Rea membuka pintu masuk kerumahnya, lantas menemukan ayahnya yang sedang menonton televisi diruang tengah. Matanya seketika berbinar, ayahnya akhirnya pulang.
"Ayah? Ayah kok gak kasih kabar kalo mau pulang sekarang." Sapanya lembut, namun hanya mampu berdiri di belakang ayahnya. Ia tak berani mendekat.
Semuanya terjadi mendadak, ketika hatinya tiba-tiba melarangnya untuk berada terlalu dekat dengan keluarganya. Dan kepalanya merespon itu dengan baik. Mengiyakan tanpa membuat Rea kepikiran berhari-hari.
"Ayah udah bilang sama mamamu. Memangnya mama gak bilang?" Balas ayahnya, melirik sedikit kearah Rea.
"Ah, mungkin mama lupa. Beberapa hari terakhir mama sibuk banget. Ayah mau minum apa yah? Aku buatin."
"Enggak usah. Kamu istirahat aja. Pasti capek habis kuliah. Ayah tadi udah minum diluar."
Rea tersenyum lebar. "Kalo gitu aku naik dulu, kalo ayah butuh sesuatu panggil aku aja ya, yah."
Ayah sebatas mengangguk. Mengiyakan ucapan Rea secara asal.
Baru lima belas menit Rea merebahkan dirinya keatas ranjang, ia ingin memejamkan matanya sesaat sebelum mulai memasak untuk makan malam nanti, tapi pintu kamarnya justru terjeblak begitu keras.
Dengan mamanya yang muncul diambang pintu dengan wajah yang penuh amarah. Rea buru-buru terduduk dan menundukkan kepala. Tak berani membalas tatapan mata mamanya yang nyalang.
"Ngapain kamu?"
"M– maaf, Ma."
"Ayahnya pulang bukannya dibuatin minum atau gimana, malah leha leha. Kamu tau gak kalo ayahmu itu capek? Mama juga capek. Kerja banting tulang, kamu malah enak-enakan dikamar. Bukannya bantuin bikinin minum atau gimana."
Rea hanya terdiam. Matanya berkaca-kaca. Ia tak mampu menjawab apapun.
Dilantai satu, ayah Rea mengurut pangkal hidungnya. Lelah dengan sikap istrinya, tapi tak mampu melawan juga. Laki-laki paruh baya itu terlampau sulit untuk mencegah segala tindak istrinya. Yang berimbas dengan sikapnya yang mendadak dingin kepada anak-anaknya.
Takut jika ia memanjakan anak-anaknya secara langsung, istrinya bisa murka dengan anak-anaknya yang tak bersalah itu. Padahal ia yang menyuruh Rea untuk istirahat. Tapi justru Rea juga yang terkena omelan.
"Iya, aku buatin minum untuk Ayah, Ma." Rea hampir beranjak. Tapi mamanya lebih dulu menutup pintunya dengan keras, dan bahkan mengunci pintunya dari luar.
Menyisakan Rea seorang diri yang hanya mampu menghela nafas panjang. Lagi, ia tak akan pernah mampu melawan. Ia terlalu lemah, ia sebatas burung kecil yang tersesat disangkarnya sendiri.
Ting!
Ponsel nya berdenting. Ia segera mengambil benda pipih itu dari atas meja kecilnya. Sebuah pesan masuk dari Linda.
| kabarr baguss.
| abang gue punya kenalan yang punya kafe.
| kebetulan lagi butuh karyawan, Re.
|📍(send location)
| lo dateng aja besok, kesituu. Besok lo libur kan?
| gue pengen nemenin, tp gue ada kelas sama Bu Ida.
| hshshs. Lo tau dosen itu gimana.
| so, take care Rea
|good luck.Rea tersenyum. "Kalo gue bisa keluar dari sini besok, gue bakalan kesana."
Ia akhirnya mengetikan balasan. Berterimakasih banyak karena Linda telah mau membantunya untuk menyarikan pekerjaan.
