Tiga hari Sarada dirawat di rumah sakit, dan sekarang waktunya Sarada pulang ke apartemen. Oniksnya berbinar senang saat menghirup udara luar. Jujur, ia merindukannya. Oksigen-oksigen segar menerpa, berebut memasuki alveolusnya.
"Nanti biar aku yang belanja aja, ya. Kamu istirahat aja dulu," titah Boruto mutlak. Supermarket seolah menjadi traumanya. Bayang-bayang Sarada yang jatuh pingsan masih membuat jantungnya berdebar tak karuan.
Sarada hanya mengangguk menurut. Wanita itu pelan melangkahkan kakinya menuju apartemen yang sudah mereka huni selama setahun. Aroma citrus bercampur cendana menyeruak dari kamar Boruto; Sarada memang tidak mematikan pengharum ruangan mereka.
Boruto menaruh barang-barang mereka di kamar. Sarada mendaratkan pantatnya di sofa, wajah pucatnya sudah tak terlalu ketara. Boruto tersenyum memandang punggung istrinya dari pintu kamar.
Gue bahkan enggak tau harus gimana kalo lo beneran pergi, Sarada.
Boruto melangkah, memilih menyusul istrinya ke sofa. Tangannya menggenggam buku dongeng yang waktu itu mereka beli. Santai, pria itu memilih duduk di sebelah istrinya yang sedang melamun.
"Kamu mikirin apa, sih?" tanya Boruto, menyentuh lengan Sarada. Sarada mengerjapkan mata, seketika tersadar dari renungannya.
"Apa, ya? Tentang hal-hal yang belum sempet aku ungkapin ke kamu, deh." Sarada memasang senyum palsunya, tampak begitu pilu di mata Boruto. Boruto menarik napas dalam-dalam.
"Aku enggak pengen denger kalimat-kalimat aneh dari mulut kamu lagi, Say. Udah, stop. Aku tau kamu lagi enggak baik-baik aja. Jadi, aku mau bacain cerita buat anak kita," titah Boruto sambil tersenyum meledek, berusaha menyalurkan keceriaan pada istrinya yang kini tersenyum samar.
"Emang Ayah mau bacain cerita apa?" Sarada seolah jadi juru bicara anaknya, membuat Boruto tersenyum gemas dan mencubit pipi istrinya.
Sarada langsung berjengit kaget, namun Boruto hanya nyengir. "Sorry, aku gemes sih, kamu imut banget kalo gini," tutur Boruto jujur, membuat Sarada hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Iya, deh. Aku maafin. Emang kamu mau bacain cerita apa, Bolt?" tanya Sarada lagi, obsidiannya melirik buku dongeng yang dibawa Boruto.
"Lanjutan cerita yang waktu itu."
"Hah? Yang mana?" Sarada mengernyit, pasalnya wanita itu benar-benar lupa cerita yang Boruto maksud.
"Cerita putri sama pangeran brengsek. Masa Bunda Sara lupa?" ledek Boruto, namun tangan Sarada sigap menepis lengan suaminya.
"Enggak boleh bicara yang jelek-jelek, Yah. Enggak baik, nanti ditiru Kakak." Sarada menatap datar Boruto, membuat Boruto yang gantian mengernyit.
"Hah? Kakak? Siapa, Say?"
"Anak kita, lah. Masa anaknya babi ngepet," ketus Sarada lagi, membuat Boruto gantian menepuk nakal lengan istrinya.
"Tadi katanya enggak boleh ngomong yang jelek-jelek, Bun?" Boruto tersenyum miring, matanya menyipit bak bulan sabit. Namun kemudian pria itu membuka matanya, mendekatkan wajahnya ke arah wajah Sarada.
"Tadi kamu bilang apa, Say? Kakak? Kenapa Kakak? Oow, ternyata Bunda Sara udah punya rencana bikin adek lagi, ya?" goda Boruto, sontak membuat pipi Sarada memanas salah tingkah.
Wanita hamil itu mengerucutkan bibirnya lucu, membuat pipinya menggembung gemas. Boruto tersenyum lebar. "Nah, gini dong. Aku suka kalo liat kamu ceria kayak gini, Sayang."
"Ceria apaan? Bikin badmood iya," cetus Sarada tak terima. Boruto menggeleng tak setuju.
"Ngaku, kamu salah tingkah, 'kan?" Boruto nyengir, membuat Sarada memalingkan mukanya yang memerah sempurna.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] When I Married You | BoruSara
Ficção GeralMenikah karena perjodohan jelas bukan impian Boruto, mengingat Boruto sudah memiliki kekasih. Sarada yang mencintai Boruto hanya bisa pasrah saat suaminya memiliki kekasih saat ia sudah memiliki istri. Apakah mereka mampu mempertahankan pernikahan m...