"Wanita itu sangat menyebalkan, kau tahu?"
Alvar yang tengah memunggunginya di depan konter dapur mengangguk. "Memang. Aku sangat sering berinteraksi dengan mereka walaupun bukan dalam hal romansa. Di dalam pekerjaan juga wanita tetaplah wanita."
"Apa maksudmu?" Thea menerima satu mug berisi kopi hangat yang dibuat oleh pria itu tadi.
Alvar duduk di serong kanannya. Pria itu menyempatkan diri untuk menyesap satu-dua kali kopi panasnya. "Begini, ada banyak orang yang mengatakan kalau wanita memiliki sisi yang berbeda jika menyangkut hal yang professional dan formal. Itu benar, aku setuju. Mereka bisa jadi sangat berbeda. Mereka kuat, mereka mandiri, mereka tidak dapat ditentang siapapun. Tapi sisi kewanitaan kalian tetap saja tidak dapat di-cover dengan baik. Mereka tetap mengandalkan perasaan mereka. Walaupun ada yang menggunakan 50:50 antara otak dan hati, tapi salah satunya pasti ada yang diunggulkan. Dan wanita pasti mengunggulkan hati mereka. Karena memang sudah begitulah jalannya."
Thea mengangguk dan Alvar melanjutkan.
"Keputusan yang dibuat oleh otak dan kerasionalan tidak dapat berubah atau sulit untuk diubah. Rasional hanya melihat ... ya, kerasionalan. Apa yang terlihat oleh indra manusia. Tapi mengandalkan perasaan, mereka gampang berubah seiring dengan berubahnya mood. Hati gampang berubah. Mereka mengandalkan sesuatu yang tidak dapat terlihat dan tidak bisa diraba dengan kelima indra manusia. Jadi, orang-orang kadang tidak dapat memahami apapun keputusan yang dibuat oleh hati, oleh insting wanita kalian, terlebih lagi para pria."
Thea meminum kembali kopinya, mereka hening setelah itu.
Dia menghela napas panjang-panjang lalu mereka bertatapan. "Kemarin aku dapat banyak cerita dari Tiffany. Tentang bagaimana cara dia hidup disini dan bagaimana tentang kondisi rumah tangganya. Cerita yang hebat."
"Aku ingin mendengarnya."
Lalu mengalirlah cerita itu, Thea tidak menambahkan atau mengurangi apa yang Tiffany katakan kemarin. Hanya saja dia menyisipkan banyak sekali kekaguman yang nyata ditengah-tengah narasinya.
"Jadi begitu, Al," Thea meneguk kembali kopinya yang sudah agak mendingin. "Dan sekarang aku penasaran, apakah kau akan melakukan hal yang serupa jika berada di posisi kakak iparku?"
Alvar terdiam cukup lama, dia memandangi permukaan meja dengan ujung jari telunjuk yang memutari bibir mug. Ketika hitungan Thea sudah di menit ke dua, pria itu mengangkat pandangannya sambil tersenyum simpul.
"Aku tak tahu."
Jawaban yang bukan diharapkannya, namun entah mengapa dia tak marah.
"Mengapa?"
"Karena kau bukan Tiffany."
Thea tertohok.
"Kemarahan setiap orang akan berbeda. Cara pandang hidup orang akan berbeda tergantung situasi apa yang mereka hadapi setiap harinya. Penanganannya jelas butuh metode yang berbeda pula. Tapi aku jelas setuju dengan apa yang dikatakan ibumu."
Thea tersenyum sangat manis lalu menatap cairan kopinya.
"Kenapa?" tanya Alvar karena tiba-tiba melihat gadisnya berubah malu.
"Aku sedang merasakannya. Jika dilihat lagi ke belakang, aku bersyukur ada kau disana. Disetiap momen yang penuh perjuangan itu," Thea menatap lagi iris kecoklatan Alvar. "Setiap hari dan setelahnya, aku terbangun dan menutup mata dengan perasaan yang pasti karena kau ada disini."
Alvar mengusak rambut indah yang sekarang digerai dan dipasangi bandana merah marun.
"Hey," Alvar menggenggam kedua tangan gadisnya. Wanitanya. "Aku mungkin akan sangat kikuk kedepannya. Aku tidak pernah berurusan dengan banyak wanita dalam hidupku. Aku kurang pengalaman dibandingkan pria di luaran sana. Aku lebih pengalaman memegang cadaver daripada wanita. Tapi izinkan aku untuk belajar memahamimu lebih dalam dengan benar, karena waktu setahun – dua tahun saja tidak akan cukup. Bantu aku memahamimu ketika kau marah atau sedih, bantu aku untuk memahamimu lebih banyak. Aku jelas akan membutuhkan waktu seumur hidup untuk melakukannya. Jadi, tolong kerjasamanya."