Kali ini, ia harus membuat hatinya mengalah. Bukan persoalan bakti anak tidak nya lagi, ia butuh. Sebentar lagi skripsi, dan ia butuh laptop. Ia harus mengedepankan otaknya kali ini.
"Maafin Rea, ma." Lirihnya.
____
Taeyong menyesap vanilla latte nya diatas meja. Menghela nafas pendek sesekali menatap layar ponsel di genggamannya.
Ia menurunkan topinya lagi. Bersembunyi dibalik topi baseball itu ketika orang yang diikutinya telah beranjak dari kursi. Dan ia hampir saja membalikkan meja kafe ini jika tak sadar sedang berada dimana.
Bibirnya tersenyum miring. Matanya menajam dibalik topi yang menyembunyikan tatapan maut itu. Ia seperti siap untuk menerkam orang yang kini melintas disampingnya.
"Beneran dibeliin kan mas? Aku udah pengen banget dari lama soalnya. Kayaknya yang warna merah tadi bagus."
"Yang dior tadi? Iya, nanti mas transfer uangnya ya, cantik. Jangan cemberut gitu dong."
Apalagi sekarang? Setelah permintaan maaf yang nampak sangat penuh penyesalan itu, ternyata masih ada kebajingan lain yang disembunyikan.
Aku gak pernah salah buat memilih untuk gak pernah maafin, kak.
Taeyong menaikkan sedikit topinya begitu dua orang sampah bumi tadi sudah masuk kedalam mobil mewah yang terparkir didepan kafe.
Pikirannya kalut, ia menenggak seluruh vanilla latte nya tanpa jeda. Bersamaan dengan sebuah pesan masuk kedalam ponselnya.
Dari Yuta.
| 📷
| cewek yg lo incer kemarin, kan?
| terima gak?
| dari banyak nya yg daftar, dia doang yg keliatan butuh kerja banget.
| lainnya pengen kenalan sama lo doang anjir.
| geli banget. Malah gw yg kena wawancara.Taeyong tersenyum membaca pesan itu. Wajah sinisnya menghilang begitu saja. Dan beban dikepalanya lantas lenyap, mengudara bersama dirinya.
Terima aja.|
Singkat, pada, dan jelas. Yuta segera mengiyakan permintaan Taeyong itu. Semua orang telah memiliki bagian masing masing.
Yuta memang yang selalu kebagian wawancara para pelamar. Ia terkadang muak, karena setengah pelamar kerja kebanyakan perempuan centil yang ingin bekerja dengan Taeyong dan teman-temannya.
_____
"Siapa yang keterima?" Tanya Jeffrey sembari menggenjreng gitarnya di rooftop kafe. Mereka memang memilih rooftop ini sebagai tempat nongkrong favorit. Toh, kafe milik mereka.
"Cem-ceman nya si Taeyong." Balas Johnny setelah menenggak isi kaleng cola nya.
"Rea? Gercep juga pdkt nya." Timpal Doyoung.
"Ngomong apaan sih? Cuman dia yang keliatan serius. Gak ada maksud lain, elah."
"Gue masih nyimpen chatnya ya, gak ada angin gak ada hujan lo tiba-tiba bilang terima." Ujar Yuta, menyanggah ucapan Taeyong barusan.
"Buka kartu lo, gak seru."
Mereka tertawa. Tepatnya, menertawakan Taeyong.
"Eh, tapi cakep sih tuh anak. Cuman ansos dikit aja. Tapi malah gapapa loh, lo bisa bebas mau deketin nya." Ujar Jeffrey dengan entengnya.
Yang dihadiahi Taeyong dengan tatapan maut.
"Udah udah. Malah ngambek ntar perawannya." Doyoung akhirnya menengahi. Meskipun sembari tertawa kecil melihat tingkah Taeyong.
🚫🚫🚫
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
dive in the blue || lee taeyong [SELESAI]✔
Fanfic"Gue hidup bukan buat diri gue lagi. Gue cuman takut sakit waktu mau mati. Meskipun hidup gue rasanya lebih sakit." -Kang Zurrea, 2021