bab 14

650 70 14
                                    

.

Pemikiran anak kecil selalu polos dan sederhana, mereka selalu berpikir betapa menyenangkannya menjadi orang dewasa. Boleh pergi kemanapun yang mereka inginkan, bebas melakukan apapun sesuka hati. Tanpa mereka tau betapa menjadi dewasa sama sekali tidak menyenangkan.

Ada terlalu banyak beban dan tanggung jawab, yang terkadang membuat kita mereka harus berhati-hati dalam melangkah. Bahkan terkadang memerlukan puluhan kali pertimbangan dalam setiap keputusan. Tidak jarang meskipun telah sangat berhati-hati masih akan ada pihak yang merasa dirugikan.

Dengan pemikiran polos ini jugalah mereka yang tidak mengerti apa arti dewasa sebenarnya berpikir, hanya jika kita saling menyukai bukankah itu sudah cukup untuk bersama.

Hati Suho sejelas cermin, dia selalu menyadari bahwa keberadaannya tidak dibutuhkan, dia juga tidak bermaksud untuk terlibat. Apakah itu tahta dan kekuasaan, tidak sekalipun dia berpikir kesana. Keberadaannya di kota besar ini semata-mata karena seseorang, jika satu-satunya orang itu juga dipaksa pergi. Seperti bidak catur tidak penting, takdir ini bukankah terlalu kejam padanya. Seperti aliran sungai di lereng gunung yang diseret pergi tanpa sadar.

Dia dibutakan oleh rasa kedamaian dan kebahagiaan palsu selama beberapa bulan ini membangkitkan keserakahan dalam dirinya, dia ingin meraih sesuatu, menipu dirinya sendiri dan menolak memikirkan masa depan.

"Apa dia sudah pergi?"

"Belum tuan," pria tua itu mengintip sekali lagi pada orang yang nampaknya terlalu kerasa kepala.

Tidak ada yang tau apa yang tengah dipikirkan pemuda itu di depan sana, namun dilihat dari raut mukanya yang tampak suram, jelas ada tekanan besar yang mengalir dalam air yang keruh.

Penyangkalan dan penyangkalan datang seperti aliran air, mengalir deras dari tempat tak terduga ketika pembicaraan antara ayah dan anak berlangsung. Yang satu mengingatkan sementara yang lain bersikukuh. Berpegang teguh pada pendapat masing-masing.

Dengan marah tuan Yoon mengusir putra angkatnya itu keluar dari rumah, tidak menoleh barang sedikitpun ketika anak itu pamit pergi.

Suho pergi bukan karena kalah, dia hanya mengalah sejenak. Karena perasaannya pada seojun tidak sedangkal yang orang lain pikirkan.

Dia tidak berbohong saat berkata akan mendapatkan semuanya jika menginginkan seojun membutuhkan kekuasaan. Apakah itu berlari atau terseok di kubangan lumpur, tidak masalah selama seojun ada disana menunggunya.

Satu-satunya yang menjadi pertanyaan adalah pertanyaan yang sama dengan tuan Yoon, ' lalu bagaimana dengan seojun, ayah tidak yakin dia akan mengambil jalan yang sama sepertimu'

Seperti yang ayahnya katakan, anak itu meskipun terlihat sembrono di luar tapi hatinya memiliki kedalaman yang sulit untuk dilihat. Tidak mudah ditebak, namun satu hal yang pasti, dia orang yang setia.

Bisakah dia mengerti ini, bisakah dia memahami keserakahannya ini. Jika dia tidak memiliki perasaan yang sama seperti dirinya, semua keserakahan itu, bagaimana dia akan menanggungnya.

Lebih jauh lagi orang yang harusnya dia takuti bukan seojun melainkan dirinya sendiri, bisakah dia tetap menjadi Suho yang mencintai seojun seperti sebelumnya, bisakah dia menahan diri ketika keserakahan akan kekuasaan menguasainya. Bisakah dia mempertahankan jati dirinya sendiri kelak?

"Tuan, apa tidak sebaiknya tuan muda disuruh masuk? Diluar mendung saya takut tuan muda kehujanan." Seru pelayan tua itu menatap bergantian antara langit yang tidak mau berkompromi dengan anak muda yang keras kepala.

Tuan Yoon tidak menanggapi, menuang teh dari teko kecil, uap panas naik memenuhi udara bersamaan dengan aliran teh yang jatuh tepat ke dalam cangkir kecil, menyisipkan aroma manis dan dingin kayu Cendana.

Han Seojun  (Suho X Seojun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang