Setelah mandi seperti apa yang diminta Thea, Alvar berpakaian santai dengan celana pendek dan kaus oblong lengan pendek juga. Rambutnya yang masih agak basah menjatuhkan titik-titik air, namun dia membiarkannya saja.
Kakinya melangkah menuju kamar putranya, mendorong pelan pintu yang hanya setengah tertutup itu. Daniel sedang duduk di kursi depan meja belajarnya, termenung menatap kertas kosong.
"Hai, Nak." Alvar mendekat. Menempatkan sebelah tangannya di punggung kecil itu dan sebelah tangan lain bertumpu pada meja belajar. Mencoba meneliti situasinya.
"Hai, Dad." Daniel hanya menatapnya sebentar sebelum menekuri selembar kertas kosong itu.
"Apakah Dad boleh tau apa yang membuatmu bingung?" Alvar mengusap tengkuk Daniel.
Daniel menunduk, terlihat tak yakin ingin memberitahukannya. Tapi saat melihat wajah Dad-nya yang begitu sabar menunggu, dia akhirnya mau menjawab.
"Tadi, saat Mom dan aku mencoba merangkai sebuah puisi, dan gagal, Mom berkata dia tidak pernah membuat puisi untuk ibunya. Saat ku tanya mengapa, dia menjawab karena dia sayang pada ibunya tapi dia tidak punya ibu." Jelasnya. "Mom juga tidak menyukai karya sastra."
"Lalu apa yang membuatmu bingung?"
"Aku..." gumam Daniel. "...setelah aku pikir lagi, Dad, ucapan Mom membingungkan."
Alvar mengangguk paham. "Di bagian 'dia sayang pada ibunya tapi tidak punya ibu', kan?"
Daniel mengangguk semangat. "Iya, Dad, yang itu!"
Melihat anaknya yang sebegitu frustasi dengan ucapan calon-ibunya, Alvar terkekeh pelan. "Menurutmu, apa Mom punya ibu?"
Daniel terdiam sebentar, berpikir. "Punya. Semua orang pasti punya ibu, bahkan Perry saja punya ibu." Daniel menyebutkan nama kucing temannya yang kemarin dibawa ke sekolah saat kelas 'Menyayangi Hewan' tiba.
"Tepat." Alvar berjongkok di depan Daniel setelah menyuruh anak itu untuk duduk menyerong menghadapnya. "Dengar! Ucapan Mom itu artinya dia sayang pada ibunya, namun dia sudah tidak mempunyai ibu. Bisa dibedakan?"
Dahi Daniel berkerut dalam. "Uh...apakah...maksudnya Mom dulu memiliki ibu tapi sekarang sudah tidak punya lagi?"
"Benar!" Alvar tersenyum semakin lebar. "Itulah artinya. Mom bukannya tidak mempunyai ibu. Dia punya dulu, dan mungkin sekarang sudah tidak lagi. Bagaimana bisa kita mencintai sesuatu yang benar-benar tidak ada wujudnya atau tidak kita miliki? Bagaimana bisa kita menyayangi sesuatu jika kita tidak tahu siapa orang itu bagi kita?"
Daniel terdiam, menyerap penjelasan Dadnya dengan khusyuk.
"Begini." Alvar bicara lagi setelah tiga menit tidak ada jawaban. "Kau sayang pada Paman Lee?"
Bocah tampan itu mengangguk kuat.
"Lalu, apakah kau akan sayang padanya jika kau tidak mengenalnya? Apakah kau akan sayang padanya jika tidak pernah tau Paman Lee?"
"Tentu saja tidak." Gumam Daniel. "Jadi, seperti itu ya, Dad?"
"Seperti itu." kata Alvar sambil mengelus surai Daniel yang bertambah lebat karena belum dicukur. "Sepertinya kita harus ke barber shop besok. Kau harus tampil memukau saat membaca puisi nanti."
Teringat sesuatu, Daniel melirik kertas yang masih kosong di atas mejanya. "Tapi aku belum menyelesaikan puisinya, Dad. Bagaimana ini?"
"Mau ku bantu?" tawar Alvar.
Daniel tersenyum amat lebar. "YEAY!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Luck
FanfictionSamantha Avery Lucan atau Thea merasa sial karena diumurnya yang ke 19, dia harus menikah dengan om-om yang sudah mempunyai 2 istri. Dia melakukan segala cara termasuk dengan memotong rambutnya menjadi sangat pendek agar om-om tengil itu berubah pik...