bab 20

590 59 16
                                    

.

Seojun tidak memiliki kesombongan khas remaja pada umumnya. Tidak seperti anak-anak lain, dia tenang dan pandai menahan diri. Sedikit keras kepala namun tajam. Dia bukan tipe yang hanya tau mengasihani diri sendiri. Dibalik wajahnya yang kadang sembrono kadang kejam, banyak kelembutan tersembunyi. Dia mengerti apa yang benar dan salah, tidak akan bertindak karena emosi sesaat, penuh pertimbangan sebelum mengambil keputusan. Bahwa kesalahan seseorang adalah tanggung jawab masing-masing, dan orang lain tidak diijinkan untuk disangkutpautkan. Dia jauh lebih baik daripada orang lain sejak kecil.

Dua tahun bersama dengan seojun, membuat Suho mampu memahami sifatnya. Dia bukan orang yang akan menarik orang-orang ke dalam urusannya, tidak sekalipun ada saat dimana dia menunjukkan kesedihan atau marah di depannya, kemungkinan jika itu ada pasti karena kekhawatiran semata. Bukankah itu juga, alasan kenapa terakhir kali dia seolah melihat seojun yang berbeda. Namun satu hal yang pasti untuknya pahami, seojun akan selalu bersikap lembut padanya.

Membawa perasaan berat yang membengkak, Suho menarik daun pintu untuk menutupnya dari luar. Tetapi sebelum pintu tertutup sepenuhnya, Suho tanpa sadar menatap kembali ke arah seojun yang berdiri membelakanginya.

Jarak antara dirinya dan seojun saat ini tidak lebih dari lima meter tetapi baginya itu terasa seperti ribuan mil jauhnya. Terpisah gunung dan laut, menyerupai perbatasan ke ibukota. Ketegasan sikapnya mengeluarkan aura pengekangan yang tidak bisa diucapkan dalam beberapa kata.

Semakin dia memikirkannya semakin jelas perbedaan yang ada, kesenjangan yang terlalu mencolok.

Pintu itu tertutup kembali. Seojun hanya melirik dari sudut matanya.

Kelembutan ketika berbicara kepada Suho sedetik lalu seolah jatuh ketanah, diinjak tepat dibawah kakinya.

Tepat setelah Suho keluar dan bayangannya menghilang dibalik pintu yang kini tertutup rapat kembali, seojun kembali pada ketegasannya sekali lagi. Memandang kepada nyonya Lee dengan pandangan yang sulit diartikan. Terlalu rumit untuk dijabarkan dalam beberapa kata. Mata itu, seolah menumbuhkan sayap pada api yang berkilat. Menjulurkan lidah kearahnya seperti ingin menjilat.

Andaikan meminta itu boleh, seseorang pasti akan memilih di keluarga mana, keluarga seperti apa dan keluarga yang bagaimana dia dilahirkan. Tentu saja menjadi kaya dan berlebihan adalah keinginan, namun menarik lagi kebelakang. Hanya dengan memiliki ibu yang perhatian, ayah yang pengertian, kakak laki-laki untuk melindungi, adik perempuan untuk dilindungi. Hanya dengan kehidupan yang sederhana namun dipenuhi kasih sayang, bukankah itu dapat dikatakan cukup untuk dijadikan sebuah ukuran keluarga bahagia.

Tetapi sayangnya di dunia ini, ada berapa banyak keluarga yang beruntung. Sayangnya lagi, dari satu sampai empat, akan ada satu yang tidak mungkin di dapatkan. Untuk sesaat, Suho merasakan kelelahan yang dingin di dalam hatinya. Dia benar-benar mempelajari apa yang disebut sebagai takdir.

Dia tidak tau apa yang terjadi saat ini di dalam ruangan itu, apa yang mereka bicarakan dan bagaimana ini akan diselesaikan. Dia ingin pergi tetapi dia telah berjanji untuk menunggu diluar, dia tidak ingin menjadi anak-anak yang tidak patuh. Karena itu, meskipun saat ini hatinya merasa gelisah luar dalam, kepalanya seakan-akan siap terbelah menjadi dua, dia hanya bisa berdiri dengan perasaan gelisahnya. Berjalan mondar-mandir seraya kepalanya terus menerus menengok ke arah pintu. Berharap seseorang yang ditunggunya akan segera membuka pintu itu dan keluar.

Ada banyak hal yang ingin dia katakan, juga harus ditanyakan.

Sudah lebih dari setengah jam dia berdiri dengan gelisah, tetapi belum ada tanda-tanda pembicaraan akan segera selesai. Meninjau dari apa yang nyonya Lee katakan sebelumnya, hatinya menjadi semakin semakin tidak karuan.

Han Seojun  (Suho X Seojun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang