__________________
Flashback End
Rei tertidur saat masih menangis. Begitu terbangun, langit sudah menjadi gelap. Ia meluruskan kakinya dan menyandarkan tubuh ke pintu. Kepalanya begitu pusing dan lehernya sakit sekaligus pegal karena tertidur dengan posisi yang tidak benar.
"Reichi, kau sudah bangun? Keluarlah. Kau belum makan sejak tadi." Suara Sei terdengar di balik pintu.
Mendengar langkah kaki menjauh, Rei berusaha bangun dengan memegang pintu kamarnya, namun pusing mendera kepalanya hingga ia tak mampu berdiri lagi dan kembali terduduk.
Setelah merasa lebih baik, Rei perlahan bangun dan berusaha menuju kamar mandi. Meskipun pusing masih terasa, ia mengabaikannya dan berusaha untuk sekedar mencuci muka.
Saat melihat ke cermin kamar mandi, Rei tersenyum miris melihat keadaan menyedihkannya. Rambutnya berantakan, wajahnya sangat pucat, kantung mata yang terlihat jelas dan mata yang seakan sudah mati.
Rei membasuh wajahnya dan menggosok gigi, setelah selesai ia keluar dari kamar mandi. Rei mengambil asal pakaian di lemari dan berganti pakaian. Setelah merasa penampilannya cukup baik, ia keluar dari kamar dan menyusul Kakaknya.
Saat tiba di dapur, ia melihat Kakaknya yang tengah memainkan ponsel. Berbagai makanan sudah tersaji di meja makan dan dapat menggugah selera makan siapapun. Tapi berbeda dengannya, Rei tidak bernafsu sedikitpun.
Namun, untuk menghargai Kakaknya, Rei berusaha untuk makan.
Suara kursi yang berderit mengembalikan fokus Sei pada dunia. Saat melihat Rei, raut wajah Sei seketika dipenuhi kekhawatiran. Pria bersurai pirang itu bangkit dari duduknya dan mendekati Adiknya. Namun saat akan menyentuh dahinya, Rei mengelak dengan cepat.
"Aku baik-baik saja, Nii-sama."
"Tapi—" Melihat raut wajah Rei yang memelas, Sei berubah pikiran dan membiarkan masalah ini berlalu untuk saat ini.
"Makanlah yang banyak, sejak kemarin kau belum makan."
Rei mengangguk lemah. Mereka makan dalam keheningan, tidak ada suara apapun selain dentingan sendok ke piring. Rei tengah melamun hingga tak menyadari semenjak tadi Sei mengamatinya dalam diam.
"Ceritakan padaku apa yang terjadi," ujar Sei dengan nada suara tegas.
Rei sedikit tersentak keluar dari lamunanya. Dia menatap Kakaknya dengan pandangan tak dapat diartikan dan menggeleng lemah. "Aku sudah selesai."
Pemuda bersurai merah itu bangun dari duduknya dan berjalan kembali ke kamarnya. Sei hanya mampu menghela nafas, tidak ingin memaksa Rei bercerita tapi ia juga penasaran penyebab Saudaranya sangat murung.
Saat sampai di kamarnya, Rei mengunci pintunya dan menghempaskan tubuhnya di ranjang. Sebenernya ia tidak ingin membuat Kakaknya khawatir, namun Rei tak mampu bersikap biasa.
Ia terlalu sedih, terlalu kecewa, terlalu marah, benar-benar sakit. Ini adalah rasa sakit terparahnya, tidak pernah dalam hidupnya ia merasakan sakit semacam ini.
Rei adalah anak dengan kehidupan hampir sempurna. Keluarganya lengkap, memiliki banyak teman, cukup populer diantara orang lain, hidup berkecukupan dan banyak lainnya.
Jadi, rasa sakit ini adalah hal baru baginya.
Rei mencintai Light, sangat mencintainya. Ia tidak tahan harus kehilangan Light. Begitu menyakitkan melihat jasad Light di peti mati, apalagi dengan luka dan goresan yang disebabkan dendam orang lain. Sangat sakit hingga air mata pun tak mampu menetes keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Way [✓]
FanfictionDia hanya Pemuda biasa dengan selera humor rendahan. Hampir semua hal sepele dapat ditertawakan olehnya. Hingga dia tidak pernah tau harus tertawa atau menangis saat tertarik pada seorang pembunuh yang bersembunyi dalam kedok keadilan. Spoiler untuk...