Ini hari keenam Sarada di apartemen Tante Karin, dan selama ini pula Boruto semakin parah muntah-muntahnya. Mitsuki mengernyit bingung. Boruto tampak begitu pucat. Dia juga jadi pendiam, tidak seperti biasanya.
Inojin mendengus. Oke, walaupun mulutnya paling tajam, tapi hatinya paling peka.
Sementara Shikadai hanya tersenyum simpul. Ia tak berani menyimpulkan apapun. Lagi pula itu masalah rumah tangga orang, ia tak berhak ikut campur.
"Bor, lo kena santet?" tanya Inojin, penasaran. Dia memang peka. Dan menurut fakta yang ia baca, orang yang terkena santet akan mengalami gejala seperti Boruto.
Inojin memicingkan matanya. "Makanya, gue 'kan udah bilang. Baik-baik sama Sarada. Cewek kalo marah serem. Nah, sekarang mampus lo. Sarada nggak terima, terus ke dukun santet buat nyantet elu. Makanya sakit terus dari kemaren," prediksi Inojin ngawur. Shikadai menepuk dahinya.
Padahal dia sudah berharap Inojin mengutarakan kemungkinan yang masuk akal. Ternyata tidak.
Ck. Shikadai terlalu berharap banyak.
"Emang Sarada kemana, Bor? Kudunya kalo lo sakit, aturan dia 'kan nggak bakal bolehin lo masuk kuliah. Kayak waktu itu," celetuk Mitsuki penasaran.
Boruto menghela napas. Ah, iya. Dia pernah sakit, sebulan setelah pernikahan mereka. Ia demam, dan Sarada benar-benar merawatnya dengan baik.
Sarada bahkan tidak masuk kuliah, memutuskan menunggui Boruto yang demam tinggi. Memasakkan bubur, menyuapinya. Meminumkan obat. Boruto yang terkadang bawel kalau sakit, tapi Sarada tetap sabar menghadapinya. Mengganti kompresan bahkan saat tengah malam.
Boruto melirik ke atas, berusaha agar air matanya tidak jatuh.
Aneh sekali. Dia mendadak jadi baperan setiap mengingat Sarada.
"O-oh, Sarada? Sarada lagi di tempatnya Tante Karin. Ada urusan," jawab Boruto jujur. Shikadai mengerutkan dahi.
Ia tidak yakin Sarada benar-benar ada urusan. Yang ia yakin, Sarada punya masalah dengan Boruto. Namun Shikadai hanya diam. Lagi pula, ini masalah rumah tangga orang. Shikadai belum menikah, dan dia juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Ada urusan atau kalian bertengkar?" tanya Inojin, menatap Boruto seolah ingin mengulitinya. Asli, Inojin sudah kepalang sebal dengan calon kakak iparnya itu.
Sudah bodoh, bego. Bolehlah nilai mata kuliahnya A+, tapi urusan cinta begini saja gobloknya berlarut-larut.
Boruto menggelengkan kepalanya lemas. "Gue nggak berantem. Cuma Sarada muntah terus tiap nyium bau gue. Ya udah, gue juga nggak tega. Gue biarin dia nginep di tempatnya Tante Karin," jawab Boruto lemas. Wajahnya kian memucat. Perutnya terasa seperti ditusuk.
Boruto menghela napas. Sepertinya ia harus pergi ke dokter.
Shikadai tersenyum tipis, sementara Mitsuki tersenyum manis. Ia sudah sadar ada yang salah dengan Boruto dan Sarada. Namun otak Shikadai masih pening memikirkan sebuah pertanyaan, kapan mereka membuatnya?
Bukankah Boruto sendiri yang bilang kalau ia tidak pernah menyentuh Sarada? Mereka pisah ranjang, 'kan?
"Lo pucet banget, mending periksa deh ke dokter. Kalo lambung lo bocor gimana?" ujar Mitsuki sambil tersenyum manis, membuat Boruto yang sudah lemas hanya mampu melempar tatapan tajam.
Sahabatnya ini memang tidak ada yang benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] When I Married You | BoruSara
General FictionMenikah karena perjodohan jelas bukan impian Boruto, mengingat Boruto sudah memiliki kekasih. Sarada yang mencintai Boruto hanya bisa pasrah saat suaminya memiliki kekasih saat ia sudah memiliki istri. Apakah mereka mampu mempertahankan pernikahan m...