Thea menjawabnya dengan anggukan pasti dan genggaman tangan yang erat.
Thea sedang menyiapkan pakaian Alvar untuk digunakan ke acara seminar nanti siang. Kemeja biru dongker, dasi hitam dan celana bahan yang berwarna senada. Pria itu bilang ingin memakai sesuatu yang kalem dan tidak heboh. Biru dongker jelas tidak heboh dan maskulin, entah kalem atau tidak. Tergantung dari orang yang memakai sih.
Alvar jelas hot dan warna biru dongker akan membuatnya semakin extremely hot.
Suara percikan air di kamar mandi berhenti dan tak lama seorang pria keluar dari sana dengan handuk yang melilit tubuh bawahnya. Alvar berjalan menuju sisi tempat tidur dimana pakaiannya berada sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.
"Kau mau ikut?"
"Tidak," jawab Thea cepat. "Melihatmu dikerumuni para mahasiswi yang mencoba melemparkan dirinya padamu? Jelas tidak. Aku tidak mau diangkut polisi atas tindak kekerasan."
Alvar tertawa. "Ow, kau cemburu."
"Apa kau harus memperjelas itu?" gerutunya. "Kau seharusnya tahu bagaimana tabiat asliku, Al. Kombinasi Thea dan cemburu jelas akan merugikan siapapun juga. Aku sedang menolongmu saat ini."
"Dan menolong dirimu sendiri," tambah Alvar sambil memakai brief. "Terimakasih atas perhatiannya, sayang."
"Sama-sama."
"Lalu apa yang akan kau lakukan hari ini?"
"Danny meminta dibawa ke acara Science Week Festival di kampus sebelah tempatmu seminar."
"Kalian akan bersenang-senang tanpaku?"
"Tentu saja," Thea tersenyum lebar. "Kau bisa menyusul jika sudah selesai. Tapi tidak kusarankan, kau harus kembali bekerja."
Thea membantu Alvar memasang dasinya. Pria itu hanya diam melihatnya bekerja, saat Alvar akan menciumnya sebagai ucapan terimakasih, Daniel datang dengan membawa tas ransel mini miliknya yang berbentuk kepala gajah. Alvar langsung mengarahkan bibirnya ke pipi kanan Thea. Tentu saja anaknya tidak boleh melihat adegan PDA sebelum memasuki usia 15 tahun.
"Kapan kita akan berangkat, Mom?"
"Nah'uh, masih lama, sayang. Sebaiknya kau bantu Dad-mu berkemas."
Daniel mematuhi perintah ibunya dan membantu sang ayah membawa jas. Alvar hanya bisa tertawa karena anak itu menyeret jasnya di lantai karena ukurannya yang besar. Mereka menuju ruang makan untuk sarapan.
Daniel memberikan jas sang ayah ke pemiliknya ketika mereka mencapai ruang makan.
"Terimakasih, anak pintar," Alvar mengusak rambut anaknya.
"Poppo, Dad."
Alvar tertawa lagi dan menurunkan kepala untuk memberikan sebuah ciuman di pipi Daniel. Poppo adalah slang bahasa korea untuk cium. Siapa yang mengajarkan? Tentu saja ibunya. Daniel langsung menyebut kata itu seratus kali dalam sehari.
"Mom, apa disana akan ada kembang gula?"
"Sepertinya. Tapi akan ada lebih banyak tabung reaksi daripada permen," jawab Thea sambil menaruh menu sarapan ke atas meja: bread toast dengan bacon, jamur dan sosis.
"Apa itu tabung reaksi?"
Thea membiarkan Alvar yang menjawab pertanyaan itu karena tangannya sedang sibuk bekerja menuangkan jus ke dalam gelas. Pertanyaan yang tak ada habisnya dari Daniel tentang tabung reaksi berhenti ketika dia menyuruh mereka untuk makan.
Daniel dan Thea mengiringi kepergian Alvar hingga garasi. Mereka melambaikan tangan ketika mesin beroda itu membunyikan klakson sambil bergerak menjauh. Gerbang utama rumah menutup secara otomatis ketika mobil Alvar meninggalkan area.
"Jadi, untuk membunuh waktu, apa yang akan kita lakukan?"
Daniel mendongak menatap sang ibu. "Ayo belajar bahasa Korea, Mom."
Oh tentu Thea tidak akan menolak.
______________________________________________
i hope this part isnt have too much cheese in it >.<
17/2/21
Huza.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Luck
FanfictionSamantha Avery Lucan atau Thea merasa sial karena diumurnya yang ke 19, dia harus menikah dengan om-om yang sudah mempunyai 2 istri. Dia melakukan segala cara termasuk dengan memotong rambutnya menjadi sangat pendek agar om-om tengil itu berubah pik...