32. Komunikasi Adalah Kunci

3.4K 275 99
                                    

"Jadi bener yang dibilang Teme, Hime?" Safir Naruto membeliak, Hinata menggelengkan kepalanya jujur. Sakura cuma menghela napas.

"Aku enggak tau, Boruto sama Sarada enggak ngasih tau apa-apa, Anata."

Hinata menundukkan kepala. Ia masih syok, ia masih tak percaya, sama seperti beberapa menit yang lalu.

"Sarada masuk rumah sakit. Pingsan di supermarket." Perkataan Sakura beberapa menit lalu membuat iris lavendelnya membulat sempurna, memenuhi ruang bola matanya.

"Aku tadi dihubungi sama Dokter Yugao, Hinata. Dia juniorku waktu kuliah dulu. Kebetulan kemarin ada konferensi kesehatan reproduksi, dan enggak sengaja ketemu." Sakura kembali bertutur, manik emeraldnya menerawang ke langit-langit.

Wanita yang hampir menjadi nenek itu jelas khawatir. Putri semata wayangnya bertaruh nyawa, dan ia bahkan tidak tahu apa-apa.

"Maaf, Sakura." Hinata jadi merasa tak enak.

Kalau bukan karena kelakuan Boruto, Sarada mungkin tak akan semenderita ini.

Kepala merah muda Sakura menggeleng. "Enggak usah minta maaf, Hinata. Ini urusan rumah tangga anak-anak kita. Enggak ada yang perlu disalahkan."

"Hime, habis ini aku mau ke apartemen Boruto. Kamu mau ikut?" ajak Naruto menawari, membuat Hinata mengangguk lesu.

"He, tunggu, Dobe! Bukan kamu doang yang mau ke sana, tau!" Sasuke bersungut saat Naruto sudah ke kamarnya dan bersiap-siap. Sakura hanya menggelengkan kepala melihat tingkah suaminya.

Sudah dua minggu Sarada pulang dari rumah sakit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sudah dua minggu Sarada pulang dari rumah sakit. Menanti bulan ke sembilan memang mendebarkan. Tak terkecuali Boruto, pria itu lebih sering meninggalkan istrinya untuk bekerja akhir-akhir ini.

Sarada hanya maklum. Wanita itu memang ibu peri. Sementara Boruto?

"Lo enggak baik malem-malem masih nongkrong di sini, Bor. Istri lo hamil gede." Shikadai menepuk bahu Boruto yang masih fokus dengan laptopnya. Boruto tak acuh, pria itu meneguk kopinya lagi.

"Gue pengennya juga gitu. Tapi gue takut, Shik."

Suara frustrasi Boruto terdengar lemah. Kafe tempat mereka biasa nongkrong itu makin malam makin ramai dipadati mahasiswa. Untuk nongkrong, ngopi, atau sekadar mengerjakan skripsi.

"Kasihan Sarada, lo bahkan ngerti dia udah sakit-sakitan, Bor," sambung Shikadai lagi, membuat Boruto tertunduk lesu.

"Gue takut tiap liat Sarada. Gue ... Gue takut kejadian-kejadian itu terulang lagi, Shik. Awal-awal Sarada pulang dari rumah sakit, gue kuat. Tapi semakin ke sini ..."

Boruto menggantungkan ucapannya sendu. Entah sejak kapan perasaan ini berkembang, tapi nyatanya Boruto semakin lama semakin tersiksa dengan hal ini.

[END] When I Married You | BoruSara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang