BAGIAN KE-23

2.3K 128 5
                                    

Juan sedang mengobati Jihan di dalam mobil. Terdapat luka memar di pelipis Jihan. Luka itu Jihan dapatkan dari kakaknya, Juan tidak mengetahui bagaimana persisnya luka itu ada. Yang Juan tau, Jihan berlari dari luar rumah dengan keadaan menangis menahan sakit di wajahnya.

"Sudah berapa lama seperti ini?" tanya Juan selepas mengobati Jihan.

Jihan nampaknya malu untuk menceritakannya, dia hanya menundukkan kepala tanpa mau menjawab pertanyaan Juan.

Juan menghela napasnya, "Jihan," panggil Juan lembut sembari menyentuh kedua pundak Jihan. Berusaha membujuk Jihan agar mau bercerita.

"Makasih ya Juan," ucap Jihan.

Bukan Kalimat itu yang Juan ingin dengar. Dia ingin mendengarkan penjelasan Jihan. Tapi dirinya juga tidak bisa memaksa Jihan. Jujur Juan sangat penasaran tentang ini. Bagaimana tega seorang kakak yang seharusnya melindungi adiknya justru dengan sengaja menyakiti adiknya sendiri.

"Jangan bilang obat yang kamu beli tempo lalu itu untuk ini?" tanya Juan dengan menuding bekas luka di lengan sebelah kanan gadis itu.

"Juan, aku mohon kamu jangan cerita ini ke siapa-siapa ya," pinta Jihan dengan menyatukan tangannya di depan dada. "Apa lagi sampai kamu laporin kakak aku," imbuhnya.

"Jadi bener?"

"I-iya," jawab Jihan jujur, ia tak berani menatap mata Juan.

Juan menggeleng tak percaya, tindakan ini tidak benar. Bagaimanapun itu, yang namanya kekerasan salah. Hal seperti itu bisa menggangu keadaan mental korban nantinya.

"Jihan dengerin aku," ucap Juan dengan menggenggam tangan Jihan lembut. "Kalau kamu ada apa-apa, ngomong sama aku. Terus kamu bisa cerita juga ke aku. Aku siap jadi pendengar yang baik untuk kamu." Kata-kata yang Juan ucapkan tulus dan penuh dengan pengertian.

Jihan tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca. Gadis itu tidak menyangka bahwa Juan akan berkata seperti itu kepada dirinya. "Makasih banyak ya Juan," ucap Jihan.

"Ngomong-ngomong kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Jihan. Dipikir-pikir jika Juan tidak sengaja ke sini itu tidak mungkin. Pasalnya jalan ini bukan jalan ke rumahnya.

"Ah iya, aku sampe lupa. Tadi kamu ninggalin ini di kantor," jawab Juan dengan menyodorkan dompet berwarna biru muda.

Gadis itu mengambil dompetnya dari tangan Juan. "Sekali lagi makasih ya, maaf jadi ngerepotin terus," ucap Jihan tak enak.

****

Malam ini Luna meminta Arkan untuk datang ke salah satu restoran out door, yang kebetulan ada di lantai paling atas. Di sini ia ingin membicarakan sesuatu dengan Arkan. Ini sudah tiga hari sejak hari itu. Selama tiga hari Luna terus dibuat berpikir. Bahkan selama tiga hari Luna tidak membalas pesan-pesan Arkan.

Luna berdiri menatap langit malam, menunggu kehadiran Arkan dengan menggenggam ponselnya.

Arkan keluar dari dalam mobil kemudian dia melirik jam tangannya. Ternyata ia telat dua puluh menit. Buru-buru Arkan menemui gadisnya yang mungkin sudah menunggu lama.

Arkan mencari-cari keberadaan sang pacar, tak butuh waktu lama dia bisa menemukan Luna yang tengah berdiri membelakangi dirinya. Dengan senyuman Arkan mendekat, kemudian ia dekap gadisnya dari belakang.

Luna yang dipeluk tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Matanya tetap fokus menatap langit malam yang gelap.

"Maaf kalau buat kamu nunggu lama," ucap Arkan dengan mengeratkan pelukannya, jujur ia sangat rindu dengan gadisnya ini.

"Gimana keadaan April?" tanya Luna yang tidak menghiraukan permintaan maaf dari Arkan.

"Dia baik," jawab Arkan senekanya. "Luna kamu tidak mau mendengarkan penjelasan saya?" tanya Arkan sembari menatap wajah Luna dari samping.

Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang