[England, August, 11th]
"Berkonsentrasilah!" suara bergaung di kepalanya langsung menghilang dan digantikan dengan dentuman keras—masih di kepalanya.
Bruk. Thea menjatuhkan diri ke kasur sempit yang mungkin hanya cukup untuk 2 orang saja. Ah dia jadi merindukan kasur king sizenya dirumah—eh, eh tidak boleh! Dia tidak akan mengingat-ingat rumah itu lagi. Ah tapi, kasur beruang teddy kesayangannya masih ada disana. Bagaimana kalau dibuang ayahnya?
Thea terduduk saat mendapatkan ide untuk menelfon Lisa agar mengamankan kasur itu. Dia merogoh kantung celana...tidak ada. Kantung hoodie...tidak ada juga.
Merasa ada yang salah, akhirnya dia memeriksa tas ranselnya juga. Dikeluarkan semua pakaiannya sehingga berserakan di atas kasur.
"Aaahhhh! Tidak ada! Dasar bodoh!"
Dia menjatuhkan diri ke kasur lagi. "Kenapa aku ini sial sekali?" jeritnya.
Sepertinya ponsel itu tertinggal di suatu sudut di kamarnya. Ya, pasti.
Dan sekarang apa? tidak ada ponsel dan uangnya juga habis. Thea hanya meminta balas jasa berupa penerbangan gratis ke Inggris, tidak sekalian dengan biaya hidup.
Dia tidak mengambil uang di bank dan juga sisa uang cash di dompetnya sudah sedikit. Hanya 1 juta Won saja. Sesampainya di bandara, Thea langsung pergi ke money changer untuk mendapatkan uang dollar.
Foila~ uangnya hanya cukup untuk biaya makan 2 hari dan menyewa kamar selama 3 malam di dekat peternakan seperti ini. Kalau di kota lebih mahal.
"Ya. Aku hanya harus focus kepada tujuanku. Mencari Tiffany," mata hazelnya berbinar, "Tapi dimana aku bisa menemuinya?" redupan itu menghilang.
"ARGH! Dimana otak cerdasmu? Kenapa jadi begini sih?" jerit Thea seraya menjambak rambutnya.
Tok tok tok.
Thea tidak bergerak dan memandang pintu dengan mata melotot. 3 detik kemudian, dia sadar dan segera memungut wignya, memakainya dengan cepat lalu bergegas membuka pintu.
Cklek. "Ya?" katanya gemetar.
Seorang kakek pemilik kamar sewa ini memandangnya heran dan sedikit menyelidik. "Aku mendengar suara jeritan wanita disekitar sini. Seperti berasal dari kamarmu."
Dengan jantung berdentum, Thea menengok ke belakang—meneliti kamarnya sendiri beberapa saat lalu kembali menatap kakek itu.
"Tidak ada. Aku juga mendengarnya tadi. Kupikir itu berasal dari luar sana."
Kakek itu sentengah tidak percaya, "Oh, baiklah."
"Anda bisa memeriksanya jika kurang yakin?!" Thea bergeser ke samping, membiarkan sang kakek itu masuk dan menggeledah kamarnya.
Dan seperti yang Thea katakan. Tidak ada siapapun diruangan itu—maksudnya tidak ada wanita. Si kakek bahkan sampai memeriksa kamar mandi dan lemari pakaian. Semuanya kosong.
"Kau benar. Tidak ada wanita disini. Maafkan saya atas kecurigaan ini. Saya hanya tidak ingin ada pasangan yang belum sah menempati kamar ini ataupun yang lain. Walaupun zaman sudah berubah, lebih bebas, tapi saya tetap menjunjung tinggi adat orang lama. Wanita tidak boleh memasuki apalagi berduaan di kamar pria, begitupula sebaliknya." Jelas si kakek panjang lebar.
Thea mengangguk hikmat. "Anda sangat benar. Rasa malu wanita jauh lebih murah sekarang. Harusnya mereka diikat di tiang, yang melakukan perzinaan."
Sang kakek tertawa. "Boleh juga, aku senang ada pemuda sepertimu yang masih memepertahankan tradisi lama."
Thea terbatuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Luck
FanfictionSamantha Avery Lucan atau Thea merasa sial karena diumurnya yang ke 19, dia harus menikah dengan om-om yang sudah mempunyai 2 istri. Dia melakukan segala cara termasuk dengan memotong rambutnya menjadi sangat pendek agar om-om tengil itu berubah pik...