________________
Rei menopang dagu di tangannya dengan ekspresi bosan. Dia juga bisa merasakan tatapan intens Kakaknya yang sedang duduk di sebrang kursinya. Meja makan yang seharusnya digunakan untuk bercengkrama, kini hanya diisi dengan keheningan.
Sudah 2 hari ini Light tidak bisa dihubungi. Rei bahkan sudah mengirimkan puluhan pesan yang bahkan tidak dilihat Light. Entah apa yang sedang dilakukan Remaja itu sampai tidak bisa setidaknya membalas pesannya.
Rei bisa saja langsung ke Rumah Light, tapi itu terlalu berbahaya. Jika Light sedang diawasi sekarang, Rei akan mendapatkan sorotan juga. Dan itu pasti tidak diinginkan oleh Light. Meskipun pasti sangat menyenangkan melihat reaksi orang lain terhadap identitas asli Kira, Rei tetap memegang janji yang dibuatnya. Bahkan tanpa janji itu, Rei mungkin tidak akan pernah memberitahu siapapun tentang rahasia itu.
Sekarang carilah cara mengatasi kebosanan. Hanya karena Light tidak bisa dihubungi, bukan berarti menjadi akhir dunia, kan? Rei masih memiliki banyak kegiatan yang bisa dilakukan dibandingkan memikirkan alasan Light tidak bisa dihubungi.
Tapi ada sesuatu yang lain, sesuatu yang berbeda dengan kebosanan saat Light tidak ada. Perasaan yang entah sejak kapan muncul.
Rindu.
Rei merindukan Light. Mereka baru saja bertemu 2 hari yang lalu, tapi Rei sudah merindukannya lagi. Baru kali ini Rei benar-benar merasa terikat dengan seseorang. Biasanya dia terlalu cuek untuk merindukan orang lain. Tapi, saat mengingat tawa terakhir yang ditunjukkan Light, Rei tidak bisa menahan senyuman.
"Oi!"
Rei tersadar dari lamunannya saat mendengar itu. Dia mengalihkan pandangannya kepada sang Kakak yang masih setia mengamatinya. Akhir-akhir ini Sei sepertinya senang sekali mengawasi tingkah lakunya. Rei tahu apa penyebabnya, tapi tetap saja tidak mengerti mengapa Kakaknya begitu tertarik terhadap hubungannya dengan Light.
Tidak mungkin Sei curiga Light adalah Kira, 'kan?
"Ada apa, Nii-sama?" tanya Rei pelan, dia sedang malas bermain-main sekarang.
Sei menyipitkan mata lalu menopang dagu. "Seharusnya aku yang bertanya, ada apa dengan wajah menyedihkan itu?"
Ukh...Kakaknya ini terkadang begitu blak-blakan dan sedikit kasar. Untung saja Adik Kembarnya tidak ada disini, jika iya maka Rei akan menanggung hukuman dari Ibunya juga.
"Aku baik-baik saja."
Sei tentu saja tidak mempercayai pernyataan itu. Tatapannya terus menelisik Rei seakan mencoba mengobrak-abrik jiwanya. Dan itu menyebalkan. Hal yang paling dibenci Rei dari Kakaknya adalah kebiasaannya untuk mengintimidasi dengan hanya memandang.
Mungkin ini karma karena menertawakan ketidaknyamanan Light kemarin saat ditatap Sei.
Sei menghentikan aksinya dan bersandar ke kursi.
"Jadi? Dimana Putra Polisi itu? Bukankah akhir-akhir ini kau begitu melekat padanya?" Pertanyaan itu terdengar begitu mengejek.
Rei hanya bisa memutar bola matanya. "Namanya Light, kalau kau lupa. Dan ya, akhir-akhir ini Light sulit dihubungi."
Entah karena disengaja atau terlalu putus asa sampai Rei mengakui pikirannya. Rei bukanlah tipe orang yang curhat masalahnya pada orang lain, tapi terkadang dia bisa sedikit terbuka dengan Kakaknya. Meskipun Sei bukanlah Kakak ideal, setidaknya dia selalu memiliki jalan keluar untuk masalahnya.
"Begitu..."
Rei memperhatikan Sei yang sepertinya tengah memikirkan sesuatu. Dia hanya berharap Kakaknya tidak merencanakan sesuatu yang dapat merugikan Rei maupun Light.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Way [✓]
FanfictionDia hanya Pemuda biasa dengan selera humor rendahan. Hampir semua hal sepele dapat ditertawakan olehnya. Hingga dia tidak pernah tau harus tertawa atau menangis saat tertarik pada seorang pembunuh yang bersembunyi dalam kedok keadilan. Spoiler untuk...