangat pendek agar om-om tengil itu berubah pik...