20. Terima Kasih

6.5K 516 246
                                    

Boruto terbaring menyamping, menghadap istrinya yang baru saja bangun. Mata Sarada mengerjap-kerjap bingung. Bukankah ini siang hari? Kenapa Boruto tidak kuliah?

"Bolt, kamu kenapa nggak kuliah?" tanya Sarada, memandang bingung suaminya.

Kepala Sarada masih terasa pusing. Wajahnya juga masih pucat. Lemas. Lelah. Lesu. Beberapa kali telinganya berdenging. Namun Sarada mencoba untuk duduk.

"Kalo masih lemes tiduran dulu aja, Salad." Boruto membantu Sarada untuk duduk menyender di kepala ranjang. Mata Sarada masih sayu, menatap Boruto penuh tanda tanya.

"Kamu kenapa nggak masuk kuliah, hm?" Sarada menatap Boruto bingung. Namun ia yang dapat hanya senyum simpul suaminya yang kini duduk di sebelahnya.

"Kalo aku kuliah, nanti kamu sendirian di rumah. Kalo aku kuliah, siapa yang jagain kamu nanti?" Boruto tersenyum simpul, membuat hati Sarada meleleh seketika.

Ah. Hati Sarada menghangat.

"Udah ijin?" tanya Sarada lagi. Boruto mengangguk ringan.

"Udah, kok. Kamu gimana? Udah enakan? Atau masih pusing?" tanya Boruto, memandang wajah pucat Sarada yang ada di hadapannya.

Boruto menghela napas. Pertanyaannya jelas basa-basi. Dalam sekali lihat saja Boruto bisa tahu, bibir Sarada pucat. Tatapan oniksnya yang sayu nan lesu. Sarada jelas tampak seperti orang sakit.

"Cuma pusing dikit, kok. Kamu udah makan? Mau aku masakin apa?" Sarada tersenyum, ia ingin beranjak dari ranjang, namun Boruto buru-buru menahan tubuhnya agar tetap duduk menyender di kepala ranjang.

"Kalo masih nggak enak badan, kita delivery aja, Salad." Boruto menggelengkan kepala, menolak perkataan Sarada. Namun Sarada memaksakan tersenyum, membalas gelengan Boruto dengan tatapan matanya.

"Aku nggak apa-apa, Bolt. Beneran. Uang yang buat delivery makanan bisa ditabung buat anak kita nanti. Kamu temenin aku masak aja, ya?" Sarada gantian menolak ucapan Boruto. Boruto menatap Sarada memohon.

"Sar, aku nggak mau kamu kenapa-napa."

"Bolt, aku emang ada darah rendah. Paling darah rendahku lagi kumat. Aku nggak apa-apa, kok. Kamu temenin aku masak aja, ya? Kamu mau aku masakin apa?" Sarada bersikeras memasak, membuat Boruto mengembuskan napas lelah, terpaksa menyetujui permintaan Sarada.

"Ya udah. Masak yang gampang aja, Salad. Abis makan istirahat lagi aja, ya? Jangan capek-capek dulu." Boruto tersenyum, memandang wajah istrinya yang masih tampak begitu lesu dan pucat.

Air mata Boruto hampir keluar. Kenapa Sarada baik sekali, sih?

Bahkan di saat Boruto sudah menyakitinya berkali-kali, Sarada masih berlaku baik padanya. Di saat wanita itu sakit pun, ia masih bersikeras melakukan hal yang sebenarnya tidak harus ia lakukan.

Bibir Boruto kelu.

Bagaimana bisa dulu ia menyia-nyiakan malaikat sebaik Sarada?

"Ayo, Bolt. Aku mau ke dapur. Kamu ikut, 'kan?" Sarada sudah duduk di tepi ranjang, mencoba berdiri. Boruto menoleh, seketika tersadar dari lamunannya.

Matanya menatap haru sang istri yang kini tersenyum tipis ke arahnya.

"Eh, iya. Ayo ke dapur."

Boruto membalas senyum Sarada, langsung berdiri dan berjalan di sebelah sang istri, berjaga-jaga kalau istrinya itu lemas dan tiba-tiba jatuh.

Sekujur tubuh Boruto berdesir aneh. Tangannya merangkul bahu Sarada lembut, mengelusnya perlahan.

Tuhan begitu baik mengirimkan Sarada untuknya, dan sudah tugas Boruto untuk menjaga Sarada agar tetap di sisinya, sekarang.

[END] When I Married You | BoruSara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang